Nomor : 13/SK-KontraS/VIII/2024
Hal : "Surat Terbuka: Desakan kepada KPI untuk Mengimbau Stasiun Televisi agar Tidak Menayangkan Film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”
Yang Terhormat
Ubaidillah
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia
di–
Tempat
Dengan hormat,
Melalui surat ini, kami mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar mengeluarkan imbauan kepada seluruh stasiun televisi untuk tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada tahun 1984. Desakan ini kami ajukan kepada KPI sesuai dengan wewenang, tugas, dan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 8 Ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa salah satu wewenang dari KPI adalah “menetapkan standar program siaran.” Kemudian, Pasal 8 Ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa salah satu tugas dan kewajiban KPI adalah “menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.”
Sehubungan dengan wewenang, tugas, dan kewajiban KPI tersebut, alasan dari desakan kami adalah:
- Film tersebut mengandung informasi sejarah yang tidak akurat. Sejumlah penelitian dan kesaksian yang telah dipublikasikan menyatakan sebagian besar narasi dan adegan dalam film tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan dibuat untuk melakukan propaganda kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).1 Sebagai contoh, hasil visum tim dokter saat itu yang menyatakan tidak ada bekas pemotongan alat kelamin dan pencungkilan mata.2 Pada kenyataannya, saat itu, film ini diproduksi untuk merawat upaya peminggiran negara terhadap PKI yang justru telah melahirkan berbagai kejahatan HAM serius3, setidaknya selama 1965-1966. Penyebaran informasi yang tidak akurat dengan terus-menerus menggunakan fasilitas frekuensi publik adalah kontraproduktif dengan upaya penyelesaian Peristiwa 1965-1966 sebagai kekerasan yang dilakukan oleh negara karena terus mewariskan ingatan kolektif yang keliru dan rasa takut. Hal ini melanggengkan stigma terhadap para penyintas dan keluarga korban Peristiwa 1965-1966 dan dapat menyulut tindak kekerasan hingga pelanggaran HAM berikutnya kepada mereka. Oleh karena itu, pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Penerangan Muhammad Yunus menghentikan penayangan film ini di TVRI dan stasiun televisi swasta karena dianggap tidak selaras dengan semangat reformasi;4
-
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan Peristiwa 1965-1966 sebagai Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui laporan penyelidikan pro-justicia yang dikeluarkan pada 2012,5 sebagaimana wewenang tersebut dimandatkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, beberapa lembaga negara juga telah merekomendasikan kepada Presiden untuk menyembuhkan luka pahit yang dialami korban Peristiwa 1965-1966, seperti:
-
Surat Mahkamah Agung RI No. KMA/403/VI/2003 tanggal 12 Juni 2003 yang pada pokoknya meminta agar Presiden mengambil langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian hukum dan pemberian rehabilitasi umum bagi para korban rezim Orde Baru, khususnya para korban Peristiwa 65;
-
Surat DPR-RI No. KS.0213947/DPR-RI/2003 tanggal 25 Juli 2003 yang pada intinya meminta Presiden memberikan perhatian dan penyelesaian sebagaimana mestinya atas tuntutan rehabilitasi bagi para korban Peristiwa 65, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; dan
-
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) mengadakan Simposium Nasional bertajuk “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pada 18-19 April 2016.6 Simposium tersebut digelar sebagai tanggapan atas pelaksanaan Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda7 dan mempertemukan sejumlah pihak, di antaranya penyintas peristiwa 65, mantan jenderal TNI, dan sejarawan. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah mengakui narasi sejarah mengenai Peristiwa 1965-1966 yang beredar selama ini adalah keliru dan telah menutupi fakta sejarah mengenai terjadinya kejahatan HAM serius;
-
Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Istana Negara, menyampaikan pengakuannya terhadap Peristiwa 1965-1966 sebagai salah satu dari sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang pernah terjadi di Indonesia. Adapun kutipan dari pidato tersebut adalah sebagai berikut: “(d)engan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada: 1. Peristiwa 1965-1966;… Peristiwa di Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.”8 Jika stasiun-stasiun televisi di Indonesia masih menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI,” hal tersebut tentu tidak sejalan dengan pidato pengakuan Presiden tersebut yang menyebutkan bahwa Peristiwa 1965-1966 merupakan bagian dari peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia. Penayangan film ini juga menghambat penyelesaian dan rehabilitasi kepada para penyintas dan keluarganya melalui pewarisan trauma, kebencian, dan informasi yang keliru kepada segenap bangsa Indonesia; dan
-
Film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” juga mengandung banyak muatan kekerasan, seperti dalam bentuk adegan film dan diksi dalam dialog para karakter film. Muatan tersebut menjadikan film ini tidak layak untuk menjadi konsumsi publik secara luas karena dapat menyebabkan trauma dan menormalisasi kekerasan, khususnya terhadap anak-anak.9 Hal ini sesuai dengan Peraturan KPI No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS). Pasal 23 menyatakan “(p)rogram siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: a. menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: … penembakan …; b. menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, … akibat dari peristiwa kekerasan; c. menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia …” Kemudian, Pasal 24 Ayat (1) menyatakan “(p)rogram siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia…”
Oleh karena itu, KontraS mendesak KPI untuk mengimbau seluruh stasiun televisi di Indonesia agar tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.” Merujuk pada alasan-alasan di atas, film ini tidak lagi relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia saat ini, terutama dalam kaitannya dengan momentum Reformasi 1998. Hal ini sejalan dengan wewenang dari KPI yang telah kami sampaikan di atas, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 11 Ayat (1) SPS bahwa “(p)rogram siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu.”
Demikian desakan ini kami sampaikan. Besar harapan kami agar KPI dapat memenuhi tanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh warga di Indonesia melalui pemantauan dan pengawasan terhadap praktik penyiaran. Atas perhatian Bapak, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 September 2024
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
1 Asvi Warman Adam, "Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965,” Archipel, 95, 11–30, 2018. Lihat juga: Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI, Penerbit Galangpress, 2010 dan John Roosa, Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia, Marjin Kiri, 2024.
2 Budi Setiyono & Bonnie Triyanda, eds., Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno, vol. 1, MESIASS, 2003. Lihat juga: Benedict Anderson, “How did the generals die?,” Indonesia, 43, 109-134, 1987; Alfred D. Ticoalu, Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6 Jenderal (Bagian-2 Selesai), IndoProgress, 22 September 2015, https://indoprogress.com/2015/09/dr-liauw-yan-siang-tak-ada-penyiksaan-terhadap-6-jenderal-bagian-2-selesai/; dan Yayasan IPT 1965, Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965, Ultimus, 2017.
3 Lihat misalnya: International People’s Tribunal 1965, International People's Tribunal 1965 Live Stream Day 2# 11-11-2015 [video], YouTube, 11 November 2015, https://www.youtube.com/watch?v=IdEPYRfN9uo, 2:47-47:00.
4 Nur Fitriatus Shalihah & Rizal Setyo Nugroho, Sejarah Film "Pengkhianatan G30S/PKI" dan Alasannya Dihentikan Tayang di TV, Kompas, 30 September 2020, https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/30/105221865/sejarah-film-pengkhianatan-g30s-pki-dan-alasannya-dihentikan-tayang-di-tv?page=all.
5 Komnas HAM, Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat, Tim Publikasi Komnas HAM, 2020.
6 Abi Sarwanto & Prima Gumilang, LIVE: Simposium Nasional Tragedi 1965, CNN Indonesia, 18 April 2016, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160418085757-20-124594/live-simposium-nasional-tragedi-1965.
7 Nursyahbani Katjasungkana & Saskia E. Wieringa, “Organisasi dan Dampak Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada 1965,” dalam Kejahatan Tanpa Hukuman: IPT 1965 dan Genosida Indonesia, ed. Saskia E. Wieringa, Jess Melvin, & Annie Pohlman, Komunitas Bambu, 2021.
8 Sekretariat Presiden, LIVE: Pernyataan Pers Presiden RI tentang Pelanggaran HAM Berat, Istana Merdeka, 11 Januari 2023 [video], YouTube, 11 Januari 2023, https://www.youtube.com/watch?v=GUj4zRo_jLc.
9 Ambaranie Nadia Kemala Movanita, KPAI Anggap Film Pengkhianatan G30S/PKI Tidak Layak Ditonton Anak-anak, Kompas, 17 September 2017, https://nasional.kompas.com/read/2017/09/17/17283611/kpai-anggap-film-pengkhianatan-g30spki-tidak-layak-ditonton-anak-anak.
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan