Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti berbagai tindak kekerasan dan represi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap masyarakat sipil yang melakukan demonstrasi untuk menolak RUU Pilkada. Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul secara damai merupakan hak masyarakat yang dijamin oleh Konstitusi sehingga setiap bentuk kekerasan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul secara damai merupakan pelanggaran Konstitusi.
KontraS mendokumentasikan masifnya berbagai bentuk tindak kekerasan, intimidasi dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian kepada mahasiswa dan masyarakat yang melakukan demonstrasi. Pemantauan dan dokumentasi KontraS juga menunjukkan adanya dugaan penyiksaan terhadap peserta aksi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Pemberitaan media juga menunjukkan adanya upaya sweeping dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat sipil pasca demonstrasi RUU Pilkada.
Tindak penyiksaan dan kekerasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dikurangi. Selain pelanggaran terhadap Konstitusi hal tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap code of conduct Kepolisian sebagaimana diatur oleh Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009) tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang mengatur bahwa dalam penggunaan kekuatan anggota Polri harus memperhatikan asas legalitas (sesuai hukum), asas proporsionalitas (tidak menimbulkan korban secara berlebihan) dan asas nesesitas (sesuai kebutuhan). Pemantauan KontraS menunjukkan adanya dugaan pelanggaran terhadap asas-asas penggunaan kekuatan sebagaimana diatur oleh Perkap 1/2009.
Selain oleh Kepolisian, berdasarkan dokumentasi berbagai media massa, juga ditemukan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI kepada peserta demonstrasi khususnya mahasiswa. Hal tersebut tentu melenceng jauh dari tugas pokok TNI sebagaimana diatur oleh UU No. 34 Tahun 2004. Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI juga menunjukkan gejala intervensi militer dalam ruang sipil.
Lebih lanjut, KontraS yang tergabung Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) juga menemukan dugaan penangkapan sewenang-wenang kepada massa aksi serta upaya dari Kepolisian untuk menghalangi massa aksi yang tertangkap dari pendampingan hukum. Para advokat yang tergabung dalam TAUD selama berjam-jam dihalangi untuk bertemu dan memberikan pendampingan hukum kepada peserta aksi yang tertangkap. Penangkapan pun cenderung dilakukan tanpa adanya alasan yang jelas.
Penghalang-halangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang memberikan hak kepada warga negara untuk didampingi oleh penasihat hukum. Penghalang-halangan tersebut juga merupakan perintangan terhadap advokat untuk menjalankan tugasnya dan mengenyampingkan kaidah terhadap penghormatan bagi profesi advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Beberapa peserta demonstrasi yang diduga ditangkap hingga kini juga belum diketahui keberadaannya, sehingga patut diduga bahwa telah terjadi short term disappearances atau “penghilangan” kepada peserta aksi yang membuat peserta aksi berada di luar perlindungan hukum dan kesulitan mengakses hak-haknya.
Selain kepada peserta demonstrasi, KontraS juga mendokumentasikan beberapa dugaan tindak kekerasan serta intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada Jurnalis baik media cetak, elektronik, maupun daring. Beberapa Jurnalis juga dilaporkan terluka akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Kekerasan melanggar UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers yang secara eksplisit mengatur bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Tindak kekerasan kepada jurnalis juga merupakan bentuk serangan terhadap independensi media sebagai salah satu pilar demokrasi.
Parahnya, berbagai tindak kekerasan serta intimidasi tersebut secara terang-terangan ditampilkan dan “dipamerkan” oleh beberapa anggota Kepolisian bahkan TNI dalam akun media sosial masing-masing. Hal tersebut menunjukkan adanya niat serta kesadaran dari aparat untuk melakukan kekerasan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai bukti untuk melakukan penindakan serta memberikan sanksi kepada aparat yang terbukti melakukan tindak kekerasan secara sewenang-wenang.
Kondisi-kondisi tersebut kemudian diperburuk dengan pernyataan dari Polda Metro Jaya yang sempat menyatakan bahwa tidak ada peserta aksi yang ditangkap pada tanggal 22 Agustus 2024. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta yang ditemukan oleh Tim Advokasi Untuk Demokrasi serta hasil dokumentasi media massa, pada akhirnya Polda Metro Jaya meralat pernyataan tersebut dan menyatakan adanya ratusan peserta aksi yang ditangkap.
Berdasarkan hal-hal tersebut KontraS mendesak:
- Lembaga pengawas yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pemantauan terhadap tindak kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat pada aksi 22 Agustus 2024;
- Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk menindak tegas dan memberikan sanksi etik serta pidana kepada anggotanya yang terbukti melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat sipil, mahasiswa dan jurnalis;
- Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan akses kepada advokat dan kuasa hukum dalam memberikan pendampingan hukum kepada peserta demonstrasi yang ditangkap.
Jakarta, 23 Agustus 2024
Andi Muhammad Rezaldy
Wakil Koordinator KontraS
Tags
Admin
Without Bio