Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk peristiwa salah tangkap dan kekerasan oleh Aipda IR yang merupakan anggota Polsek Geyer di Grobogan terhadap warga sipil yang terjadi di Gerobogan. Peristiwa tersebut menambah daftar panjang tindakan anggota kepolisian melakukan tindak penyiksaan. Polri harus menghukum berat para anggota yang terlibat, menjatuhkan hukuman Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) dan melakukan proses hukum melalui kewenangan penyelidikan dan penyidikan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana.

 

Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, K (38 tahun) merupakan seorang pencari bekicot yang berasal dari Grobogan yang telah mencari nafkah dengan mencari bekicot, dituduh mencuri pompa air dan dipaksa untuk mengaku di muka umum atas tindakan yang tidak dilakukannya. K pada saat diamankan berada di pinggir sungai dan tiba-tiba didatangi oleh sekitar 4 sampai 5 anggota kepolisian, dengan alasan adanya informasi melalui telepon bahwa ada orang mencurigakan di lokasi yang sering terjadi pencurian mesin air. Para anggota tersebut langsung menuduh K tanpa bertanya lebih jauh apa kegiatan yang sedang dilakukannya. K mengaku mengalami kekerasan fisik sepanjang perjalanan dari tempatnya mencari bekicot hingga ke rumah warga tempat ia ditahan sementara.1 Dalam video dengan durasi sekitar 30 detik terlihat bahwa K dicekik dan dipukul seorang pria berjaket hitam yang diduga anggota Polsek Geyer bernama IR dengan pangkat Aipda. di Dusun Kuwojo, Desa Dimoro, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Aipda IR melakukan intimidasi dengan berteriak dan memaksa K mengaku dengan berkata "Ngaku rak! Ngaku rak! Hey! Hey! Mateni kowe ra patheken. Saiki diesel mbok dokok ndi?," yang kurang lebih berarti “Ngaku nggak! Ngaku Nggak! Hey! Hey! Membunuhmu itu nggak masalah! Sekarang dimana kamu taruh Dieselnya?” yang dijawab oleh K dengan kata-kata sebagai berikut “Mboten Pak, mboten” atau “tidak pak, tidak”.2

 

Atas informasi yang telah kami kumpulkan tersebut, kami menilai bahwa peristiwa ini menunjukkan ketidakprofesionalan dan kesewenang-wenangan Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.  Hal ini dibuktikan oleh adanya fakta dimana polisi bergerak atau bertindak dengan alat bukti yang minim sehingga kuat dugaan terjadi peristiwa salah tangkap. Maka dari itu, Polisi telah melanggar perkap prinsip praduga tidak bersalah dan penghormatan martabat dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar hak Asasi Manusia dalam Kinerja Polri. Dalam Pasal 11 yang menjelaskan mengenai standar perilaku, tercantum mengenai pelarangan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan, serta penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum atau corporal punishment.

 

Tidak hanya intimidasi dan pemaksaan untuk mengaku, secara prosedural, K juga tidak diberikan surat penangkapan maupun pendampingan hukum. K akhirnya dibebaskan pasca tidak ditemukannya bukti yang menunjukkan bahwa dia merupakan pelaku pencurian pompa air. Atas hal tersebut, menurut keterangan dari Kapolres Grobogan AKBP Ike Yulianto, Aipda IR saat ini sedang menjalani pemeriksaan secara prosedural melalui mekanisme Propam. Atas peristiwa tersebut, kami berpendapat bahwa terdapat beberapa instrumen baik nasional maupun internasional yang dilanggar atas kejadian ini.

 

Pertama, Hak individu untuk tidak disiksa merupakan non derogable rights yang berarti tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Hal ini dapat tercermin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 28A yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

 

Kedua, Indonesia telah meratifikasi UU nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dimana dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam kemanusiaan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 33 ayat 1 juga menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.  Hal ini sejalan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak SIpil dan Politik, bahwa “Tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia”. 

 

Ketiga, Norma untuk tidak melakukan penyiksaan juga tercantum serta prinsip dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar hak Asasi Manusia dalam Kinerja Polri dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2, pasal 7, dan pasal 11.   Tindakan yang dilakukan Aipda IR terhadap K jelas merupakan tindakan melanggar hukum dan etika profesi Polri. Terkait dengan tindak pidana penyiksaan, kami memandang belum ada upaya yang signifikan dari negara meskipun pemerintah sendiri sudah memiliki UU no. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi anti Penyiksaan. 

 

Keempat, korban tidak pernah mendapatkan salinan Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan saat kejadian penangkapan. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga proses upaya paksa yang dilakukan oleh pihak kepolisian merupakan tindakan ilegal dan menimbulkan korban salah tangkap. 

 

Dalam kasus ini, kami menilai tindakan penangkapan yang telah dilakukan aparat kepolisian tidak sesuai dengan prosedur yang tercermin dalam ketidakprofesionalan dan kesewenang-wenangan dalam proses penangkapan sehingga tidak menjalankan prinsip-prinsip seperti nesesitas dan kehati-hatian. Seharusnya sebelum dilakukan penangkapan, perlu dimiliki bukti yang cukup serta surat perintah penangkapan, serta tidak melakukan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Kedepannya, perlu adanya mekanisme pengawasan yang ketat sehingga tidak terjadi peristiwa yang berulang. Kami juga menuntut agar pelaku dapat diberikan hukuman berat, tidak hanya sanksi etik yang berujung pada pemberhentian secara tidak hormat, namun juga penegakan hukum melalui peradilan umum.



Jakarta, 11 Maret 2025

Badan Pekerja KontraS




Dimas Bagus Arya

Koordinator

 

Narahubung: 08176453325

 

1https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250310071013-12-1206855/kesaksian-pencari-bekicot-grobogan-dipukul-polisi-dituduh-jadi-maling

2https://bengkulu.tribunnews.com/2025/03/10/kronologi-kusyanto-pencari-bekicot-di-grobogan-jadi-korban-salah-tangkap-polisi-dikira-pencuri?page=2

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan