18 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah: Tuntaskan Kasus dan Hentikan Kekerasan di Papua

Sejak 18 tahun berlalu, Peristiwa Wamena Berdarah, tidak ada kemajuan signifikan atas penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Impunitas atas kasus ini menyisakan luka traumatis tidak hanya pada korban, tetapi juga pada situasi Papua hari ini yang mengkhawatirkan adanya keberulangan peristiwa. Peristiwa Wamena berawal ketika masyarakat sipil Papua, dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung dan desa. Penyisiran dilakukan akibat dari sekelompok massa tak dikenal yang membobol gudang senjata Markas Kodim I 1702/Wamena dan menewaskan dua anggota Kodim. 

Hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa ini menyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban, sedikitnya 4 (empat) orang tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan, sebanyak 5 (lima) orang menjadi korban penghilangan paksa dan satu orang menjadi korban kekerasan seksual. Sejak 2004 berkas penyelidikan ini telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung guna ditindaklanjuti ke tahap penyidikan dan penuntutan. Namun lagi-lagi hanya bolak-balik berkas yang terjadi antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.

Seiring dengan peringatan Peristiwa Wamena Berdarah, 4 April, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk menuntaskan kasus ini secara konkret dan berkeadilan. Selama ini, penuntasan peristiwa Wamena hanya dijadikan lip service pencitraan di level internasional seperti yang telah dilakukan Pemerintah dalam Sidang 3rd Cycle Universal Periodic Review (UPR) PBB di Jenewa pada 3 Mei 2017. Kala itu, Pemerintah berkata akan melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua dengan segera mempersiapkan pengadilan HAM dalam lingkup Pengadilan Negeri Makassar untuk kasus Wasior-Wamena. Namun, hingga Indonesia akan kembali memasuki Sidang 4th Cycle UPR di 2022 nanti, tidak ada kemajuan penyelesaian kasus Wamena seperti yang disebutkan.

 Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah sesuatu yang utopis bagi pemerintah. Kunci persoalan ini hanya kesanggupan (able) dan kemauan (willingness) dari pemerintahan Joko Widodo. Lemahnya kemauan politik Pemerintahan Joko Widodo terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat menjadi kekhawatiran bagi korban dan keluarga korban, karena kasus-kasus tersebut berpotensi akan terus diabaikan penyelesaiannya oleh pemerintah dan berpotensi terus berulang dengan pola kekerasan yang cenderung sama. Terlebih lagi, situasi Papua kian hari kian mencekam dengan penurunan pasukan yang tidak jelas tujuannya. Serta, kematian warga sipil yang terjadi akibat konflik antara TNI/Polri dengan TPN-OPM.

Peristiwa Wamena hanya satu dari sekian banyak peristiwa pelanggaran HAM di tanah Papua yang belum terselesaikan. Bahkan hingga hari ini, pola kekerasan dan pelanggaran HAM yang serupa terus terjadi; penggunaan pendekatan keamanan yang militeristik seperti pembakaran, penyisiran ke rumah warga dengan cara intimidatif, diikuti dengan penangkapan, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penembakan di luar prosedur hukum, penggunaan kekuatan atau senjata api secara berlebihan hingga pembubaran aksi damai yang disertai kekerasan, penangkapan dan penahanan. 

Setiap tahunnya angka kekerasan di Papua selalu muncul dan tidak juga mengalami penurunan yang signifikan. Selama tahun 2020, hampir dalam setiap bulannya terjadi peristiwa kekerasan yang menimpa masyarakat Papua. Berdasarkan hasil pemantauan KontraS dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2020 telah terjadi 40 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, TNI maupun keduanya dengan didominasi oleh tindakan penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang. Puluhan peristiwa yang terdokumentasikan ini mengakibatkan kurang lebih 276 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas, maupun ditangkap.

Kekerasan yang terus melanggeng di Papua merupakan buah dari pendekatan keamanan yang terus dipakai pemerintah untuk menjawab permasalahan di Papua. Tujuan pengamanan yang digaungkan pemerintah justru menelan korban dan semakin menghilangkan hak atas rasa aman yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat Papua. Secara lebih jauh, kasus kekerasan yang mendominasi selama dua tahun terakhir adalah extrajudicial killing atau pembunuhan di luar prosedur hukum yang kian marak menimpa masyarakat sipil Papua. KontraS mencatat di Januari-Desember 2020 setidaknya terdapat 10 peristiwa pembunuhan di luar proses hukum yang mengakibatkan 20 orang meninggal dunia. Permasalahan ini menjadi cerminan kebrutalan dan pertimbangan serampangan dari aparat di Papua yang kerap berdalih bahwa orang-orang yang disasar adalah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata).

Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, Presiden RI mengambil kebijakan yang cepat dan efektif untuk menghentikan bolak balik berkas antar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Wamena, termasuk kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua;

Kedua, Presiden memastikan tindak lanjut janji pemerintah Indonesia dalam sidang UPR untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan di Papua, termasuk memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan untuk kasus Wamena;

Ketiga, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan secara terbuka mengenai tindak lanjut pernyataan pemerintah dalam sidang UPR sebagaimana tersebut diatas untuk memastikan bahwa pernyataan tersebut bukan hanya janji dan diplomasi internasional.

Keempat, Jaksa Agung melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Wamena, dan melakukan langkah-langkah koordinatif yang konstruktif dan solutif dengan Penyelidik (Komnas HAM), termasuk dapat dilakukan upaya membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelesaian kasus ini Wamena;

Kelima, LPSK bersikap proaktif dengan turun langsung ke komunitas korban untuk menyediakan layanan bantuan medis, psikologis dan psikososial sebagai hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat dalam kasus Wamena.

 

Jakarta, 4 April 2021
Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator