Sebagai bagian dari jenis penghukuman, hukuman mati (death penalty) di Indonesia sebenarnya tidak diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum masuknya kekuatan kolonial Eropa, para Raja dan Sultan yang ada di Nusantara telah mempraktikkan hukuman mati kepada para kawulanya. Dalam konteks Indonesia, konsolidasi hukuman mati secara menyeluruh terjadi pada 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang mengatur mengenai pemberian hukuman pidana mati sebagai kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa ini, hukuman mati dipertahankan sebagai strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan juga upaya untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tanpa upaya pasifikasi penduduk jajahn melalui instrumen hukuman mati, misi pemerintah Prancis yang berkuasa di Belanda untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris akan sulit diwujudkan. Maka, tidak heran apabila praktik hukuman mati merupakan pengejawantahan praktik hukum kekuasaan sebagai sebuah upaya dalam mendorong kepatuhan publik yang umumnya terjadi dalam konteks kolonialisme. Pasca kemerdekaan Indonesia, hukuman mati juga masih dipertahankan dalam sejumlah peraturan untuk melakukan pengendalian kuasa dalam insturmen hukum terutama sekali adalah berkenaan dengan efek jera (deterrent effect) yang pada akhirnya hanya bersifat semu dan ilusif.

Anomali tersebut tentu saja menjadi perhatian serius oleh sejumlah para pegiat hak asasi manusia (HAM) dan negara-negara lainnya yang sudah meninggalkan praktik yang tidak sesuai dengan rasa peri kemanusiaan. Apalagi jika merujuk Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.29 pada 18 Desember 2007 meminta kepada seluruh negara untuk melakukan moratorium penggunaan hukuman mati dalam sistem hukumnya sebagai salah satu langkah untuk menuju penghapusan hukuman mati. 

 

Buku Antologi Cerita Pendek Hukuman Mati selengkapnya dapat dibaca di sini

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan