Rilis Pers Temuan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dalam Penanganan Aksi Demonstrasi 22 Agustus 2024

Brutalitas Aparat Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

 

Kamis, 29 Agustus 2024. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengumumkan temuan dalam penanganan aksi demonstrasi bertajuk “Peringatan Darurat” yang berlangsung pada 22 Agustus 2024 di depan Gedung DPR RI oleh aparat keamanan gabungan, maupun pendampingan hukum terhadap demonstran yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Adapun temuan tersebut didasarkan pada hasil pengaduan yang masuk melalui hotline, pemantauan dan pendampingan aksi demonstrasi, serta pendampingan hukum terhadap demonstran yang ditangkap. Hal tersebut adalah sebagai berikut:

 

Terkait dengan kekerasan yang terjadi di sekitar Gedung DPR RI:

  1. Terdapat setidaknya 21 demonstran, khususnya yang didampingi oleh TAUD mengalami luka-luka baik fisik maupun psikis akibat kekerasan;

  2. Terdapat penggunaan kekuatan yang tidak perlu, berlebihan atau eksesif, dalam bentuk senjata tumpul maupun gas air mata, oleh aparat keamanan terhadap demonstran;

  3. Pelaku kekerasan adalah anggota TNI maupun Polri (dengan atau tanpa seragam resmi);

  4. Penangkapan terhadap demonstran di lapangan dilakukan secara acak, tanpa identifikasi lebih lanjut mengenai siapa individu yang betul-betul merupakan pelaku kerusuhan.

  5. Mereka yang ditangkap sewenang wenang mendapatkan kekerasan fisik maupun verbal baik dipukul, ditendang, dan tindakan lainnya. 

Terkait pendampingan hukum terhadap demonstran yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya:

  1. TAUD mendampingi 29 demonstran yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya, 1 di antaranya masih berusia anak. Adapun penangkapan tersebut tanpa disertai dengan administrasi penyidikan yang lengkap (tanpa surat perintah penangkapan, surat izin penggeledahan dan penyitaan dari ketua pengadilan setempat);

  2. Terdapat 11 demonstran yang didampingi TAUD ditetapkan sebagai tersangka. Dari total 19 demonstran yang diumumkan Polda Metro Jaya;

  3. Terdapat total 19 item barang-barang milik 11 demonstran yang dilakukan penyitaan paksa oleh aparat keamanan dan hingga saat ini belum dikembalikan padahal bernilai puluhan juta rupiah;

  4. Terdapat 1 handphone demonstran yang disita dan diperiksa secara digital forensik.

Berdasarkan data dan fakta di atas, TAUD dengan tegas menyatakan bahwa aksi demonstrasi tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan hak untuk berkumpul, berekspresi, dan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi dan seharusnya dihormati dan dilindungi oleh negara. Ironisnya, aksi penyampaian pendapat oleh masyarakat tersebut justru direspons dengan kekerasan brutal oleh aparat keamanan dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban umum maupun penegakan hukum. Lebih lanjut, TAUD berpandangan sebagai berikut:

 

Pertama, kami memahami kompleksitas situasi yang dihadapi petugas di lapangan. Namun demikian, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat keamanan wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO). Di Indonesia, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional tersebut. Khususnya ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 6/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dalam keadaan kerusuhan (chaos), aparat keamanan diwajibkan untuk memprioritaskan pembubaran massa tanpa menggunakan kekuatan senjata. Dalam hal penggunaan kekuatan dibutuhkan, maka hal tersebut harus sebanding dengan kekerasan dan ancaman kekerasan yang diarahkan kepada aparat keamanan. Hal tersebut harus pula dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, reasonable, nesesitas, proporsionalitas, preventif dan akuntabilitas.

 

Berdasarkan pemantauan kami, aksi demonstrasi ini justru direspons dengan brutal menggunakan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) dan dilakukan secara membabi buta. Tidak terdapat upaya persuasif yang memadai serta langkah-langkah efektif untuk menghindari penggunaan kekuatan senjata. Oleh karenannya, lima prinsip dalam penggunaan kekuatan tersebut di atas menjadi terlanggar. Seperti halnya ketika menembakkan gas air mata secara serampangan tanpa peringatan dan tidak terarah.

 

Kedua, penggunaan kekuatan secara berlebihan/eksesif oleh aparat keamanan dalam penanganan aksi demonstrasi tersebut jelas berkorelasi langsung dengan luka fisik maupun psikis yang dialami oleh para demonstran akibat kekerasan yang dilakukan secara sistematis oleh aparat keamanan.

 

Hal tersebut jelas memenuhi rumusan unsur tindakan yang tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia sebagaimana dimaksud Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman, yakni tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan fisik maupun psikis yang parah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk menghukum korban atas suatu tindakan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukannya, serta dilakukan oleh otoritas resmi, dalam hal ini anggota polisi maupun TNI.

 

Ketiga, Polda Metro Jaya melakukan proses hukum–termasuk upaya paksa–secara sewenang-wenang terhadap para demonstran. Hal tersebut karena sejak ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya, para demonstran tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas, apakah sebagai saksi atau bahkan tersangka. Para demonstran diperiksa dan keterangannya dituangkan dalam Berita Acara Interogasi (BAI) sebagai mekanisme yang tidak diatur dalam KUHAP namun sering dilakukan oleh polisi. Begitu pula dengan harta bendanya, dirampas dan hingga kini tidak jelas keberadaannya. Bahkan, tidak terdapat dua alat bukti yang diperlihatkan kepada TAUD sebagai dasar untuk memproses hukum para demonstran. Namun sayangnya, berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi, pihaknya justru telah menetapkan 19 orang demonstran sebagai tersangka.

 

Tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran dan pelecehan terhadap hukum acara pidana yang pada hakikatnya memiliki semangat menjamin transparansi dan akuntabilitas kerja-kerja penegak hukum, salah satunya kepolisian.

 

Dalam KUHAP, seluruh pelaksanaan upaya paksa memiliki konsekuensi akuntabilitas. Namun nyatanya, dalam kasus ini, Polda Metro Jaya menjadi aktor tunggal yang bergerak tanpa akuntabilitas dengan menangkap para demonstran tanpa administrasi penyidikan yang jelas, melakukan pemeriksaan tanpa mengikuti ketentuan hukum acara, dan menggeledah serta menyita barang milik para demonstran tanpa izin pengadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

 

Keempat, tindakan upaya paksa penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap massa aksi oleh Polda Metro Jaya tanpa dijelaskan keberadaannya hingga larangan diberikan pendampingan hukum adalah bentuk dari short-term enforced disappearances atau penghilangan orang secara paksa dalam waktu singkat. Komite Penghilangan Paksa (CED) sebagai badan perjanjian yang didirikan berdasarkan Konvensi ICPPED 2006 mengakui bahwa kondisi di mana seseorang ditahan secara rahasia dan di luar perlindungan hukum dan dapat kembali setelahnya baik dalam keadaan hidup dan mati merupakan kasus penghilangan paksa meski jangka waktunya singkat.

 

Berdasarkan pengaduan yang masuk melalui hotline TAUD, laporan massa aksi pertama kali yang diterima adalah tindakan penangkapan yang dilakukan kepolisian pada sekitar pukul 17.00 WIB terhadap Del Pedro Marhaen selaku Direktur Lokataru Foundation dan M Iqbal Ramadhan yang merupakan Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta. Setelah ditangkap, kedua orang tersebut tidak diketahui keberadaannya selama hampir 6 jam. Lebih jauh, selain Del Pedro dan M Iqbal, dari total 27 massa aksi yang melaporkan pengaduan ke TAUD, 25 orang diantaranya baru dapat diberikan akses bantuan hukum sekitar pukul 04.00 WIB dini hari (23/08/2024). Artinya, rata-rata orang yang ditangkap ditahan hampir 11 jam tidak diketahui keberadaannya.

 

Atas hal tersebut, kami menilai peristiwa brutalitas yang terjadi 22 Agustus kemarin, pihak kepolisian patut diduga telah melakukan tindakan penghilangan orang secara paksa dalam waktu singkat (short-term enforced disappearances) yang berdampak pada minimnya perlindungan hukum termasuk akses atas hak bantuan hukum. Perlu kami tegaskan bahwa penghilangan orang secara paksa yang menimpa para massa aksi merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Lebih jauh, penghilangan orang secara paksa yang terus terjadi hingga kini karena tidak seriusnya negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa (The International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED) sehingga dapat mengisi kekosongan peraturan hukum di Indonesia mengenai penghilangan paksa.

 

Kelima, adanya penghalang-halangan akses bantuan hukum kepada mereka yang ditangkap ketika di Polda Metro Jaya. TAUD sebagai pendamping hukum bagi para demonstran dihalang-halangi oleh petugas kepolisian Polda Metro Jaya. Pihak kepolisian beralasan bahwa para demonstran tidak boleh didampingi karena belum ada surat kuasa serta belum ada arahan lebih lanjut dari pimpinan mereka terkait proses penanganan para demonstran. Padahal, setelah TAUD memperoleh akses masuk ke dalam ruang pemeriksaan, para demonstran telah selesai proses pemeriksaan. Bahkan kami juga mendapati fakta bahwa korban penangkapan sewenang-wenang berusia anak tidak diberi pendampingan oleh Badan Pemasyarakatan (BAPAS) pada proses pemeriksaan maupun orang tua/wali.

 

Tindakan petugas kepolisian tersebut jelas merupakan penghalang-halangan akses terhadap bantuan hukum yang melanggar berbagai ketentuan hukum acara pidana maupun berbagai instrumen mengenai hak asasi manusia (HAM). Pendampingan atau pemberian bantuan hukum merupakan hak pendamping sekaligus hak bagi seluruh pihak yang sedang berhadapan dengan hukum. Hal tersebut dijamin dalam KUHAP, UU Advokat, UU Bantuan Hukum, UU HAM, serta United Nations Basic Principles on the Role of Lawyers, dan United Nations Principles and Guidelines on Access to Legal Aid in Criminal Justice Systems.

 

Keenam, pelibatan aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan aksi demonstrasi telah melanggar peraturan perundang-undangan dan menginjak-nginjak hak demokrasi warga negara. Bahwa dalam peristiwa kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi 22 Agustus 2024 di gedung DPR/MPR, TNI turut diterjunkan dalam pengamanan. Bahkan, dalam dokumentasi yang TAUD dapatkan, TNI terlibat dalam melakukan tindakan kekerasan hingga melakukan penangkapan terhadap massa aksi.

 

Lebih jauh, mengacu pada UU TNI konteks penerjunan militer dalam tugas perbantuan melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) haruslah disetujui melalui keputusan politik negara antara Presiden dan DPR. Persoalannya, keterlibatan TNI dalam pengamanan aksi 22 Agustus di DPR, tidak dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Hal ini jelas merupakan bentuk pembangkangan peraturan perundang-undangan serta merupakan kemunduran signifikan atas agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK), demokrasi, dan hak asasi manusia.

 

Ketujuh, brutalitas aparat keamanan yang terjadi pada aksi demonstrasi 22 Agustus 2024 ini tidak dapat dipandang hanya sebagai peristiwa tunggal. Brutalitas tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan dan rangkaian kausalitas dengan brutalitas yang terjadi sebelumnya, seperti dalam rangkaian aksi demonstrasi sepanjang 2019, yang menelan korban hingga 50 jiwa, maupun aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 2020 yang menyebabkan 5.198 orang ditangkap dengan jumlah terbesar sejak pascareformasi termasuk brutalitas aparat dalam penggusuran paksa kasus rempang atau wadas atau kasus-kasus lain dengan mengatasnamakan pembangunan.

 

Jatuhnya korban jiwa dan luka fisik maupun psikis akibat brutalitas aparat keamanan dalam berbagai kesempatan ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum atau kejahatan biasa, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 dan Pasal 9 UU 26/2000. Hal tersebut sudah sepatutnya direspons secara aktif oleh Komnas HAM RI untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur pelanggaran HAM berat yaitu sistematis dan/atau meluas melalui penyelidikan pro yustitia.

 

Kedelapan, kami juga menyoroti terdapatnya upaya pembatasan informasi serta pelanggaran terhadap perlindungan kerja-kerja jurnalistik di lokasi aksi demonstrasi. Berdasarkan data yang diperoleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), setidaknya terdapat 11 jurnalis di Jakarta menjadi korban kekerasan aparat melalui bentuk tindakan intimidasi, perusakan alat kerja, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis hingga fisik yang mengakibatkan luka-luka berat. Kekerasan terhadap jurnalis sebagian besar dialami ketika jurnalis tengah mendokumentasikan tindakan represif aparat TNI dan Polri terhadap peserta aksi. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap jurnalis merupakan pelanggaran terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Lebih lanjut, pelanggaran yang timbul dari terdapatnya kekerasan terhadap jurnalis yakni hak atas informasi bagi publik, khususnya terkait penanganan aksi oleh aparat. Informasi ini seharusnya disampaikan secara berkala dan transparan melalui media massa, mengingat banyaknya peserta aksi yang terlibat, sehingga penting bagi keluarga dan kerabat peserta aksi maupun publik pada umumnya. Tindakan ini melanggar Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, termasuk kebebasan mencari, menerima, dan menyampaikan informasi.

 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mendesak agar:

  1. Presiden dan DPR RI harus bertanggung jawab terhadap praktik kesewenang-wenangan dan brutalitas aparat keamanan khususnya yang dilakukan Kepolisian RI dan keterlibatan TNI dalam pengamanan aksi selama ini;

  2. Presiden dan DPR RI segera mencopot Kapolri karena kegagalannya memberikan perlindungan kepada warga masyarakat menjalankan hak asasinya menyampaikan pendapat dimuka umum dan justru menjadi aktor pelanggaran hak asasi manusia warga negara;

  3. Presiden dan DPR RI membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan evaluatif komprehensif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan dan keselamatan warga negara serta untuk melakukan pencarian fakta secara profesional, independen, transparan, dan akuntabel dan menuntut pertanggungjawaban terhadap aparat keamanan yang diduga terlibat dalam kasus ini;

  4. Presiden dan DPR RI segera mengesahkan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa (The International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED);

  5. Lembaga negara independen (Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, Komnas Perempuan, dan KPAI) secara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya;

  6. Komnas HAM melakukan penyelidikan pro Justitia atas dugaan pelanggaran HAM yang berat terkait brutalitas aparat keamanan di berbagai aksi demonstrasi;

 

Jakarta, 29 Agustus 2024

Hormat kami,

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)

 

 

Narahubung:

Andy Rizaldi 
M Fadhil Al Fathan
Arif Maulana
Gema Persada
Annisa Azzahra
Nurina Savitri

 

Klik link untuk melihat siaran pers https://www.youtube.com/watch?v=FU5XrCdwvsc 

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio