Sumber Foto : Antara

 

580 anggota DPR-RI dan 152 DPD-RI resmi dilantik pada Selasa, 1 Oktober 2024. Momen pelantikan tersebut menandai berakhirnya masa jabatan wakil rakyat periode sebelumnya dan dimulainya masa jabatan anggota parlemen yang baru. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan catatan terhadap para wakil rakyat yang baru,agar anggota DPR/DPD/MPR-RI periode 2024-2029 tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh Parlemen periode 2019-2024. Pasca pelantikan masing-masing DPR-RI dan DPD RI pun telah melakukan pemilihan dan penetapan masing-masing Ketua dan Wakil Ketua DPR-RI serta Ketua dan Wakil Ketua DPD-RI.

 

Berdasarkan catatan KontraS, parlemen periode 2019-2024 seakan menjadi “tukang stempel” pemerintah dalam mengesahkan berbagai undang-undang bermasalah yang merugikan masyarakat dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi. Pada periode 2019-2024, DPR-RI mengesahkan beberapa undang-undang yang memantik kemarahan masyarakat karena dianggap tidak pro kepentingan rakyat misalnya Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja (Omnibus Law), KUHP Baru hingga UU Kesehatan (Omnibus Kesehatan). Proses pembentukan undang-undang oleh DPR-RI juga seringkali dilakukan secara terburu-buru, tertutup dan tidak melalui partisipasi publik yang bermakna. Sebuah pola yang seringkali berulang di setiap penyusunan undang-undang.

 

UU KPK yang dihadirkan oleh DPR-RI akhirnya justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, sementara UU Cipta Kerja telah menjadi undang-undang yang merugikan kelas pekerja dan hanya berpihak pada pemilik modal. Pengesahan berbagai UU tersebut mendapat penolakan secara masif dari masyarakat melalui berbagai gelombang demonstrasi yang terjadi, menunjukkan adanya ketidaksetujuan masyarakat atas produk legislasi yang dilahirkan oleh parlemen yang seharusnya mewakili kepentingan publik.

 

Pada sisi lain parlemen periode 2019-2024 justru gagal mengesahkan berbagai undang-undang yang penting bagi masyarakat serta penegakan HAM dan demokrasi. Selama 5 tahun, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tak kunjung disahkan oleh DPR-RI walau sebanyak ratusan kali serikat buruh dan serikat pekerja rumah tangga melakukan aksi di depan gedung DPR-RI. DPR-RI juga tak kunjung mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang proses pembahasannya masih menggantung sejak tahun 2009. Dua RUU tersebut merupakan dua contoh dari banyaknya produk legislasi yang seharusnya disaknan oleh DPR-RI demi kepentingan publik namun gagal disahkan oleh DPR dengan berbagai alasan.

 

DPR-RI periode 2019-2024 juga gagal mengesahkan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (ICPPED) atau Konvensi Internasional untuk Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi Internasional tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sejak 2010 lalu, dan sebelumnya Pansus Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 2009 telah mengeluarkan rekomendasi untuk menandatangani Konvensi Internasional tersebut, namun hingga parlemen periode 2019-2024 berakhir Konvensi tersebut tak kunjung disahkan. Hal tersebut menunjukkan minimnya komitmen parlemen untuk melindunggi warga negara dari pelanggaran HAM, salah satunya penghilangan paksa.

 

Parlemen dapat “secepat kilat” membahas dan mengesahkan RUU yang “diinginkan” pemerintah seperti UU KPK dan UU Cipta Kerja, namun sangat lamban untuk membahas dan mengesahkan RUU yang menunjukkan keberpihakan pada kelompok minoritas dan masyarakat rentan. Menunjukkan bahwa Parlemen periode 2019-2024 tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik. DPR-RI tidak mampu menjadi mitra kritis pemerintah dan memperjuangkan kepentringan rakyat, terbukti banyak RUU inisiatif pemerintah yang dengan mulus disahkan  walau terdapat banyak kritik yang diajukan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil pada RUU-RUU tersebut.

 

Pada akhir masa jabatannya, DPR-RI bahkan sempat melempar wacana revisi UU TNI, UU Polri dan UU Pilkada. Semua undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang dibahas secara terburu-buru tanpa partisipasi publik dan berisi pasal-pasal yang menyalahi prinsip demokrasi dan HAM. Pada sisi lain MPR-RI periode 2019-2024 juga melakukan manuver dengan menghapus nama Soeharto dari TAP/MPR yang menyatakan keterlibatan Soeharto dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap refromasi khususnya para korban yang gugur dalam memperjuangkan reformasi dan menuntut turunnya Soeharto. Parlemen seakan “mendukung” gejala otoritarianisme dan kembalinya Orde Baru.

 

Anggota-anngta DPR/DPD/MPR-RI yang baru harus menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan publik secara tegas dan tanpa kompromi. Mereka tidak boleh lagi menjadi lembaga yang hanya mengikuti kehendak pemerintah, terutama ketika kebijakan yang diusulkan jelas-jelas merugikan masyarakat. Sikap kritis harus menjadi fondasi dalam menjalankan fungsi legislatif, dengan keberanian untuk menolak kebijakan yang tidak pro-rakyat dan berani menyuarakan aspirasi publik. Sudah terlalu lama parlemen dianggap sebagai lembaga yang pasif, hanya bertindak sebagai 'stempel' pemerintah tanpa refleksi kritis terhadap dampak kebijakan yang mereka sahkan. Anggota parlemen perlu ingat bahwa mandat yang mereka emban adalah untuk melindungi hak-hak masyarakat, bukan untuk melayani kepentingan elite politik dan korporasi. Berbagai RUU bermasalah seperti RUU Polri, RUU TNI, RUU Penyiaran dan RUU Mahkamah Konstitusi yang disusun secara tertutup, terburu-buru dan jauh dari kepentingan publik harus ditolak.

 

Selain itu, parlemen harus segera menuntaskan sejumlah undang-undang yang sudah lama mandek, seperti  Ratifikasi ICPPED, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan PRT. Keterlambatan dalam pengesahan undang-undang ini adalah bukti nyata kegagalan DPR dalam menjalankan tugas utamanya. Hal ini tidak bisa terus dibiarkan, terutama dalam konteks perlindungan HAM dan kesejahteraan kelompok-kelompok yang rentan. Fungsi pengawasan dan penganggaran juga harus dilakukan dengan lebih serius, karena seringkali kedua fungsi ini diabaikan atau dilaksanakan secara setengah hati. Parlemen tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah, tetapi harus berfungsi sebagai pengontrol yang efektif untuk memastikan bahwa anggaran negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Sebagai lembaga legislatif, parlemen bertanggung jawab untuk mendorong legislasi pro-HAM dan mengakhiri segala bentuk undang-undang yang hanya memperkuat ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.

 

Jakarta, 1 Oktober 2024
Badan Pekerja KontraS


Dimas Bagus Arya, S.H

Koordinator

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio