Pemerintah Indonesia Kembali Mengulang Kesalahan:
14 Terpidana Mati Dikabarkan Masuk List Eksekusi Tahap III
Kami, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, LBH Masyarakat, Migrant Care, Komunitas Saint Egidio, YLBHI, PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia) dan bersama sejumlah organisasi msyarakat sipil lainnya mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap bersikukuh melaksanakan eksekusi mati Tahap III meski diketahui masih ada terpidana mati yang belum mengajukan upaya hukum yang tersisa atas kasusnya.
Berdasarkan Monitoring di Lapas Nusa Kambangan, Sebanyak 14 (empat belas) nama terpidana mati disebut-sebut masuk dalam daftar eksekusi Tahap III, setelah pada Selasa 26 Juli 2016 kemarin, perwakilan Kejaksaan Agung menyampaikan notifikasi terhadap pihak Kedutaan yang nama warga negaranya masuk dalam list eksekusi mati. Sementara itu, pelaksanaan eksekusi akan dilakukan setelah waktu 3×24 jam dihitung sejak disampaikannya notifikasi, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 2 PNPS 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Terhadap pengumuman 14 nama terpidana mati yang akan dieksekusi mati pada Tahap III ini, kami memiliki beberapa catatan penting terhadap Kejaksaan Agung, diantaranya:
Pertama, Berbeda dengan pelaksanaan eksekusi mati Tahap I dan II pada tahun 2015 lalu, rencana eksekusi mati Tahap III ini sangat tertutup dan tidak diketahui publik. Alih-alih menunggu upaya hukum para terpidana mati selesai diproses di Pengadilan, Kejaksaan Agung tidak pernah menginformasikan nama-nama terpidana mati yang potensial masuk list eksekusi mati. Ketidaan informasi terkait nama-nama potensial tersebut menyulitkan publik untuk mengetahui dan menganalisa apakah para terpidana tersebut selama menjalani proses hukum hingga selesai telah melewati proses hukum yang adil atau tidak.
Kedua, Pelaksanaan eksekusi mati Jilid III adalah wujud pengingkaran komitmen negara atas prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Rencana eksekusi mati 2016 ini juga tidak memerhatikan beberapa prinsip peradilan yang tidak memihak (fair trial), jika dilihat dalam beberapa temuan fakta berikut ini:
Dengan tetap akan dilaksanakannya eksekusi Tahap III terhadap terpidana mati yang masih memiliki hak hukumnya, maka Negara telah melanggar pasal 6 Ayat 4 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman”.
Ketiga, Rencana pelaksanaan eksekusi mati Tahap III ini bertentangan dengan pembahasan RKUHP yang saat ini tengah dilakukan oleh Komisi III DPR RI, khususnya yang terkait dengan usulan pidana mati (Buku I R KUHP) yang akan dijadikan sebagai hukuman pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Saat ini Buku I R KUHP telah selesai di bahas di Komisi III DPR. Anehnya perbedaan antara Kejaksaan Agung dengan legislatif menunjukkan bahwa selama ini tidak pernah ada koordinasi yang efektif dan progresif antara kedua lembaga tersebut mengenai pidana mati.
Terkait dengan fakta-fakta diatas, kami mendesak agar :
Jakarta, 27 Juli 2016
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) – Imparsial – Migrant Care – LBH Masyarakat – Komunitas Saint Egidio – YLBHI – PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)