Rilis Pers
Aksi 25 Agustus: Wujud Nyata Kekerasan Negara

Jakarta, 26 Agustus 2025 – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk setiap tindakan kekerasan, represif hingga eksesif aparat Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan pengamanan aksi massa penolakan kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berlangsung pada 25 Agustus 2025 di kawasan gedung DPR, Jakarta Pusat. Hanya 10 hari berselang dari Aksi Rakyat Pati, namun tindak kekerasan, represif hingga eksesif yang kembali terjadi telah memperburuk situasi kebebasan sipil di Indonesia. 

Berdasarkan dari data dan dokumentasi yang telah kami himpun, sebanyak 1.250 personil aparat keamanan yang terdiri dari personel gabungan polisi dari Polres dan Polda, TNI serta Pemda DKI diterjunkan untuk mengamankan aksi massa yang berlangsung. Massa aksi 25 Agustus sendiri telah mulai berkumpul ke lokasi aksi sejak pukul 09.00 WIB dan meneriakkan aspirasi kekecewaannya terhadap para pimpinan DPR yang dinilai nirempati terhadap kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Sayangnya, aksi 25 Agustus tidak dapat berlangsung lama karena sejak pada pukul 12.40 wib massa aksi mulai didorong menjauh dari gedung DPR menggunakan Water Cannon dan lebih lanjut menggunakan Gas Air Mata (GAM) – yang lagi-lagi di antaranya telah banyak yang kedulawarsa. Penembakan Water Cannon dan GAM tidak hanya berlangsung di titik aksi, melainkan terus meluas hingga ke daerah Bendungan Hilir, Palmerah hingga Pejompongan. Tercatat setidaknya tiga ratus lima puluh satu (351) orang yang ditangkap secara sewenang-wenang, di mana seratus sembilan puluh enam (196) orang di antaranya merupakan anak.

Atas peristiwa tersebut, KontraS menilai bahwa aparat keamanan telah melakukan praktik pembungkaman dalam bentuk pembubaran aksi massa. Padahal mengemukakan pendapat sendiri telah diatur di dalam Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang bebas atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan berhak untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan urusan publik dengan mengekspresikan kritik terhadap kebijakan negara sebagaimana diatur dalam pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945. Hak untuk menyampaikan pendapat juga telah diatur di dalam berbagai instrumen hukum Indonesia, seperti diantaranya melalui, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998) serta Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pengaturan di atas, secara jelas telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan ataupun gangguan siapapun.

Lebih lanjut, KontraS melihat situasi yang dinilai mulai tidak kondusif oleh Kepolisian dan framing terhadap massa aksi sebagai bagian dari kelompok anarko telah dijadikan alasan pembenar oleh Kepolisian untuk menggunakan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Hal ini jelas mengakibatkan ekses kekerasan berlanjut hingga tengah malam dan kerusakan yang meluas. Tidak berhenti hanya di titik aksi, namun GAM turut ditembakkan secara serampangan ke arah rumah-rumah warga. Padahal secara jelas dalam menggunakan kekuatannya, Kepolisian harus memperhatikan asas legalitas, proporsionalitas dan nesesitas. Hal ini sejalan dengan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Perkap 16/2006) jo. Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan (Perkap 1/2009) jo  Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM (Perkap 8/2009). Selain itu, Kepolisian perlu memperhatikan Pedoman PBB tentang Senjata yang Tidak Mematikan dalam Penegakan Hukum, yang mana secara tegas melarang penggunaan senjata seperti gas air mata untuk membubarkan aksi protes secara sewenang-wenang. Pedoman ini juga menegaskan bahwa penggunaan GAM wajib dilakukan pada jarak jauh dengan posisi tembakan mengarah ke atas. Sayangnya, dalam aksi massa 25 Agustus, polisi masih menembakkan GAM secara lurus dan serampangan.

Lagi dan lagi, situasi yang mulai tidak kondusif dan masifnya tuduhan massa aksi sebagai bagian dari kelompok anarko telah mengakibatkan sebanyak 351 massa aksi ditangkap secara sewenang-wenang oleh Kepolisian. Penangkapan tidak hanya dilakukan di lokasi aksi, melainkan polisi turut melakukan sweeping di antara rumah-rumah warga hingga restoran dan pusat perbelanjaan. Hal tersebut jelas telah melanggar Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM (Perkap 8/2009). Dalam Perkap ini, utamanya di dalam Pasal 11 disebutkan bahwa setiap anggota Polri dilarang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang serta menggunakan kekerasan yang berlebihan. Aturan tersebut sejalan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Pasal 60, 61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Atas dasar tersebut, KontraS mendesak:

  1. Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan kepada Kepolisian RI agar menghormati kebebasan berpendapat dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dan memastikan hal serupa tidak terjadi di kemudian hari;

  2. Kepolisian RI untuk segera membebaskan massa aksi yang ditangkap tanpa syarat, berhenti menggunakan pendekatan keamanan yang represif dan eksesif dalam pengamanan aksi penyampaian pendapat di muka umum, serta segera menindak tegas dan menghukum para anggota yang terlibat melakukan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang, serta melakukan proses hukum melalui kewenangan penyidikan dan penyelidikan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana; dan

  3. Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia berperan lebih aktif dalam menjalankan fungsi serta kewenangannya atas peristiwa ini.

 

Jakarta, 27 Agustus 2025
Koordinator KontraS

 

Dimas Bagus Arya
Narahubung: 0895348175043

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan