Senin, 23 Juni 2025 – Mahkamah Konstitusi menggelar Sidang Lanjutan terhadap Perkara Uji Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Sidang ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan Pemerintah untuk Perkara Nomor 45, 56, 69, 75, dan 81/PUU-XXIII/2025.

Sidang tersebut dihadiri langsung oleh Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, Wakil Menteri Hukum, dan Wakil Menteri Pertahanan sebagai perwakilan Pemerintah/Presiden. Selain itu, DPR RI diwakili oleh Ketua Komisi I, Ketua Badan Keahlian Dewan, dan Ketua Badan Legislasi. Dalam keterangannya, perwakilan DPR RI dan Presiden pada pokoknya membantah seluruh dalil yang diajukan oleh para pemohon, baik secara formil mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun yang berkenaan dengan substansi permohonan.

Adapun poin-poin keterangan yang disampaikan Perwakilan DPR RI adalah sebagai berikut:
1. Kedudukan hukum para pemohon seharusnya tidak dapat diterima karena bukan merupakan anggota TNI atau calon anggota TNI yang memiliki kepentingan langsung;
2. Perbedaan materi naskah akademik dan undang-undang tidak dapat menyebabkan suatu undang-undang menjadi inkonstitusional;
3. Revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan, utamanya mengenai kepentingan pertahanan nasional;
4. Revisi UU TNI merupakan lanjutan pembahasan RUU yang telah menjadi kesepakatan politik antara Presiden dan DPR RI;
5. Partisipasi publik dan keterbukaan dalam semua proses pembentukan undang-undang telah dilakukan oleh DPR RI dengan rapat-rapat yang sifatnya terbuka;
6. Revisi UU TNI sudah sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU P3;
7. Revisi UU TNI telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sedangkan Perwakilan Pemerintah/Presiden menyampaikan keterangan sebagai berikut
1. Pemohon yang merupakan mahasiswa, karyawan swasta, dan mengurus rumah tangga tidak memiliki kepentingan langsung dan kerugian konstitusional sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
2. Beberapa permohonan masuk ke dalam area substansi Revisi UU TNI sehingga permohonan error in objecto;
3. Proses pembahasan revisi undang-undang adalah sah karena sudah sesuai dengan UU P3 dan Perpres Pelaksanaan UU P3;
4. Proses pembahasan diajukan berdasarkan urgensi nasional dan tindak lanjut Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2022.

Terhadap hal tersebut di atas  maka kami berpandangan sebagai berikut:

Pertama, DPR RI maupun Presiden keliru dan serampangan dengan menyatakan bahwa para pemohon yang merupakan warga negara tidak memiliki legal standing.  Dalam keterangan resmi yang disampaikan dalam sidang tadi, DPR RI maupun Presiden mendalilkan bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing lantaran bukan merupakan TNI, ASN, maupun calon prajurit TNI dan oleh karena itu para pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review UU TNI ke MK. Padahal para pemohon khususnya yang berasal dari Koalisi Masyarakat Sipil merupakan lembaga dan perorangan yang prominent serta selama ini memiliki concern tidak hanya terhadap demokrasi tetapi reformasi sektor keamanan di Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil bahkan sebelum tahun 2004 terekam telah mengawal perumusan dan pembahasan UU TNI pasca pemisahan dengan ABRI. 

Perlu DPR dan Presiden ketahui, dalam konteks Revisi UU TNI, walaupun objek pengaturan atau adressat di dalam Revisi UU TNI adalah TNI secara kelembagaan tetapi setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan suatu undang-undang. Oleh karena itu, proses pembentukan suatu undang-undang haruslah dipandang memiliki pertautan langsung dengan hajat hidup masyarakat luas. 

Kami memandang, posisi dan kedudukan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang tugas dan kewajibannya berkaitan dengan masyarakat luas, yakni menjaga integritas wilayah dan keselamatan masyarakat negara dari ancaman militer negara lain menjadi justifikasi keterlibatan masyarakat untuk melakukan koreksi atas pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan TNI itu sendiri. Terlebih, TNI–dulu ABRI–memiliki riwayat sejarah mengenai berbagai kekerasan maupun pelanggaran HAM berat menyebabkan masyarakat menjadi korbannya. Oleh karenanya, masyarakat merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam mewujudkan TNI yang profesional. 

Kepentingan hukum Para Pemohon selaku warga negara yang memiliki concern terhadap suatu isu juga menjadi sorotan penting. Setiap warga negara, apa pun latar belakangnya berhak untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan publik. Hal ini juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika mengomentari Keterangan DPR dan Presiden sebagai berikut: “Permohonan ini memang banyak dari kalangan aktivis muda, itu menunjukkan dalam pengertian saya, kepedulian mereka terhadap kehidupan negara hukum yang demokratis. Jadi, tidak perlu diberikan catatan-catatan khusus negatif, tapi ini positif adanya kesadaran hukum dikalangan generasi muda, sehingga berjalannya negara hukum yang demokratis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mulai sedikit demi sedikit terbentuk.”

Dengan cara pandang yang demikian, DPR RI dan Presiden justru semakin menunjukkan anti demokrasi karena mereduksi salah satu esensi penting dalam demokrasi, yaitu partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), termasuk di dalamnya terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai putusan, misalnya dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, MK bahkan menetapkan bahwa syarat adanya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil

Kedua, Presiden dan DPR RI  harus mentaati perintah Majelis Hakim Konstitusi yang memerintahkan Presiden dan DPR untuk membuka dan menghadirkan bukti-bukti konkret di persidangan. Presiden dan DPR perlu memahami bahwa beban pembuktian dalam dalam sidang uji formil di MK memang sudah sepatutnya lebih berat berada pada pembentuk undang-undang. Dalam proses pengujian formil suatu undang-undang, Pemohon sering kali tidak bisa mengakses dokumen dan bukti rapat-rapat yang membahas mengenai suatu undang-undang.. Hal ini menjadi penting untuk untuk membuktikan apakah dalil Presiden dan DPR yang mendalilkan bahwa mereka sudah menjalankan asas meaningful participation adalah benar atau hanya isapan jempol belaka. 

Hal tersebut juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam komentarnya terhadap Keterangan DPR dan Presiden sebagai berikut: “... dalam perkara pengujian formil ini tetapi lebih pada soal bukti dan fakta, oleh karena itu yang harus dihadirkan ke kami sebetulnya adalah bukti-bukti tentang apa yang dijelaskan oleh DPR dan Presiden tadi … sehingga kami bisa melihat intinya ada atau tidak hal-hal yang diceritakan tadi, karena semuanya itu ada di DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang tentu saja bebannya akan lebih berat ke DPR dan Pemerintah untuk mengemukakan ke Mahkamah bukti-bukti terkait dengan semua yang didalilkan itu, nanti kami akan menilai berdasarkan itu.”

Oleh karena itu, kami menilai Presiden dan DPR RI harus segera menaati perintah Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan seluruh informasi dan dokumen yang menunjukkan ada atau tidaknya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapan pembentukan Revisi UU TNI. Hal ini juga penting karena mendorong keterbukaan dokumen yang selama proses pembahasan tidak dapat diakses oleh publik.

Ketiga, kami meminta agar Mahkamah meninjau ulang dan mengindahkan Permohonan Provisi dalam Perkara 81/PUU-XXIII/2025 demi mencegah adanya pelanggaran konstitusi yang berkelanjutan. Dalam Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025, kami mengajukan Permohonan Provisi yang pada intinya meminta MK memerintahkan Pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan dan menunda keberlakuan Revisi UU TNI. Sayangnya, meskipun sidang sudah memasuki  agenda Sidang Pemeriksaan, tetapi MK belum pula mengeluarkan Putusan Sela terhadap permohonan provisi yang telah diajukan dalam permohonan a quo.

Dalam Pasal 69 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa, “Putusan Mahkamah dapat berupa Putusan, Putusan Sela, atau Ketetapan.” Mahkamah Konstitusi sendiri pernah beberapa kali mengeluarkan Putusan Sela dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, misalnya dalam Perkara Nomor 133/PUU-VII/2009, Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022, dan Putusan Sela Nomor 132-PS/PUU-XXII/2024. Dalam poin 3.10 Halaman 79 Putusan MK Nomor 132-PS/PUU-XXII/2024, dinyatakan bahwa MK terlebih dahulu menjatuhkan Putusan Sela sebelum melanjutkan pemeriksaan dan putusan akhir permohonan a quo untuk menghindari dampak yang akan timbul dari keberlakuan undang-undang a quo. 

Kami memahami memang terdapat permasalahan mengenai ketidakjelasan formulasi hukum acara Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Permohonan Provisi, Hakim Mahkamah Konstitusi harus menegaskan dan mempertimbangkan mengenai Permohonan Provisi yang diajukan oleh Pemohon. Namun demikian, guna mencegah adanya pelanggaran dan kerugian konstitusional terus berlanjut, penting agar Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan kembali permohonan provisi yang diajukan oleh para pemohon. 


Demikian rilis ini kami buat. 

 


Hormat kami, 
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

 

Narahubung:
Fadhil Alfathan Nazwar (LBH Jakarta)
Riyadh Putuhena (Imparsial)
Muhammad Yahya Ihyaroza (KontraS)

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan