1 Oktober menjadi tanggal yang kelam bagi dunia persepakbolaan di Indonesia. Pada hari ini, tepat 2 tahun lalu, terjadi salah satu peristiwa tragis yang menyebabkan 135+ suporter Arema FC meninggal dunia akibat kerusuhan yang terjadi pasca pertandingan derby Jawa Timur antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Kerusuhan terjadi pasca pertandingan yang dimenangkan oleh Persebaya Surabaya dengan skor 2-0, atas hasil tersebut beberapa suporter memasuki area lapangan dengan cara memanjat pagar pembatas stadion. Reaksi suporter ini justru direspon oleh tindak brutalitas aparat TNI/Polri dengan melakukan tindak kekerasan seperti pemukulan, tendekan, bahkan tembakan gas air mata. 

Tragedi yang mengerikan ini juga tidak dapat dilepaskan oleh beberapa faktor yang menggambarkan bagaimana tidak profesionalnya penyelenggaraan sepakbola di Indonesia. Mulai dari infrastruktur yang sebetulnya tidak memadai/layak digunakan untuk menghelat pertandingan besar, pihak manajemen pertandingan yang kurang siap dan juga ketat dalam pengawasan terhadap suporter yang hadir hingga pada akhirnya menyebabkan overload capacity pada stadion, dan faktor yang menjadi perhatian banyak publik yaitu bagaimana mekanisme pengamanan yang tidak proporsional dan malprosedural yang pada akhirnya justru membuat keadaan semakin tidak kondusif. Terlebih dalam pengamanan beberapa pertandingan di Indonesia seringkali melibatkan banyaknya personil TNI/Polri untuk mengamankan jalannya pertandingan. Banyaknya jumlah personil terkadang membuat situasi cenderung semakin tidak kondusif dikarenakan minimnya pengawasan dan justru seolah-olah menggambarkan pasukan “siap tempur”.

2 tahun pasca tragedi mengerikan ini terjadi, negara masih juga belum dapat mengungkap dan mengusut tuntas peristiwa ini. Ketidakseriusan dan keengganan untuk mengusut tuntas membuat negara gagal untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban. Tidak ada perkembangan yang signifikan untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban. Padahal Presiden Joko Widodo telah berjanji untuk mengusut tuntas peristiwa ini secara transparan serta memberikan hukuman yang sepadan bagi para pelaku tindak pidana.[1]  Namun nyatanya tidak ada satupun dari janji-janji tersebut yang dipenuhi dan direalisasikan oleh Pemerintah. Nampaknya pernyataan itu hanyalah formalitas semata untuk meredam kesedihan keluarga, tanpa adanya komitmen untuk memenuhi janji tersebut. Dalam setahun kebelakang, setidaknya terdapat beberapa upaya advokasi yang sudah ditempuh oleh para pendamping, baik oleh Koalisi Masyarakat Sipil maupun Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK). Namun segala upaya tersebut dimentahkan dan membuat keadaan korban semakin terpinggirkan.

Adapun selama 2 tahun ini, hal-hal yang dapat kami update adalah:

Keengganan serta tidak seriusnya lembaga negara dalam merespon tragedi Kanjuruhan

Medio September 2023 lalu, Koalisi Masyarakat Sipil dan TATAK bersama dengan perwakilan keluarga korban mendatangi Mabes Polri guna melaporkan adanya dugaan tindak kekerasan yang menyebabkan kematian terhadap anak dibawah umur. Sebagaimana yang diketahui bahwa 44 dari 135+ korban meninggal merupakan anak dibawah dan perempuan. Namun sayangnya laporan itu ditolak oleh Kepolisian dengan dalih telah adanya proses hukum yang memeriksa peristiwa tersebut dan telah mengadili 5 terdakwa. Penolakan laporan ini bukanlah kali pertama yang dialami oleh keluarga korban. Sebelumnya pada April 2023, keluarga korban didampingi oleh Koalisi Masyarakat Sipil juga mendapatkan respon serupa oleh pihak Kepolisian di Bareskrim Mabes Polri. Tidak adanya alasan yang jelas dan berlandaskan hukum, maka sangat jelas bahwa Kepolisian telah melakukan pelanggaran kode etik kepolisian sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, Kepolisian tidak hanya menolak laporan yang diadukan tetapi juga menghentikan laporan model B milik Devi Athok Yulfitri dan Rizal Pratama Putra. Kepolisian berdalih bahwa setelah melalui proses gelar perkara, tidak memenuhi Pasal yang dilaporkan oleh para pelapor yakni berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana. Sulitnya keluarga korban untuk mendapatkan keadilan pastinya menimbulkan kekecewaan serta meragukan kredibilitas dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus ini.

Lebih lanjut, keengganan negara dalam mengusut tuntas peristiwa ini juga terlihat dari respon lembaga negara lainnya seperti Komnas HAM. Setidaknya sebanyak 3 kali keluarga korban mendatangi Komnas HAM guna mendorong adanya penyelidikan pro justisia dan penetapan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus Pelanggaran HAM Berat. Tidak hanya itu, hasil kajian serta legal opinion pun telah diberikan guna membantu Komnas HAM dalam menganalisis peristiwa ini. Namun sayangnya Komnas HAM berpendapat bahwa peristiwa Kanjuruhan tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal ini tentu menimbulkan kritik dari masyarakat dan keluarga korban, yang berharap adanya pengakuan resmi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam insiden tersebut. 

Upaya menghilangkan barang bukti melalui renovasi stadion Kanjuruhan.

Semenjak munculnya wacana akan direnovasi stadion Kanjuruhan oleh Presiden Joko Widodo, gelombang protes muncul dari para keluarga korban, Aremania, Mahasiswa dan Masyarakat sipil. Tidak adanya ruang dialog ditambah partisipasi berarti yang diberikan kepada keluarga korban serta adanya upaya untuk menghilangkan barang bukti merupakan 2 alasan utama banyaknya penolakan atas wacana ini. Koalisi Masyarakat Sipil bersama dengan TATAK telah mengupayakan agar wacana renovasi ini tidak direalisasikan dengan mengirimkan surat somasi ke Kementerian PUPR, PT. Waskita Karya dan PT. Brantas Abipraya dan juga dugaan maladministrasi ke Ombudsman RI. 

Betul saja pada tanggal 21 Juli 2024, pintu 13 yang merupakan tempat kejadian (Locus Delicti) dibongkar. Kami menilai pembongkaran ini merupakan upaya untuk  melakukan Obstruction of Justice dalam proses hukum yang saat ini sedang berjalan dengan menghancurkan/ menghilangkan/merusak barang bukti (tempat kejadian perkara). Sementara lokasi ini tidak pernah digunakan dalam proses rekonstruksi. Tidak adanya rekonstruksi di pintu 13 Stadion Kanjuruhan pun menjadi sorotan penting dalam penegakan hukum kasus ini. Mengingat di lokasi inilah terjadi peristiwa berdesak-desakan yang menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan menjadi bukti krusial dalam upaya pengusut-tuntasan kasus ini. Bahwa negara melalui Kementerian PUPR dan 2 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT. Waskita Karya dan PT. Abipraya Brantas secara nyata telah melanggar Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP.

Tidak adanya niat untuk berbenah dalam institusi kepolisian.

Seakan tak pernah belajar dari pengalaman, penggunaan gas air mata masih terus digunakan oleh Kepolisian terutama dalam tugas pengamanan massa. Dari beberapa peristiwa sebelumnya sudah sangat jelas tergambarkan bagaimana Penggunaan gas air mata dapat memperburuk situasi, menyebabkan kepanikan, dan meningkatkan risiko cedera, yang justru semakin membuat keadaan tidak terkendali. Kritik terhadap praktik ini semakin kuat, terutama terkait keselamatan publik dan perlunya mitigasi situasi secara terkendali. Tidak terkendalinya penggunaan kekuatan yang digunakan Kepolisian dalam menjalankan tugas serta minimnya akuntabilitas membuat perlunya pengawasan yang lebih ketat dalam tugas-tugas kepolisian.

Ditengah kinerja Kepolisian yang terus disorot oleh publik, muncul wacana untuk merevisi UU No. 2 Tahun 2002. Tentu wacana ini mendapatkan penolakan yang sangat masif dari masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh substansi Undang-Undang yang dirasa tidak memberikan solusi atas buruknya kinerja Kepolisian selama ini, namun justru menambah wewenang Kepolisian yang dikhawatirkan dapat menyebabkan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang lembaga lain. Selain itu tidak adanya pengaturan perihal penguatan terhadap lembaga pengawas eksternal juga menjadi salah satu point yang menjadi perhatian publik atas wacana revisi UU ini. 

Tragedi Kanjuruhan merupakan pengingat akan kompleksitas yang ada dalam pengelolaan acara olahraga dan buruknya proses penegakan hukum di Indonesia. Perlu adanya perbaikan secara menyeluruh untuk memperbaiki pengelolaan serta pencegahan agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.

Untuk itu, bersamaan dengan peringatan 2 tahun tragedi Kanjuruhan kami mendesak:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk dapat memenuhi janjinya mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan. Bahwa kelima pelaku yang diadili hanya pelaku lapangan, sehingga perlu adanya pengungkapan dan pertanggungjawaban oleh para aktor high level. Serta dibukanya ruang-ruang dialog terhadap keluarga korban atas kebijakan yang nanti akan diambil berkaitan dengan peristiwa Kanjuruhan;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia untuk kembali melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan keterlibatan aktor lain secara transparan dan akuntabel. Dan memberikan hukuman yang setimpal bagi mereka yang terbukti terlibat dalam atas tragedi ini. Serta melakukan evaluasi dan reformasi di tubuh Kepolisian agar mampu memiliki anggota Kepolisian yang ideal dan memiliki akan konsep pemajuan Hak Asasi Manusia;

Ketiga, Komnas HAM untuk dapat melakukan pengkajian dan penyelidikan Pro-Yustisia dugaan pelanggaran HAM Berat HAM sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;

Keempat, Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan pengawasan secara ketat dalam setiap tugas-tugas yang dijalankan oleh Kepolisian serta memberikan rekomendasi dan arah kebijakan yang progresif terhadap Presiden agar dapat memberikan perbaikan di tubuh Kepolisian;

Kelima, Menpora, PSSI, dan PT.LIB untuk dapat segera memperbaiki pengelolaan sepakbola di Indonesia dan memastikan peristiwa seperti ini tidak terulang di masa yang akan datang.

Jakarta, 1 Oktober 2024
Jakarta - Malang

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) - LBH Pos-Malang - LBH Surabaya - YLBHI

 

 

Narahubung:

Andi M. Rezaldy (KontraS)
Arif Maulana (YLBHI)
Jauhar Kurniawan (LBH Surabaya)
Daniel Siagian (LBH pos Malang)

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio