Sejumlah lembaga dan individu dalam pernyataan bersama ini, mengecam pernyataan yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Berdasarkan pemberitaan di media yang kami dapatkan, terdapat dua pernyataan bermasalah yang disampaikannya. Pada 20 Oktober 2024, ia menyampaikan bahwa ia tengah menunggu arahan dari Presiden dalam kaitannya dengan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Ia menambahkan bahwa penyelesaian tersebut sulit untuk dilakukan sebab sudah terjadi sangat lama sehingga kita tidak perlu lagi melihat ke masa lalu. Kemudian, pada 21 Oktober 2024, Yusril kembali menyampaikan bahwa peristiwa tragedi Mei 1998 bukanlah merupakan pelanggaran berat terhadap HAM. Menurutnya, pelanggaran berat HAM terdiri dari genosida (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing), sehingga tragedi Mei 1998 bukan merupakan pelanggaran berat HAM.

 

Kami memandang pernyataan tersebut tidak lain merupakan upaya Negara untuk memutihkan pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa Negara berusaha lari dari tanggung jawabnya untuk melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pasalnya, wewenang untuk menetapkan suatu peristiwa sebagai pelanggaran berat HAM ada di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Proses hukum pun sudah berjalan sejak dimulainya penyelidikan oleh Komnas HAM, yang kini tengah tersandera oleh proses penyidikan yang seharusnya dilanjutkan oleh Jaksa Agung selaku penyidik peristiwa pelanggaran berat HAM.

 

Dalam hal ini, Yusril dan Presiden merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif, alih-alih aparat penegak hukum, sehingga mereka tidak berwenang untuk menentukan langkah hukum seperti apa yang harus dilakukan. Yusril juga tidak memiliki wewenang untuk menyatakan bahwa peristiwa tragedi Mei 1998 bukanlah pelanggaran berat HAM. Faktanya, tragedi Mei 1998 sendiri sudah dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM berupa kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Komnas HAM, serta telah diakui dalam pidato pernyataan oleh mantan Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023.

 

Kami memandang bahwa pernyataan yang disampaikan Yusril sesaat baru dilantik tersebut sangatlah tidak etis karena dua hal. Pertama, pernyataan tersebut mengingkari proses faktual yang sudah berjalan selama lebih dari 20 tahun. Terdapat berbagai proses dan mekanisme, baik formal maupun informal, yang telah berjalan. Di forum hukum yang resmi, Komnas HAM sudah memiliki hasil penyelidikan pro-justisia dan hasilnya mengungkapkan adanya pelanggaran berat HAM. Tidak susah seharusnya bagi seorang profesor hukum untuk bisa paham kerja proses hukum.

 

Kedua, berbagai upaya advokasi telah dilakukan oleh korban dan keluarga korban, serta banyak organisasi sosial yang sangat representatif (memiliki legal standing), mendesak negara menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Berbagai upaya tersebut bersanding dengan berbagai dokumen, bukti, dan dokumentasi yang tegas, jelas, dan konsisten. Semua dokumen tersebut memiliki rekam jejak yang saling berkaitan dan konsisten serta sudah diberikan kepada berbagai kantor pemerintah dan penegak hukum di berbagai masa pemerintahan.

 

Sepatutnya, sebagai seseorang yang dibebani tanggung jawab koordinasi dalam bidang hukum, Yusril lebih cermat dan profesional merespon persoalan pelanggaran berat HAM, terutama yang terjadi di masa lalu. Ia tidak sepatutnya mengumbar pernyataan ketika dia sendiri belum memeriksa kapasitas dirinya. Ia pun belum menjelaskan tugas, fungsi, serta memeriksa capaian yang sudah dihasilkan dari berbagai mekanisme, upaya, dan banyak hal lainnya yang telah berjalan terkait pelanggaran berat HAM di masa lalu.

 

Pernyataan Yusril mengenai bentuk pelanggaran berat HAM juga keliru dan tidak memperhatikan konstruksi pelanggaran berat HAM seperti yang tertuang dalam UU Pengadilan HAM. Dalam Undang-undang tersebut, yang masuk dalam klasifikasi sebagai pelanggaran berat HAM adalah kejahatan genosida (pasal 8) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 9). Peristiwa pelanggaran berat HAM sejatinya adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan hal ini pun diakui dalam bagian Penjelasan dalam Undang-undang Pengadilan HAM.

 

Sebagai kejahatan luar biasa, pelanggaran berat HAM pun memiliki kekhususan, sehingga Penjelasan UU tersebut mengamanatkan penanganan khusus dalam proses hukum penyelesaiannya. Tentu pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu memerlukan adanya penanganan khusus, terutama dalam menyikapi waktu kejadian peristiwa yang sudah lama. Akan tetapi, kondisi ini tidak lantas meniadakan proses hukum dan pertanggungjawaban pidana dari para pelaku. Negara masih memiliki beban tanggung jawab untuk menuntaskan kasus tersebut, termasuk secara hukum, dan memberi keadilan bagi korban. Terlebih lagi, Penjelasan UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa pelanggaran berat HAM tidak memiliki masa kadaluarsa.

 

Kini, kami semakin sangsi sebab Yusril tidak bisa membedakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Massive Crime. Kesangsian kami juga bersambung pada catatan sejarah. Pada awal reformasi, Yusril adalah Menteri Hukum di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang tahu persis konteks, desakan, serta urgensi penanganan pelanggaran HAM. Jika ia menafsirkan saat ini sudah kehilangan konteks, apakah artinya hak-hak korban sudah diberikan? Faktanya, Yusril adalah bagian dari masa lalu yang tidak mampu menuntaskan tanggung jawab negara untuk memastikan pemenuhan hak korban.

 

Pernyataan Yusril di atas sangat jelas bertentangan dengan prinsip HAM dan tanggung jawab Negara sebagai duty-bearer (pemangku tanggung jawab) HAM. Terlebih lagi, dalam konteks pelanggaran berat HAM, Negara memiliki 4 tanggung jawab, yaitu pengungkapan kebenaran, penuntutan pertanggungjawaban pidana, pemulihan korban, dan jaminan ketidak berulangan. Pernyataan Yusril justru menunjukkan kecenderungan dari Negara untuk mengabaikan tanggung jawab tersebut dan semakin memberi ketidakpastian bagi korban. Kami khawatir pernyataan tersebut justru mengindikasikan sebuah praktik baru, yaitu serangan kepada hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas pemulihan. Hal ini pun tampak dari pernyataannya bahwa pelanggaran berat HAM tidak terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Faktanya, Komnas HAM telah menetapkan terjadinya 17 peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia dan telah disampaikan oleh Presiden sebelumnya dalam pidato kenegaraan.

 

Visi, Misi, dan Program Presiden-Wakil Presiden saat ini yang tertuang dalam 8 program Astacita pun tidak mencantumkan penuntasan pelanggaran berat HAM dalam rencana penegakan HAM. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemauan Negara untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM, termasuk yang terjadi di masa lalu, dan semakin dikuatkan oleh dua pernyataan Yusril Ihza Mahendra di atas. Pernyataan tersebut sangat melukai hati para korban yang selama bertahun-tahun memperjuangkan haknya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan–yang sudah menjadi tanggung jawab Negara dan bisa saja tercapai seandainya Negara memiliki kemauan dan komitmen akan hal tersebut. Kami sadar bahwa di bawah pemerintahan Presiden saat ini, penegakan hukum akan nyaris mustahil. Namun, kebenaran dan hak atas keadilan tidak bisa disembunyikan. Negara boleh jengah dan lengah, biar korban, keluarganya, generasi masa depan menjadi penegaknya.

 

Oleh karena itu, kami menolak dengan keras pernyataan tersebut. Kami mendesak Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan untuk menarik pernyataan tersebut dan meminta maaf kepada korban pelanggaran berat HAM, khususnya korban tragedi Mei 1998. Meskipun Yusril telah menyampaikan bahwa apa yang ia maksud tidak terjadi dalam tragedi Mei 1998 adalah genosida dan pembersihan etnis, hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi pejabat pemerintah manapun agar tidak menyampaikan pernyataan yang memanipulasi kebenaran, bertentangan dengan prinsip HAM, dan menyakiti perasaan korban.

 

Jakarta, 22 Oktober 2024



Pendukung pernyataan 

Organisasi:

  1. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  2. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  3. KontraS Aceh
  4. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  5. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  7. PASKA Aceh
  8. Asia Justice and Rights (AJAR)
  9. Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
  10. Center for Citizenship and Human Rights Studies, UPN “Veteran” Jakarta
  11. Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)
  12. Greenpeace Indonesia
  13. Amnesty International Indonesia
  14. Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
  15. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65)
  16. Social Movement Institute (SMI)
  17. KontraS Surabaya
  18. Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

 

Individu:

  1. Syahar Banu - Keluarga Korban Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
  2. Farida Haryani
  3. Wahyu Perdana - Kepala Bidang Kajian Politik SDA (LHKP PP Muhammadiyah)
Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan