Pada 15 Oktober 2024, Mahkamah Agung melalui Majelis Hakim tingkat kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Kementerian Sekretariat Negara dalam perkara nomor 638 K/TUN/KI/2024. Keputusan ini menandai kemenangan signifikan bagi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan masyarakat sipil yang berjuang dalam upaya hukum untuk menuntut akuntabilitas negara dalam pemberian tanda Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres, pada 12 Agustus 2021 silam. Keputusan ini juga sekaligus memperkuat langkah perjuangan kami yang dimulai dengan keberatan terhadap penganugerahan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres yang dinilai bermasalah—lantaran Eurico adalah seorang pelaku kejahatan hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur. Ia telah diputus bersalah oleh Pengadilan HAM ad hoc di tingkat pertama pada 2002, tingkat banding pada 2004, dan tingkat kasasi pada 2006. 

Putusan ini kemudian memperkuat dasar hukum lainnya[1] yang menerangkan alasan pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres pada 20 Agustus 2021 adalah informasi yang terbuka dan harus dibuka kepada publik. Tindakan menempuh upaya kasasi dan tidak mau menjalankan kedua putusan tersebut menunjukan bahwa pemerintah justru memperkuat impunitas dan memilih mengapresiasi seorang penjahat kemanusiaan dibanding menuntaskan kasus secara berkeadilan.

Putusan Mahkamah Agung ini membuktikan bahwa pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh Presiden tidak boleh dilakukan tanpa transparansi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Hal ini pun sejalan dengan Pasal 2 Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bahwa “(g)elar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas: … b. kemanusiaan; c. kerakyatan; d. keadilan …” Sebaliknya, pemberian Tanda Kehormatan berupa Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tidak mencerminkan peraturan dalam Pasal 2 tersebut.

Pemerintah Indonesia seharusnya bisa memahami konteks keseluruhan dari peristiwa Timor Timur 1999 sebagai sebuah pelanggaran berat terhadap HAM. Pemahaman akan keterlibatan Eurico Guterres tidak bisa dinilai hanya melalui putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Pasalnya, proses hukum dari pelanggaran berat HAM kerap kali mengalami kebuntuan, baik akibat kelemahan regulasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, inkompetensi aparat penegak hukum, maupun ketidakmauan politik dari negara. Hal ini pun berlaku dalam memahami seluruh peristiwa pelanggaran berat HAM di Indonesia. Sampai saat ini, hanya ada empat kasus yang sudah dibawa ke pengadilan dari keseluruhan 17 kasus, dengan keempat pengadilan membebaskan semua terdakwa dan sama sekali tidak memberikan rasa keadilan dan kepuasaan kepada korban dan keluarga korban.

Di saat yang bersamaan, putusan ini juga membuktikan bahwa KontraS memiliki kedudukan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia, sebagai organisasi masyarakat sipil yang secara aktif mendorong dan memantau pelaksanaan tugas negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM serta mendampingi para korban pelanggaran berat HAM dalam menuntut pertanggungjawaban dari negara. Rangkaian upaya yang dilakukan KontraS terhadap pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres pun dijamin Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28F Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dalam hal ini, permohonan informasi yang kami ajukan merupakan upaya kami dalam mengawal demokrasi dan penerapan HAM di Indonesia pasca Reformasi, yang seharusnya lebih mengedepankan partisipasi publik dan prinsip-prinsip HAM.

Putusan ini tentu menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di tengah carut marut kondisi penegakan hukum dan HAM dalam pusaran rantai impunitas. Tak hanya itu, putusan ini menjadi preseden baik untuk memberikan sinyal kepada pemerintah agar tidak memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan secara tertutup dan tidak berdasarkan hasil analisa maupun pertimbangan yang matang. Terlebih, gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan seharusnya menjadi simbol penghargaan atas jasa dan pengabdian yang luar biasa kepada negara, kini seringkali dipandang sebagai alat politik yang digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan memuluskan agenda politik tertentu. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan akan terus dipertanyakan legitimasi dan integritasnya, mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kami mendesak Kementerian Sekretariat Negara untuk:

1.    Menaati putusan Mahkamah Agung Nomor 638 K/TUN/KI/2024; dan

2.    Membuka salinan Keputusan Presiden Nomor 78/TK/2021 serta alasan pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres dan mempublikasikan pertimbangan dan kriteria tersebut melalui kanal publik seperti kolom media massa ataupun lewat website.

 

Jakarta, 8 November 2024
Badan Pekerja KontraS

 

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator

Narahubung: 082175794518



[1] Antara lain Putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Nomor 042/XI/KIP-PS-A/2021 dan putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta Nomor 541/G/KI/2023/PTUN.JKT yang sebelumnya telah menyatakan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) No. 78/TK/2021 adalah informasi yang terbuka dan harus dibuka kepada publik.

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio