Setiap tahun pada tanggal 26 hingga 31 Mei, masyarakat internasional memperingati Pekan Penghilangan Paksa. Peringatan ini bermula dari aksi para keluarga korban penghilangan paksa di Amerika Latin yang tergabung dalam Latin American Federation of Associations for Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM), dikenal luas melalui gerakan “Mothers of the Plaza de Mayo”. Selama sepekan, mereka menuntut negara untuk bertanggung jawab atas hilangnya anggota keluarga mereka di bawah pemerintahan otoriter pada dekade 1980-an. Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, karena praktik penghilangan paksa juga terjadi di banyak negara lain.
Seiring waktu, semangat perjuangan ini menjalar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, yang juga memiliki sejarah panjang penghilangan paksa di bawah rezim otoriter. Situasi ini menjadi pemicu lahirnya Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) atau yang juga dikenal sebagai Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, yang kemudian disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Desember 2006. Konvensi ini memperkuat landasan hukum internasional dalam mencegah dan menindak praktik penghilangan paksa, serta menjadi acuan utama dalam peringatan tahunan ini.
Di Indonesia, penghilangan paksa bukanlah bagian dari sejarah masa lalu semata, tetapi luka yang terus menganga hingga hari ini. KontraS mencatat terdapat 32.774 orang hilang dalam peristiwa 1965–1966, 1.935 orang hilang selama periode Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), dan 23 orang hilang dengan hanya 9 orang yang telah kembali dalam Penghilangan Paksa 1997–1998. Penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM juga menemukan terjadinya penghilangan orang secara paksa dalam peristiwa-peristiwa lain, yaitu Penembakan Misterius 1982–1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, Timor Timur 1999, Wasior 2001-2002, dan Timang Gajah 2001.
Di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, penghilangan paksa terjadi, di antaranya, dalam peristiwa Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, tragedi Biak Berdarah 1998, penghilangan paksa pasca periode DOM Aceh, termasuk 2 aktivis relawan KontraS Aceh yang hilang pada 2003, pemindahan paksa ribuan anak Timor-Leste (dulu Timor-Timur) 1975-1999 (stolen children), penghilangan paksa terhadap Theys H. Eluay dan Aristoteles Masoka, militerisasi di Papua, dan penghilangan paksa jangka pendek terhadap mayoritas massa aksi Peringatan Darurat 2024, terutama di Jakarta dan Banda Aceh. Sayangnya, dari seluruh kasus penghilangan paksa yang telah terjadi di Indonesia, tidak ada satupun yang telah dituntaskan oleh negara dengan menghargai martabat korban secara substantif.
Sayangnya, hingga kini negara belum menunjukkan kesungguhan dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Tidak ada satu pun pelaku yang diadili secara adil, korban tidak mendapatkan pemulihan yang layak, dan upaya pengungkapan kebenaran masih stagnan. Lebih dari itu, praktik impunitas terus dibiarkan, bahkan pelaku-pelaku yang terindikasi kuat terlibat dalam penghilangan paksa masih menduduki posisi penting dalam struktur negara, yaitu aparat keamanan baik Kepolisian maupun Tentara Nasional Indonesia. Absennya komitmen negara untuk meratifikasi ICPPED pun berkaitan dengan ketiadaan isu hak asasi manusia dalam dokumen Asta Cita yang menjadi arah kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Koalisi Anti Penghilangan Orang Secara Paksa dengan ini menegaskan bahwa tanggung jawab negara bukan hanya secara moral, tetapi juga legal. Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa. Namun, janji-janji tersebut belum diterjemahkan dalam tindakan konkret. Salah satu langkah penting yang tak kunjung dilakukan adalah ratifikasi ICPPED, yang padahal sudah ditandatangani sejak 27 September 2010.
Konvensi ini merupakan instrumen hukum yang sangat penting karena mencakup elemen-elemen utama dalam penanganan penghilangan paksa, mulai dari definisi yang jelas, perlindungan terhadap korban dan keluarganya, hingga kewajiban negara untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, penuntutan hingga penegakan hukum terhadap pelaku. Di tengah kekosongan peraturan hukum Indonesia mengenai penghilangan paksa, ICPPED sejatinya dapat hadir mengisi kekosongan tersebut sebagai mekanisme preventif dan mekanisme korektif. Terlebih, selama ini Indonesia tidak memiliki hukum yang mengatur penghilangan paksa diluar pola sistematis atau meluas, dan juga tidak tidak mengatur excess yang ditimbulkan kejahatan ini seperti status kependudukan, hak anak yang dihilangkan paksa, hak korban atas investigasi dan lain sebagainya sehingga penghilangan paksa masih sangat rentan kembali terjadi di Indonesia.
Maka dari itu, kami mendesak:
-
Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) sebagai komitmen nyata terhadap perlindungan hak asasi manusia dan pencegahan penghilangan paksa di masa depan;
-
Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia, terutama yang terjadi penghilangan orang secara paksa di dalamnya;
-
Pemerintah untuk memberikan pemulihan menyeluruh dan bermartabat kepada keluarga korban termasuk atas upaya pencarian yang dibebankan pada keluarga, tidak hanya berupa bantuan material semata, tetapi juga dalam bentuk pengungkapan kebenaran, pengakuan, penuntutan pelaku, jaminan ketidakberulangan, serta pemulihan perdata dalam administrasi kependudukan dengan mencatat korban sebagai “hilang secara paksa”;
-
Kementerian Kebudayaan untuk menuliskan penghilangan orang secara paksa yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru sebagai bagian dari sejarah dalam kurikulum pendidikan; serta
-
Pemerintah, Kepolisian Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia untuk menghentikan praktik penghilangan orang secara paksa dan tidak memberikan impunitas bagi para pelakunya, termasuk dengan melakukan vetting dan lustration.
Jakarta, 27 Mei 2025
Koalisi Anti Penghilangan Paksa

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan