40 tahun telah berlalu sejak peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) Tanjung Priok 1984 terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI) menyoroti bahwa selama itu pula Negara tidak menunjukkan komitmen dan tanggung jawab seriusnya dalam penyelesaian kasus ini. Negara justru menggunakan alat kehakiman yang ada untuk secara sah melegitimasi impunitas bagi pelaku dan menggugurkan pemenuhan pemulihan korban. Hal ini tentu membuat publik, khususnya korban, mempertanyakan integritas dan keberpihakan pengadilan, sebagai pengawas pelaksanaan undang-undang, kepada rakyat dan keadilan.

 

Peristiwa ini bermula saat Sertu Hermanu, Babinsa Kodim 0502, yang melepaskan secara paksa poster-poster kritik terhadap larangan pemakaian jilbab dan Asas Tunggal Pancasila yang ditempel di Mushola As-saadah. 4 orang warga yang memprotes tindakan tersebut kemudian ditahan di Kodim 0502. Massa aksi yang bergerak untuk menuntut pembebasan atas 4 orang tersebut dihadang aparat dari kesatuan Arhanudse pimpinan Kapten Sriyanto (pasiop Kodim 0502). Aparat menembaki massa secara membabi buta, menangkap warga sampai ke lorong-lorong, dan menyapu massa menggunakan panser. Warga yang ditahan juga mengalami penyiksaan dan banyak warga yang masih dinyatakan hilang sampai sekarang. Peristiwa ini mencerminkan betapa kejinya Negara terhadap warga negaranya sendiri dengan mengatasnamakan supremasi Asas Tunggal Pancasila hingga lantas merepresi komunitas dengan ideologi Islam, yang terulang kembali dalam peristiwa Talangsari 1989 di Lampung.

 

Pada 2003, Pengadilan HAM ad hoc memutus bersalah 12 orang terdakwa dan kewajiban Negara untuk memberikan kompensasi kepada para korban. Akan tetapi, keputusan tersebut kemudian dianulir pada tingkat banding dan kasasi pada 2005 sehingga para terdakwa lolos dari jeratan hukum atas kejahatan yang mereka perbuat. Parahnya lagi, sebagaimana Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyandarkan hak pemulihan korban melalui kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sepenuhnya pada putusan pengadilan, korban pun tidak lagi dijamin haknya atas pemulihan. Hal ini disebabkan tidak adanya pelaku yang diputus bersalah sehingga otomatis menggugurkan kewajiban Negara untuk melakukan pemulihan pada korban.

 

Presiden Joko Widodo, yang mengumbar janji penyelesaian pelanggaran berat HAM dalam kampanyenya, malah secara aktif dan sadar memilih untuk secara nyata mengabaikan hak   korban peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam pidatonya pada 11 Januari 2023, Presiden bahkan tidak menyebutkan peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di Indonesia dan menganggap bahwa peristiwa tersebut sudah mendapat penyelesaian secara hukum bersamaan dengan peristiwa Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014. Hal ini semakin menegaskan sikap Negara yang berupaya untuk memutihkan kasus-kasus pelanggaran berat HAM alih-alih menyelesaikannya secara berkeadilan dan substantif.

 

Klaim pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia mampu dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM melalui hukum domestiknya seakan hanyalah isapan jempol belaka. Faktanya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah (PBB) mengadopsi Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan tentang Hak atas Pemulihan dan Reparasi kepada Korban Pelanggaran Berat Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Pelanggaran Serius Hukum Humaniter Internasional pada 16 Desember 2005.

 

Prinsip dan panduan tersebut menegaskan bahwa “(s)eseorang harus dianggap sebagai seorang korban tanpa menghiraukan apakah para pelaku pelanggaran bisa diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau divonis..” dan “(b)ahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia memunculkan hak atas reparasi di pihak korban atau ahli warisnya, yang mengimplikasikan kewajiban di pihak untuk membuat reparasi..” Jika Presiden Joko Widodo berkomitmen pada janji kampanyenya, seharusnya ia bisa mengambil langkah-langkah konkret agar prinsip dan panduan PBB tersebut bisa diterapkan di Indonesia, termasuk bagi korban Tanjung Priok 1984.

 

Oleh karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI) mendesak:

  1. Presiden Joko Widodo untuk memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa Tanjung Priok 1984 atas kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi;
  2. Presiden Joko Widodo untuk memberikan kejelasan mengenai status korban peristiwa Tanjung Priok 1984 yang masih hilang hingga saat ini;
  3. Presiden Joko Widodo untuk membangun memorialisasi peristiwa Tanjung Priok 1984 di ruang publik untuk merawat ingatan publik akan kebenaran dan untuk mencegah keberulangan; dan
  4. Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Orang secara Paksa sesuai rekomendasi Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam surat nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009.

 

Jakarta, 12 September 2024

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)

 

Narahubung:

Jane Rosalina (KontraS)

Wanmayetti (IKAPRI)

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan