Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam penayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI oleh sejumlah stasiun televisi sepanjang September 2024 termasuk Trans TV, Trans 7, MNC TV dan stasiun TV lainnya. Film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada tahun 1984 ini mengandung banyak penyimpangan sejarah serta memuat banyak adegan kekerasan. Konten tersebut menjadikannya tidak pantas untuk ditayangkan secara luas karena dapat menyebabkan trauma dan menormalisasi kekerasan, terutama di kalangan anak-anak. Hal ini sejalan dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), yang dalam Pasal 23 melarang program yang menampilkan kekerasan secara detail, termasuk penembakan dan adegan berdarah. 

Selain itu, Pasal 24 Ayat (1) melarang tayangan yang mengandung ungkapan kasar dan makian yang dapat merendahkan martabat manusia. Namun, KPI, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi penayangan di televisi, justru membiarkan film ini tayang. Sikap ini bertentangan dengan Pasal 8 Ayat (3) huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang menyatakan bahwa salah satu tugas dan kewajiban KPI adalah “menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.” Sebaliknya, film ini justru kontraproduktif dengan semangat reformasi Indonesia, yaitu mengakhiri rezim Orde Baru yang otoriter dan mengganti dengan sistem yang demokratis dan mengedepankan hak asasi manusia.

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sendiri merupakan film propaganda narasi dari rezim Soeharto untuk merawat upaya peminggiran negara terhadap PKI yang telah menyebabkan pembunuhan massal terhadap masyarakat di seluruh Indonesia sepanjang 1965-1966. Para korban dituduh terlibat dalam pembunuhan terhadap tujuh jenderal Angkatan Darat meskipun pada kenyataannya mereka tidak melakukan kesalahan apapun. Sebagai bagian dari upaya propaganda, film ini menyajikan ketidaksesuaian informasi dengan menyudutkan PKI. Oleh karena itu, penayangan film ini bagi publik justru merawat kebencian dan mewariskan ingatan kolektif yang keliru mengenai sejarah bangsa Indonesia. Penayangan film ini pun dihentikan pada 1998 oleh Menteri Penerangan Muhammad Yunus karena film ini tidak selaras dengan semangat Reformasi.[1]

Pembunuhan massal 1965-1966 bukanlah sebuah mitos. Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia ini telah diakui dan dinyatakan oleh sejumlah lembaga negara,[2] seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Bahkan Presiden Joko Widodo juga telah mengakui peristiwa 1965-1966 sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang pernah terjadi di Indonesia dalam pidatonya pada 11 Januari 2023 lalu. Oleh karena itu, mempertahankan stigma terhadap korban dan menyebarkan memori kolektif yang keliru mengenai peristiwa ini dengan penayangan film tersebut justru bertentangan dengan upaya pemajuan hak asasi manusia dan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Penayangan film ini menambah luka bagi para penyintas 1965, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini semakin menegaskan ketidakseriusan negara dalam menangani warisan kekerasan masa lalu. Selain itu, film ini juga mendistorsi sejarah dengan mengabaikan konteks dan dampak psikologis dari tayangan tersebut, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap martabat manusia serta pentingnya informasi yang akurat. Dalam hal ini, negara seharusnya aktif melindungi masyarakat dari narasi yang merugikan, memastikan bahwa informasi yang disajikan tidak hanya benar tetapi juga memulihkan hak-hak korban Peristiwa 1965. Penayangan film ini berpotensi menambah trauma dan stigmatisasi, yang semakin memperburuk situasi para penyintas. 

Padahal, di luar sana ada banyak karya film progresif yang mengutamakan narasi kebenaran seperti yang ada pada film Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer ataupun film dokumenter yang menceritakan tentang kehidupan penyintas 1965 seperti You and I karya Fanny Chotimah atau Semai Phala karya Yayan Wiludiharto–yang jauh lebih layak untuk ditonton. Penayangan film ini, hanya akan menghambat proses pengungkapan kebenaran dan pemulihan tidak hanya bagi para korban dan penyintas 1965 tetapi juga bagi generasi saat ini agar kekerasan serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.

Menyikapi hal ini, KontraS mendesak:

  1. Stasiun Televisi untuk tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”;
  2. Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengimbau dan melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh stasiun televisi di Indonesia agar tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” karena muatan film yang bertentangan dengan hak asasi manusia;
  3. Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah nyata dan menyeluruh dalam mengungkap kebenaran mengenai peristiwa 1965-1966, memulihkan korban, dan menghapuskan stigma yang melekat pada korban 1965-1966 dan keluarganya; dan
  4. Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti proses hukum peristiwa 1965-1966 ke tahap penyidikan, alih-alih menegasikan kasus ini sebagai pelanggaran HAM yang berat.

Jakarta, 27 September 2024
Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya Saputra
Koordinator
Narahubung: +6282175794518


[1] Nur Fitriatus Shalihah & Rizal Setyo Nugroho, Sejarah Film "Pengkhianatan G30S/PKI" dan Alasannya Dihentikan Tayang di TV, Kompas, 30 September 2020, https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/30/105221865/sejarah-film-pengkhianatan-g30s-pki-dan-alasannya-dihentikan-tayang-di-tv?page=all.

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan