Periode 1965-66 dan tahun-tahun sesudahnya menjadi masa kelam bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mayjen Suharto dan fraksi Angkatan Darat di bawah komandonya secara aktif mengambil tindakan dan kebijakan untuk melakukan operasi penumpasan besar-besaran terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusul penculikan berakibat pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat pada pagi dini hari 1 Oktober 1965. Penghilangan paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang jutaan orang serta pembantaian massal pada bulan-bulan sesudahnya merupakan pengingkaran serius terhadap kemanusiaan. Trauma, luka, dan stigma pun masih dirasakan oleh para penyintas dan keluarganya hingga saat ini.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui penyelidikan pro-yustisianya telah menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) berupa penghilangan paksa, penahanan dan pemenjaraan tanpa proses peradilan, penyiksaan, kekerasan dan perbudakan seksual, pendirian kamp kerja paksa, serta persekusi berkelanjutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang (sic) Pengadilan HAM.
Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal - IPT1965), 10-13 November 2015 di Den Haag, yang tidak hanya mengacu pada hukum nasional (UU No.26/2000) dan hukum pidana internasional (Statuta Roma), namun juga menggunakan sejumlah yurisprudensi dan preseden hukum internasional menyimpulkan rangkaian kejahatan serius tersebut sebagai genosida. Putusan Majelis Hakim IPT65 juga mengindikasikan keterlibatan negara-negara seperti AS, Britania Raya, serta kebijakan negara dan dinas rahasia negara lainnya memfasilitasi bantuan militer dan mendukung kebijakan rezim Suharto menggulingkan Sukarno, dalam konteks Perang Dingin. Para terduga pelakunya seperti misalnya Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), saat itu telah mengakui sejak dini dengan bangganya bahwa sebanyak 3.000.000 orang telah dibunuh di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Propaganda dan advokasi kebencian terhadap PKI/komunis atau mereka yang dicap PKI/dikomuniskan merupakan bagian sentral dan keberlanjutan kejahatan genosida 1965-66, sejak rezim Orde Baru dan terus diwarisi hingga saat ini. Niat jahat membinasakan manusia yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, telah melahirkan dan memperluas budaya kekerasan negara berbasis patriarki, membenarkan berbagai persekusi dan perampasan tanah petani serta masyarakat adat bagi berbagai proyek pembangunan, pemberangusan serikat buruh, penghancuran satu generasi intelektual masa itu, serta pengasingan (eksil) ribuan warga negara Indonesia ke luar negeri, dan pembungkaman terhadap karya seni dan sastra yang kritis, dan glorifikasi kultur militerisme.
Tragisnya, sejak ‘reformasi 1998’ tidak ada satupun pemerintahan yang mendaku demokratis dan dipilih melalui pemilu langsung telah mengambil langkah-langkah efektif untuk mewujudkan empat pilar hak-hak korban/penyintas dan memerangi impunitas berikut ini: (1) hak korban dan publik untuk tahu (hak atas kebenaran); (2) hak korban atas keadilan; (3) hak korban/ penyintas atas reparasi yang efektif serta tepat sasaran; (4) menjamin tidak berulangnya kejahatan serius serupa di masa depan.
Praktik dan budaya kekerasan aparat negara yang berlangsung hingga kini, sebagian besar karena tidak pernah diadilinya para pelaku kejahatan genosida 1965-1966. Mereka, termasuk mantan Presiden Soeharto dan rezim dispotiknya terus menikmati impunitas. Jika kejahatan setara dengan Holocaust tersebut tidak diproses secara hukum, tidaklah mengherankan bila aparat keamanan dan penegak hukum Indonesia menganggap pembinasaan manusia di abad ke-XX itu sebagai kenormalan.
Memang pada akhir 2022, pemerintahan Joko Widodo telah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (PPHAM yang dipimpin Makarim Wibisono dan dikoordinasikan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD). Mereka berdalih bahwa kebijakan tersebut diambil untuk melakukan penyelesaian non-yudisial. Namun sejak dibentuk, mandat Tim PPHAM tersebut mengabaikan standar operasi suatu pengungkapan kebenaran, dan memanipulasinya seolah perwujudan hak-hak korban/penyintas atas reparasi. Secara umum Presiden Joko Widodo menanggapi hasil laporan Tim PPHAM dengan menyatakan penyesalan atas terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, namun tanpa tindakan nyata apapun untuk mengungkapkan kebenaran. Faktanya, Negara tetap berupaya menutup-nutupi kekejaman massal 1965-1966 dan mempertahankan narasi sejarah sesat seperti mengagungkan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan terus mendorong penayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
Selama 10 tahun Pemerintahan Joko Widodo juga tidak melaksanakan saran dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.75/PUU-XIII/2015 agar pemerintah (c.q. Jaksa Agung) dan Komnas HAM menghilangkan berbagai kendala untuk segera mewujudkan hak-hak korban/ penyintas atas kebenaran dan keadilan, seperti mengambil prakarsa untuk mendorong legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyusun kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dibatalkan melalui Putusan MK sebelumnya pada tahun 2004.
Oleh karena itu, kami mendesak:
- Presiden Republik Indonesia dan seluruh jajarannya untuk:
a. mengambil langkah-langkah nyata untuk memerangi impunitas dan mewujudkan empat pilar hak-hak korban/ penyintas dalam perkara kejahatan serius 1965-1966, di antaranya berupa pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah, dan penghapusan stigma pada korban;
b.menindaklanjuti Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/403/VI/2003 dan Surat Dewan Perwakilan Rakyat No. KS.0213947/DPR-RI/2003 yang merekomendasikan Presiden untuk memulihkan hak-hak korban/ penyintas 1965-1966;c. memerintahkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia untuk menyusun ulang historiografi Indonesia yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
-
Menuntut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk:
a. melakukan penyelidikan ulang/lanjutan sehubungan dengan ditemukannya berbagai pengakuan terduga pelaku serta barang bukti baru sejak 2012 hingga saat ini mengenai kejahatan melawan kemanusiaan dan/atau kejahatan genosida 1965-66, termasuk mengidentifikasi dan menyelidiki ratusan titik temuan kuburan massal di berbagai pelosok/daerah di berbagai kabupaten/ kota terkait dengan kejahatan serius tersebut.
b. berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan instansi terkait untuk melindungi situs kuburan massal tersebut sesuai dengan SOP internasional mengenai penggalian, penyelidikan, dan memorialisasi kuburan massal.
Jakarta, 3 Oktober 2024
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65)
- International People’s Tribunal (IPT 1965)
- Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
- Watch65
- Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Narahubung:
Dimas Bagus Arya (KontraS)
Bedjo Untung (YPKP65)
Harry Wibowo (IPT 1965)
Rekaman lengkap siaran pers dapat diakses di sini
Dokumen selengkapnya terkait rilis dapat di akses disini
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan