Untuk memperingati hari HAM sedunia pada tanggal 10 Desember, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali mempublikasikan Catatan Hari HAM. Catatan ini ditulis untuk merangkum situasi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM selama setahun belakangan. Berdasarkan pemantauan KontraS, situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia sepanjang tahun 2025 tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Dalam beberapa hal, situasi HAM malah menunjukkan kemunduran atau regresi.
Tahun ini ditandai dengan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang merupakan simbol otoritarian serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal tersebut diperburuk dengan wacana penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang abai dengan berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi, serta mengesampingkan penderitaan para korban dan penyintas peristiwa pelanggaran berat HAM.
Pada sisi lain, proses penuntasan pelanggaran berat HAM pun sama sekali tidak menjadi prioritas pemerintah pada tahun ini. Misalnya pada peresmian gedung Memorial Living Park Rumoh Geudong pada Juli lalu yang digadang-gadang sebagai upaya pemulihan terhadap kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, penemuan tulang belulang yang diduga kuat merupakan para korban pembunuhan peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998 oleh para pekerja proyek pada Maret 2024 silam nampaknya dibiarkan menguap melalui ruang simbolik memorialisasi tanpa kehadiran serius negara dalam upaya pengungkapan kebenaran maupun keadilan terhadap kasus pelanggaran berat HAM di Aceh.
Peristiwa pelanggaran berat HAM Paniai juga tak jelas “nasibnya” hingga kini. Nyaris tiga tahun setelah memori kasasi diserahkan ke Mahkamah Agung, persidangan peristiwa Paniai tak kunjung dilanjutkan sebab Mahkamah Agung memiliki hakim ad hoc HAM. Keluarga korban peristiwa Paniai hingga kini dibiarkan menunggu tanpa kepastian yang jelas.
Selain itu, berbagai pelanggaran terhadap hak fundamental warga negara juga masih terus berulang sepanjang tahun 2025. Berdasarkan data pemantauan yang KontraS lakukan sejak Desember 2024 hingga November 2025 ini terdapat sekitar 42 peristiwa extra judicial killing yang menyebabkan 44 korban meninggal dunia. Dari total angka peristiwa tersebut, Polri dan TNI menjadi aktor utama dengan masing-masing sebanyak 26 dan 15 peristiwa. Berbagai peristiwa tersebut secara jelas merupakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi dan tidak dapat dibatasi dalam kondisi apapun.
Lebih lanjut, KontraS juga mencatat 71 peristiwa penyiksaan yang terjadi sepanjang periode pemantauan. Metode penyiksaan yang terjadi pada tahun ini masih didominasi dengan cara memukul dengan tangan kosong, namun dalam satu peristiwa penyiksaan, korban dapat disiksa dengan menggunakan lebih dari satu metode penyiksaan. Metode lain yang tercatat antara lain menendang, menginjak, menyayat hingga menyetrum. Berbagai peristiwa penyiksaan tersebut, menyebabkan 159 orang menjadi korban, dengan 142 orang yang mengalami luka dan 17 orang lainnya meninggal dunia akibat penyiksaan yang dialami. Polri masih menduduki peringkat pertama aktor yang paling banyak melakukan penyiksaan, 53 peristiwa dilakukan oleh Polri, 5 peristiwa dilakukan oleh Sipir pada Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dan anehnya 13 peristiwa sisanya dilakukan oleh anggota TNI. Sama halnya dengan hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan juga merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun, sehingga setiap tindak penyiksaan harus dipandang sebagai pelanggaran HAM yang serius.
Dalam konteks beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas juga beberapa kali menjadi korban, padahal konstitusi secara tegas menjamin hak untuk beragama dan berkeyakinan. Pada rentang waktu Desember 2024-November 2025, berdasarkan catatan KontraS terdapat total 32 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang terdiri atas antara lain 14 pelarangan beribadah, 9 tindakan pengrusakan, 6 penolakan pembangunan rumah ibadah, 4 penyegelan rumah ibadah, 4 tindakan intimidasi, serta 4 tindakan persekusi.
Lebih lanjut, dalam konteks kebebasan sipil, pemantauan KontraS juga mencatat berbagai bentuk pelanggaran. Berdasarkan pemantauan KontraS, setidaknya terjadi 205 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil yang 178 di antaranya dilakukan oleh Polri. Sementara TNI terpantau terlibat dalam 5 peristiwa, dan pemerintah sebanyak 14 peristiwa. Jumlah angka peristiwa tersebut bukanlah jumlah yang dapat ditolerir karena, akibat dari peristiwa tersebut kurang lebih 5101 orang menjadi korban. Terlebih khusus korban tersebut terdiri dari 661 korban luka, 4291 korban penangkapan sewenang-wenang, serta 134 korban kekerasan lainnya seperti serangan digital/teror/intimidasi.
Pada gelombang demonstrasi 25-31 Agustus 2025, Posko Orang Hilang KontraS menerima 46 pengaduan orang hilang. Hasil verifikasi dan penelusuran yang dilakukan oleh KontraS menemukan bahwa 34 di antaranya terkonfirmasi mengalami penghilangan orang secara paksa dalam jangka pendek (short term enforced disappearance), sementara delapan lainnya hanya mengalami miskomunikasi dengan pelapor dan satu lainnya tidak diketahui apakah mengalami penghilangan orang secara paksa atau mengalami miskomunikasi. Hal tersebut terjadi karena sistem peradilan pidana Indonesia memberikan wewenang yang sangat besar kepada aparat penegak hukum untuk melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan.
Tahun 2025 menandai titik balik yang mengkhawatirkan dalam upaya reformasi sektor keamanan di Indonesia. Agenda reformasi sektor keamanan yang telah diupayakan sejak tahun 1998 dengan tujuan utama menempatkan militer di bawah supremasi sipil dan fokus pada pertahanan negara nyatanya mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Disahkannya revisi UU TNI pada 20 Maret 2025 menjadi preseden buruk yang mengancam supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Proses pembahasan dan pengesahan yang begitu cepat menimbulkan gelombang protes dan kritikan yang masif disampaikan baik oleh masyarakat sipil, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya, Namun demikian hal tersebut tampaknya tidak diindahkan oleh Pemerintah dan DPR-RI. Melihat hal tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dirasa bermasalah tak hanya dari segi prosedural melainkan juga pada substansi Undang-undang itu sendiri.
Berdasarkan situasi-situasi tersebut, Catatan Hari HAM tahun ini diberi tajuk “Katastrofe Hak Asasi Manusia” sebab berbagai peristiwa pelanggaran HAM terus berulang tanpa ada evaluasi dan perbaikan yang memadai. Pada sisi lain, pemerintah Indonesia juga tidak menunjukkan niatan serius dalam penuntasan pelanggaran berat HAM. Pemerintah dan DPR-RI bahkan melakukan pengesahan terhadap berbagai undang-undang-termasuk undang-undang TNI- secara kilat tanpa proses partisipasi publik yang memadai.
Catatan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat untuk memahami berbagai situasi dan dinamika HAM dalam satu tahun ke belakang. Catatan ini juga diharapkan dapat menjadi bahan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan atas berbagai kebijakan serta peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Jakarta, 9 Desember 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Laporan selengkapnya dapat dilihat di sini
Presentasi Catatan Hari HAM dapat dilihat di sini
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
