Jakarta, 2 Mei 2025 – Aparat kepolisian melakukan tindakan represif dan brutal serta upaya paksa sewenang-wenang pada massa aksi perayaan Hari Buruh Internasional tahun 2025 di Jakarta. Terdapat serangkaian tindakan Aparat Kepolisian yang merupakan bentuk tindak kejahatan, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, pengabaian Kode Etik Profesi, dan prinsip-prinsip HAM internasional.

Massa aksi yang tergabung dalam Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) melakukan unjuk rasa di Depan Gedung DPR sejak pukul 09:00 WIB dalam perayaan hari buruh internasional 2025. Dalam momen ini, peserta aksi menuntut pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak buruh/pekerja dan jaminan kesejahteraan serta kebijakan yang tidak diskriminatif. Berdasarkan pemantauan dan pendampingan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), kami mencatat beberapa fakta tindakan pelanggaran hukum aparat keamanan pada aksi massa tersebut:

1. Aparat Kepolisian Menabrak Hukum dan Bertindak Represif serta Brutal pada Massa Aksi ketika Aksi Masih Berlangsung

  • Aparat kepolisian menghadang, menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR pada sekitar pukul 08:20 WIB. Bahkan terdapat mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas. Tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak menyampaikan pendapat sebagaimana yang diatur berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
  • Aparat kepolisian melakukan penganiayaan kepada paramedis yang sedang berjaga di posko medis. Kami menemukan bahwa 4 orang dari 14 massa aksi yang ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan medis. Tim medis ini mendapat penganiayaan berupa pemukulan pada bagian kepala dan leher. Pada beberapa korban, penganiayaan dilakukan sekitar 3-4 menit padahal korban sudah menyerah dan tidak memberikan tindakan reaksi apa pun;
  • Aparat kepolisian secara brutal melakukan penyerangan terhadap massa aksi. Kami menemukan 3 orang massa aksi yang mengalami luka bocor di kepala akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian. Sejumlah 13 dari 14 orang massa aksi yang ditangkap mengalami luka luar dan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Para korban mengaku dipukul, dipiting, didorong, ditendang, hingga dilindas oleh kendaraan bermotor. Peristiwa ini secara jelas melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kode Etik Profesi Kepolisian;
  • Aparat kepolisian melakukan penutupan fasilitas umum dengan memasang kawat berduri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang seharusnya menjadi akses jalan bagi masyarakat termasuk massa aksi yang ingin menggunakan haknya untuk menyeberang jalan di sekitar lokasi unjuk rasa;
  • Aparat kepolisian membubarkan aksi yang sedang berlangsung tanpa peringatan dan alasan yang sah menurut hukum. Sekitar pukul 17:00 WIB, mereka juga melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan untuk membubarkan aksi. Pembubaran dilakukan ketika aksi dan hiburan musik masih berlangsung dengan menggunakan water canon dan gas air mata yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
  • Aparat kepolisian melakukan kekerasan kepada Jurnalis dan menghalang-halangi kerja jurnalistik yang sedang meliput aksi. Tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada pokoknya menyatakan bahwa pers memiliki kebebasan untuk hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;
  • Aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan seksual berupa pelecehan seksual fisik dan nonfisik kepada salah seorang massa aksi perempuan yang ditangkap. Tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
  • Aparat Kepolisian tidak bertindak profesional dalam melaksanakan tugasnya. Aparat Kepolisian tidak menggunakan standar yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian maupun KUHAP, seperti tidak berseragam dinas, bahkan mengenakan pakaian yang menyerupai massa aksi, tidak menunjukan identitas ketika melakukan penangkapan dan upaya paksa pada massa aksi;

 

2. Aparat Kepolisian Menghalang-halangi Akses Bantuan Hukum pada Massa Aksi

  • Saat tim TAUD menghubungi POLDA Metro Jaya, kami tidak segera mendapatkan akses dan konfirmasi secara lengkap mengenai nama-nama massa aksi yang ditangkap. Informasi mengenai identitas massa aksi baru didapatkan dan berhasil dikonfirmasi dengan jelas pada sekitar pukul 21.00 WIB;
  • Pengacara publik dari TAUD diminta menyerahkan ponsel (alat kerja) saat pendampingan tanpa dasar yang jelas;
  • Aparat kepolisian menyita telepon genggam milik massa aksi yang ditangkap sehingga massa aksi sulit menghubungi keluarga dan pengacara. Tindakan tersebut telah melanggar Pasal 14 Kovenan HAM Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 maupun Pasal 60 KUHAP, yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas jaminan untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai guna mempersiapkan pembelaannya dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri.

 

3. Pelanggaran Hukum oleh Aparat Kepolisian dalam Proses Pemeriksaan Massa Aksi

Saat ini, TAUD masih mendampingi 14 peserta aksi yang ditangkap dan diperiksa di Polda Metro Jaya. Dalam pemeriksaan, kami menemukan beberapa fakta pelanggaran hukum kepolisian, diantaranya:

  • Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan tes urin secara sewenang-wenang padahal pemeriksaan yang sedang berlangsung bukan bagian dari proses penyidikan tindak pidana narkotika. Bahkan pemaksaan tes urine dilakukan sebelum adanya pendampingan oleh pengacara. Kepolisian juga melakukan permintaan sidik jari dan email pribadi dimana ini berpotensi melanggar hak atas data pribadi sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan data pribadi;
  • Pemeriksaan terhadap massa aksi yang ditangkap dilakukan dengan prosedur ilegal yakni dengan berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi yang tidak dikenal dalam KUHAP dan praktiknya menjadi ruang untuk mencari-cari kesalahan karena ketiadaan bukti permulaan yang cukup;
  • Kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan luka berat, pemeriksaan itu terus berlangsung bahkan hingga pukul 05.00 pagi di mana orang yang diperiksa sudah mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengiyakan pertanyaan dari pihak kepolisian. Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk torture atau penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
  • Dalam kondisi menahan rasa sakit, kepolisian tetap melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang massa aksi yang sudah diminta untuk beristirahat dari pemeriksaan terlebih dahulu oleh Dokter pada Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya. Tindakan pemeriksaan ini dilakukan setelah korban seolah-olah disuruh beristirahat ketika ada penasihat hukum setelah pemeriksaan dokter. Sesaat setelah penasihat hukum meninggalkan ruangan untuk membiarkan massa aksi beristirahat, polisi membangunkan massa aksi ini dan meneruskan pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasihat hukum dan dalam kondisi menahan rasa sakit;
  • Pihak Kepolisian menghalang-halangi korban kekerasan untuk mengakses rumah sakit. Untuk dapat mengakses rumah sakit, penasihat hukum perlu berdebat dengan kepolisian mengenai kebutuhan dari pemeriksaan lebih lengkap di rumah sakit untuk memastikan kondisi korban penganiayaan aparat. Akibat adanya penundaan untuk dibawa ke rumah sakit, kondisi korban semakin buruk dan hingga kini harus dirawat di rumah sakit.

Serangkaian tindakan Aparat Kepolisian di atas telah jelas mengancam kebebasan sipil khususnya hak berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum serta melanggar berbagai ketentuan undang-undang terkait seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Narkotika, UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, dan Peraturan Kepolisian Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan diatas. Kami berpandangan bahwa:

  1. Seluruh tindakan kepolisian sejak penangkapan dan pemeriksaan merupakan tindakan yang tidak sah karena tidak memiliki landasan hukum dan tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap 14 orang massa aksi adalah cacat hukum dan administratif sehingga harus dinyatakan batal demi hukum;
  2. Seluruh tindakan kepolisian sejak penangkapan dan pemeriksaan merupakan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Tindakan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia berupa hak atas rasa aman, hak atas bantuan hukum, hak untuk persamaan di depan hukum, hak untuk tidak disiksa, praduga tidak bersalah, serta hak-hak lainnya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  3. Seluruh tindakan kepolisian berupa penghalang-halangan jurnalis, menangkap dan melakukan kekerasan terhadap tim medis, melakukan blokade JPO, serta pembubaran dengan water canon terhadap massa aksi adalah bentuk pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai suatu hal yang fundamental dalam negara hukum yang demokratis.


Berdasarkan hal-hal tersebut, kami mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk segera menghentikan proses pemeriksaan dan upaya paksa ilegal yang dilakukan terhadap 14 orang massa aksi dan membebaskan 13 orang yang masih ditangkap secara sewenang-wenang yang bertempat di Subdit Keamanan Negara, Subdit Harta Benda, dan Subdit Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya;
  2. Kepala Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan investigasi serta pengawasan terhadap keseluruh tindakan Polda Metro Jaya yang tidak profesional dan melawan hukum;
  3. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya untuk melakukan pencarian fakta dan menindak anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran disiplin dan profesi Polri dalam perbuatan di atas;
  4. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan investigasi dan pemantauan terkait terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam penangkapan sewenang-wenang dan tindak kekerasan pada massa aksi May Day 2025;
  5. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk melakukan investigasi dan pemantauan terkait terjadinya kekerasan berbasis gender dalam penanganan massa aksi May Day 2025;
  6. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memantau dan melakukan evaluasi keseluruhan terhadap proses penanganan massa aksi yang harus berperspektif hak asasi manusia serta menjamin hak-hak konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk memberikan sanksi tegas bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum.

 

Jakarta, 2 Mei 2025
Hormat Kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

 

Narahubung: Asta - 0822-1094-6456

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan