Setiap tahunnya, 24 Maret diperingati sebagai Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran Korban Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk Martabat Korban. Peringatan ini menjadi upaya komunitas internasional untuk tidak hanya sekedar mengenang dan menghormati korban-korban pelanggaran HAM yang berat dan sistematik, tetapi juga sebagai daya gerak untuk mempromosikan pentingnya hak atas kebenaran dan keadilan. Bertepatan dengan peringatan ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengeluarkan sebuah Kertas Pengungkapan Kebenaran berjudul “Studi Pembentukan Komisi Kebenaran yang Ideal dalam Penuntasan Kasus Pelanggaran Berat HAM di Indonesia.” Selain itu, Kertas ini disusun sebagai upaya memulai diskursus publik mengenai Komisi Kebenaran yang ideal untuk dibentuk di Indonesia, dalam kaitannya dengan wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.

 

Peluncuran dan diseminasi Kertas ini dilaksanakan dalam format webinar yang disiarkan langsung melalui laman YouTube KontraS. Webinar ini diawali dengan pemaparan dari Dimas Bagus Arya (Koordinator KontraS) mengenai isi dari Kertas Pengungkapan Kebenaran yang telah disusun. Setelahnya, terdapat tiga narasumber yang memberikan tanggapan dan pemaparannya, yaitu Abdul Munif Ashri (Akademisi Universitas Hasanuddin), Diah Kusumaningrum (Akademisi Universitas Gadjah Mada), dan Galuh Wandita (Direktur Asia Justice and Rights).

 

Dimas Bagus Arya menyampaikan bahwa Negara, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan kebenaran terhadap terjadinya pelanggaran berat HAM, untuk memastikan tercapainya demokrasi yang utuh dan substantif dengan berlandaskan pada kebenaran, bukan kebohongan. Dalam kata lain, Negara memiliki tanggung jawab untuk merawat ingatan atas kebenaran yang berperspektif pada korban. Pengungkapan kebenaran dapat dilakukan dengan melalui mekanisme Komisi Kebenaran. Agar pengungkapan kebenaran yang substantif dan berkeadilan dapat tercapai, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan Komisi Kebenaran, seperti prinsip kerja Komisi, tugas, fungsi, dan wewenang Komisi, mekanisme kerja Komisi, hingga kriteria Komisioner. Seluruh hal tersebut harus dirancang sedemikian rupa untuk mencapai keadilan dan memulihkan korban, bukan berjalan berupa formalitas semata apalagi menguntungkan pelaku.

 

Hal yang tidak kalah penting untuk dicatat adalah bahwa pada hakikatnya, Komisi Kebenaran tidak didirikan untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM. Ia tidak didirikan untuk mengunci atau menggantikan berjalannya mekanisme lain seperti mekanisme yudisial dan reformasi institusi, melainkan untuk melengkapi berbagai mekanisme lainnya, termasuk mekanisme yudisial. Tugasnya yang paling utama adalah mengungkap kebenaran. Dalam konteks Indonesia, penting pula untuk menggarisbawahi karakteristik dari persoalan yang menjadi objek kerja dari Komisi Kebenaran, yaitu pelanggaran berat terhadap HAM. Artinya, ada relasi kuasa antara negara dan warga negara. Oleh karena itu, pemberian pengampunan atau amnesti bagi pelaku tidaklah dipandang tepat untuk dilakukan.

 

Abdul Munif Ashri menyampaikan bahwa hak atas kebenaran tidak hanya dimiliki oleh korban, namun juga merupakan hak kolektif publik. Hal ini pun telah diatur dalam sejumlah instrumen hukum, seperti Protokol I Konvensi Jenewa (1977), Konvensi Anti-Penghilangan Paksa (2006), Joinet/Orentlicher Principles (2005), Boven/Bassiouni Principles (2005), dan Resolusi Majelis Umum PBB No. 68/165 (2013). Ia pun menggarisbawahi kehadiran Komisi Kebenaran sebagai mekanisme pelengkap dari pengadilan, sebab ia mengevaluasi pertanggungjawaban institusional dan menyingkap jejaring pengaruh aktor-aktor dalam terjadinya suatu kekejaman. Komisi Kebenaran bertugas untuk menelusuri pola, penyebab, dan dampak dari terjadinya pelanggaran atau suatu kekejaman. Terkait pembatalan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam, ia menggarisbawahi bahwa MK mengadopsi soft law dan hukum kebiasaan dalam putusannya dan menegaskan bahwa pemulihan tidak boleh digantungkan pada pemberian amnesti.

 

Diah Kusumaningrum menyampaikan tiga alasan pentingnya pembentukan Komisi Kebenaran di Indonesia, yaitu kondisi dan martabat penyintas yang semakin, bertahannya stigma, ancaman, dan kekerasan sehari-hari terkait kekerasan masa lalu, serta maraknya penyangkalan dan kebohongan akibat ketiadaan rujukan resmi mengenai kekerasan masa lalu. Ia juga menyampaikan bahwa Komisi Kebenaran tetap bisa dibentuk meskipun peristiwa kekerasan atau pelanggaran berat HAM yang terjadi sudah begitu lama, seperti Australia yang mendirikan Komisi Kebenaran untuk genosida kolonialisme yang terjadi pada tahun 1700-an. Hal ini semakin menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk tidak melakukan pengungkapan kebenaran, pun urgensinya tidak akan pernah hilang. Dalam konteks Indonesia, ia mengatakan bahwa Komisi Kebenaran di Indonesia bisa memulai kerjanya dari berbagai dokumentasi dan kerja masyarakat sipil untuk meminimalisir pengulangan trauma bagi korban yang harus mengulang kembali cerita pengalaman mereka.

 

Galuh Wandita juga menyampaikan bahwa hakikat Reformasi seakan berjalan hanya pada dua hingga tiga tahun pertama, sementara setelahnya Reformasi sudah mulai keluar dari jalurnya. Reformasi yang keluar dari jalur pun mencapai puncaknya pada Pemilihan Umum 2024 hingga berpanen buah pengesahan revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia secara cepat pada 2025. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, hal ini tercermin dari ketiadaan pengungkapan kebenaran dan penghargaan martabat korban. Jika merujuk pada prinsip Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kondisi ini merupakan sebuah wujud impunitas, yaitu ketidakmungkinan negara membawa pelaku membuat pertanggungjawaban. Tanpa adanya pengungkapan kebenaran, pertanggungjawaban pelaku akan sangat sulit untuk dilakukan. Sebagai konsekuensinya, pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu pun masih terus terjadi dan berlangsung hari ini.

 

Melalui diskusi ini, diharapkan muncul gagasan-gagasan konstruktif mengenai desain kelembagaan, mandat, serta mekanisme kerja Komisi Kebenaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi serta berpusat pada korban. Apalagi kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru hingga saat ini tak kunjung di ungkap tabir kebenarannya. Diskusi ini diharapkan dapat menjadi momentum refleksi dalam rangka Hari Kebenaran Internasional, guna menegaskan kembali tanggung jawab negara untuk menghormati martabat korban dan menjamin tidak terulangnya kembali pelanggaran berat HAM di masa yang akan datang.

 

Rekaman webinar dapat diakses di sini

Kertas Pengungkapan Kebenaran dapat diakses di sini

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan