Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kebijakan rezim Prabowo-Gibran mengenai efisiensi anggaran terhadap hampir semua Kementerian/Lembaga negara berdasarkan peraturan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Pengejawantahan instruksi tersebut kemudian memangkas anggaran belanja dan operasional di sejumlah Kementerian/Lembaga, tak terkecuali lembaga yang menjalankan fungsi pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). 

KontraS menilai bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap lembaga-lembaga penting yang mendorong pemajuan HAM dan penegakan hukum adalah bukti dari pengabaian dan tidak adanya komitmen pemajuan HAM dan perbaikan sistem hukum oleh Prabowo Subianto selaku kepala negara. Bahkan, kami berpendapat bahwa hal ini merupakan sebuah rangkaian sistematis untuk melemahkan mekanisme HAM nasional (local human rights mechanism) yang dimandatkan oleh Prinsip Paris (Paris Principle).   

Dalam konteks ini, kami memiliki concern terhadap LPSK dan Komnas HAM sebagai lembaga yang masing-masing bertanggung jawab pada pemenuhan hak asasi manusia baik korban, saksi hingga penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM. Berdasarkan pemantauan yang kami lakukan, pemangkasan anggaran di LPSK dari 229 Miliar menjadi 85 Miliar. Sedangkan, Komnas HAM mengalami pemangkasan dari 122,8 Miliar menjadi 52 Miliar. 

Dalam fungsinya, LPSK bekerja berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan korban tak terkecuali pada kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Lebih lanjut, dalam kerangka mendukung tugas serta fungsi tersebut LPSK memberikan layanan publik seperti perlindungan fisik, prosedural, hukum, bantuan medis, psikologis dan psikososial serta fasilitasi restitusi dan kompensasi. 

Otomatis, dengan pengurangan anggaran kepada LPSK berpotensi menghambat layanan perlindungan terhadap saksi dan korban kejahatan serta pelapor, ahli, dan whistleblower serta justice collaborator. Perlindungan yang diberikan LPSK juga akan menjadi tidak maksimal dikarenakan tidak adanya anggaran sehingga harus menghentikan bantuan psikososial dan medis kepada korban yang masuk dalam kategori korban pelanggaran berat HAM, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban kekerasan seksual, korban penyiksaan dan korban penganiayaan berat (pasal 6 Undang-Undang LPSK). 

Sedangkan, Komnas HAM memiliki mandat untuk melakukan pemajuan HAM seperti pengkajian, penyuluhan, penelitian dan fungsi pemantauan serta penyelidikan terutama pada kasus pelanggaran berat HAM dalam kapasitasnya sebagai penyelidik. Skema efisiensi anggaran yang diberikan kepada komnas HAM apabila diturunkan ke dalam alokasi anggaran program berdampak kepada 90 persen program kerja yang berjalan. Dikutip dari kolom Tempo, program yang terdampak tersebut diantaranya pendataan korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM masa lalu, aduan kasus pelanggaran HAM, pemantauan daerah konflik dan daerah terdampak PSN, penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM pembunuhan Munir hingga pengkajian dan perumusan kebijakan/revisi peraturan perundang-undangan berbasis HAM.

Menurut Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, proses disrupsi fungsi dan kinerja lembaga demokrasi menggunakan pelemahan dan pengurangan anggaran merupakan cerminan sebuah negara Anti HAM, “pelemahan tugas pokok fungsi sebuah lembaga demokratik tidak melulu hanya melalui perubahan regulasi atau pencabutan kewenangannya, namun juga dapat melalui politik anggaran. Dengan dipangkasnya anggaran bagi Komnas HAM, LPSK, Komnas Perempuan dan beberapa lembaga demokratik lainnya menunjukkan kecenderungan bahwa kewajiban pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM serta perbaikan sistem hukum, pendidikan dan kesehatan tidak dipandang penting oleh negara. Sementara, anggaran untuk Kementerian Pertahanan dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dikurangi. Ada kecenderungan bahwa rezim pemerintahan saat ini tidak dapat mengkalkulasi prioritas kewajiban negara dan semakin menunjukkan watak autokratik yang tidak memandang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia namun hanya melandasi diri pada akomodasi kepentingan politik.” 

Disamping itu, KontraS berpendapat bahwa dengan dipangkasnya anggaran kementerian dan lembaga negara yang memiliki fungsi penting dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara seperti anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial, maka terdapat kecenderungan pengabaian hak dasar warga negara. “Proses kalkulasi yang dilakukan dalam skema penghematan anggaran juga tidak didasarkan pada konsultasi publik dan/atau disampaikan perhitungan, alasan serta tujuan penghematan tersebut. Tertutupnya informasi soal ini (efisiensi anggaran) menyebabkan potensi korupsi dan inefisiensi re-alokasi anggaran menjadi hal yang masuk akal terjadi. Kewajiban pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya warga digadaikan, namun perjudian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya juga gagal dicapai karena faktor lemahnya pengawasan dan tidak tepatnya sasaran program prioritas pemerintah”, Ucap Dimas. 

 

Jakarta 12 Februari 2025,

Badan Pekerja KontraS




Narahubung: +62 816-1752-1196

 

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan