Bertepatan dengan momen Hari Bhayangkara ke 78 yang diperingati pada 1 Juli 2024, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali meluncurkan Laporan Hari Bhayangkara guna memberikan catatan berupa kritik serta saran dan rekomendasi terhadap kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan ini menjadi bentuk partisipasi KontraS terhadap Reformasi Sektor Keamanan khususnya reformasi Polri, sesuai mandat reformasi serta untuk memberikan dorongan kepada Polri dalam melakukan perbaikan institusi sesuai dengan standar HAM dan demokrasi.
Berbagai peristiwa kekerasan, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM nampak tidak pernah tuntas dan selalu berulang dilakukan oleh institusi Kepolisian. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan dalam periode Juli 2023-Juni 2024, KontraS menemukan bahwa angka peristiwa kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh Kepolisian mengalami peningkatan. Sepanjang Juli 2023-Juni 2024, tercatat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. 645 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Selain memotret peristiwa kekerasan secara umum, sepanjang Juli 2023-Juni 2024 KontraS juga mendokumentasikan 35 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 37 orang. Jumlah peristiwa extrajudicial killing yang terjadi juga mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, walau jumlah korbannya berkurang.
Sepanjang Juli 2023-Juni 2024 berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil pun masih terjadi. KontraS mencatat 75 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan sipil yang meliputi tindakan pembubaran paksa sebanyak 36 kali, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 24 kali, dan tindakan intimidasi sebanyak 20 kali. Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat untuk membungkam warga. Secara mayoritas, pelanggaran terhadap kebebasan sipil dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidup dan menuntut haknya serta warga yang mempraktikkan hak untuk berkumpul secara damai dan mengemukakan pendapat di muka umum. Peristiwa tersebut sekaligus memperlihatkan rezim yang di senjakala pemerintahannya masih belum mampu menunjukkan keberpihakan pada hak warga negara.
Secara umum dapat terlihat tiga faktor penyebab permasalahan yang membuat berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi, yakni adanya warisan budaya kekerasan Orde Baru serta minimnya pengawasan dan akuntabilitas serta ego sektoral antar lembaga penegakan hukum yang memunculkan persaingan tidak sehat antar lembaga penegakan hukum. 26 tahun pasca tumbangnya Orde Baru rupanya masih belum berhasil membuat budaya dan praktik peninggalan Orde Baru sepenuhnya ditanggalkan oleh lembaga penegakan hukum termasuk Kepolisian.
Alih-alih mengambil langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, pemerintah bersama DPR-RI pada Mei 2024 malah menginisiasi revisi UU Kepolisian yang dilakukan secara tiba-tiba dan minim partisipasi publik bermakna. Adapun substansi dari Rancangan Undang-undang Polri mengandung berbagai pasal yang akan memperburuk ragam masalah yang telah ada dan berpotensi menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar lembaga, potensi maladministrasi serta pelanggaran HAM. Hal tersebut menunjukkan bahwa agenda revisi perundang-undangan termasuk yang berkaitan dengan sektor keamanan makin jauh dari kepentingan publik.
Profesionalitas dalam upaya penegakan hukum pidana juga nampaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang genting bagi Kepolisian. Berbagai peristiwa salah tangkap dan penangkapan sewenang-wenang masih terjadi, menunjukkan bahwa pada praktiknya aturan prosedural dan formil hukum pidana seringkali diabaikan dan dikesampingkan.
Pada akhirnya, seluruh permasalahan tersebut menunjukkan bahwa cita-cita untuk menghadirkan institusi Kepolisian yang demokratis yang digaungkan pada awal reformasi belum berjalan secara ideal. Berbagai peristiwa kekerasan, pelanggaran HAM yang terjadi adalah kenyataan yang harus diterima sekaligus sebagai ‘alarm’ kepada pemerintah dan institusi Kepolisian untuk segera berbenah dan melakukan evaluasi. Laporan Bhayangkara tahun 2024 bermaksud memberikan kritik serta saran kepada Kepolisian, bahwa sebagai institusi masih banyak hal yang perlu dibenahi dan dievaluasi.
Masyarakat sipil merindukan institusi Kepolisian yang demokratis dan bekerja sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Perbaikan yang konkrit dan komprehensif tidak boleh ditunda dan harus dilaksanakan segera, fungsi penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan serta pelayanan masyarakat harus bertransformasi ke arah yang lebih baik demi mewujudkan cita-cita reformasi. Jika kultur kekerasan dan impunitas yang minim akuntabilitas tersebut masih terulang atau bahkan dipertahankan, maka tak berlebihan jika dinyatakan bahwa reformasi polisi yang dicita-citakan masih ilusi.
Jakarta, 1 Juli 2024
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Klik dibawah ini untuk melihat laporan selengkapnya
Bertepatan dengan momen Hari Bhayangkara ke 78 yang diperingati pada 1 Juli 2024, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali meluncurkan Laporan Hari Bhayangkara guna memberikan catatan berupa kritik serta saran terhadap kiner
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan