SURAT TERBUKA

TOLAK SEGALA BENTUK PENGHARGAAN UNTUK PENJAHAT HAM
Nomor: 05/SK-KMS/VIII/2025

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam penganugerahan Tanda Kehormatan berupa Bintang kepada sejumlah individu bermasalah yang diberikan langsung oleh Prabowo Subianto dalam upacara yang diselenggarakan di Istana Presiden pada Senin, 25 Agustus 2025. Adapun nama-nama penerima Tanda Kehormatan yang kami soroti karena memiliki rekam jejak kontroversial serta dugaan kuat keterlibatan dalam pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) antara lain:

  1. Jenderal TNI (purn) Wiranto (Bintang Republik Indonesia Utama)

  2. Jenderal TNI (purn) A.M. Hendropriyono (Bintang Republik Indonesia Utama)

  3. Mayjen TNI (purn) Zacky Anwar Makarim (Bintang Mahaputera Utama)

  4. Abilio Jose Osorio Soares (Bintang Mahaputera Utama)

Melalui surat terbuka ini, kami bermaksud menyampaikan penolakan terhadap pemberian gelar dan mendesak agar pemberian gelar tersebut dibatalkan. Adapun alasan penolakan tersebut kami dasarkan pada hal berikut:

Pertama, rekam jejak pelanggaran berat HAM

Nama-nama di atas juga melekat beragam kontroversi bahkan ada yang merupakan terduga pelaku Pelanggaran Berat HAM. Hal ini dibuktikan dari hasil investigasi, dokumentasi, dan penyelidikan pro-yustisia oleh lembaga-lembaga negara dan internasional yang berwenang di bidangnya, seperti Komnas HAM RI, Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, dan Unit Kejahatan Serius PBB untuk Timor Timur.

Contohnya seperti Wiranto yang diduga kuat bertanggungjawab atas banyaknya peristiwa Pelanggaran Berat HAM seperti Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penembakan Mahasiswa Trisakti, Semanggi I & II, serta Peristiwa Kejahatan Pasca Referendum Timor-Timur yang terjadi pada medio 1998-1999 di saat Wiranto menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) di tahun 1997 dan menjadi Panglima ABRI di tahun 1998. Wiranto juga termasuk salah satu nama yang didakwa bersalah oleh Unit Kejahatan Serius PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pada periode 1999.

Nama lainnya yaitu A.M. Hendropriyono juga diduga kuat bertanggungjawab atas Pelanggaran Berat HAM yang terjadi di Talangsari Lampung 1989 pada saat dirinya sedang menjabat sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 043/Garuda Hitam Lampung periode tahun 1988-1991. Ia juga turut terlibat dalam operasi militer di Timor-Timur pada periode okupasi Indonesia yang telah menyebabkan pelanggaran HAM dan korban dari warga sipil. Hendropriyono juga memiliki catatan hitam atas dugaan keterlibatannya dalam konspirasi pembunuhan Munir, pembela HAM, pada tahun 2004 saat menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) bersama dengan bawahannya yaitu Deputi V BIN, Muchdi PR.

Sedangkan, nama Zacky Makarim dan Abilio Jose Osorio Soares (Abilio Soares) keduanya bertanggungjawab atas Pelanggaran Berat HAM yang terjadi di Timor-Timur pada 1999 pasca Referendum. Nama keduanya juga didakwa bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pada periode 1999 oleh Unit Kejahatan Serius PBB untuk Timor Timur. Bahkan, Abilio Soares yang pada saat peristiwa merupakan Gubernur Timor-Timur telah divonis bersalah pada Pengadilan HAM tingkat Pertama, Banding, dan Kasasi namun pada akhirnya bebas pada melalui upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada 2004. Zacky Makarim juga disebut seharusnya tak dapat lepas dari pertanggungjawaban komando yang melekat pada dirinya sebagai Penasehat Keamanan Satgas P3TT. Tidak hanya kejahatan di Timor-Timur, Zacky juga bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa Mei 1998 karena posisinya sebagai Kepala Badan Intelijen ABRI saat itu.

Selain itu, terdapat tiga penerima Bintang Mahaputera dan empat penerima Bintang Sakti lainnya yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga sipil dan pelanggaran HAM di Timor-Timur pada periode okupasi Indonesia (1975-1999). Keterlibatan mereka tercatat ada yang sebagai pasukan milisi pro-integrasi dengan Indonesia, pejabat sipil di Timor-Timur, dan anggota ABRI yang bertanggung jawab secara rantai komando.

Kedua, bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK) 

Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tidak sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden secara mutlak, namun harus melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Pengaturan terkait pemberian gelar dan tanda tersebut diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK) yang juga menyertakan asas-asas yang menjadi landasan pemberian gelar dan tanda tersebut. 

Pasal 2 huruf b, d, g, dan h dalam UU GTK telah menggariskan bahwa gelar atau tanda tersebut diberikan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, keobjektifan, dan keterbukaan yang harus terus diperhatikan mulai dari awal wacana pemilihan orang yang akan diberikan hingga pada mekanisme pemberian gelar atau tanda yang seharusnya pada gelar tersebut melekat pengakuan yang koheren dari masyarakat. Hal tersebut tercermin melalui penjelasan Pasal 2 UU GTK yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan berdasarkan asas kemanusiaan adalah “… harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.”, keadilan berarti “... harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.”, keobjektifan berarti “... harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif, rasional, murni, tidak memihak, selektif, dan akuntabel.” dan keterbukaan berarti “... harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas.”. Oleh karena tidak terpenuhinya asas-asas pemberian gelar tersebut yang merupakan akibat betapa parahnya rekam jejak dari nama-nama di atas, maka sudah sepantasnya gelar yang telah diberikan seharusnya dibatalkan dan dicabut.

Ketiga, minimnya partisipasi publik dan bahaya kemunduran demokrasi

Bahwa partisipasi masyarakat dalam suatu usulan tanda kehormatan menjadi salah satu ruh utama dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK). Pemerintah seharusnya ingat dan menyadari betul, latar belakang pembentukan UU GTK adalah keinginan untuk keluar dari kecenderungan militerisme dan tertutupnya pemilihan Gelar Pahlawan maupun pemberian tanda kehormatan di masa orde baru. Hal ini disebutkan jelas dalam berbagai pandangan fraksi pada Rapat Paripurna ke-26 tanggal 15 Mei 2007, Masa Sidang IV, Tahun Sidang 2006-2007, yang dicatatkan dalam Risalah resminya sebagai berikut:

Pendapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang disampaikan oleh Dra. Eddy Mihati, M.Si., Nomor Anggota: A-361 

Keenam, kurangnya partisipasi masyarakat. Dalam praktek pemberian tanda jasa selama ini, tampak bahwa partisipasi aktif masyarakat sangat kurang. Sebab secara kelembagaan Dewan Tanda-Tanda Kehormatan dan Badan Pembina Pahlawan kurang terbuka, terlalu kuat aspek militeristiknya, dan cenderung menerapkan mekanisme pengusulan dan pencabutan yang kurang memberi ruang bagi partisipasi aktif masyarakat luas. Akibatnya praktek pemberian tanda jasa berjalan secara top down, tidak bottom up dan belum melibatkan masyarakat, serta sangat tergantung kepentingan dan kemauan politik penguasa."

Pendapat Fraksi Partai Demokrat yang disampaikan oleh Ir. H. Asfihani, Nomor Anggota: A-126

Lebih dari itu, RUU tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda kehormatan dirancang untuk dapat melakukan unifikasi dan penguatan kelembagaan, memperkuat partisipasi aktif masyarakat luas, serta menjadi payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan mengenai pemberian gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan.

Pendapat Fraksi Partai Golongan Karya DPR R-RI yang disampaikan oleh Dra. Sri Harini, Nomor Anggota: A-477

Keenam, kurangnya partisipasi masyarakat. Dalam praktek pemberian gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan selama ini, tampak bahwa partisipasi aktif masyarakat sangat kurang. Sebab secara kelembagaan Dewan Tanda-Tanda Kehormatan dan Badan pembina Pahlawan kurang terbuka, terlalu kuat aspek mililiteristiknya, dan cenderung menerapkan mekanisme pengusulan dan pencabutan yang kurang memberi ruang bagi partisipasi aktif masyarakat luas. Akibatnya, praktek pemberian gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan berjalan dengan tidak melibatkan masyarakat, serta sangat tergantung kepentingan dan kemauan politik penguasa.

Padahal, semangat pembentukan UU GTK ialah untuk memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam hal pemberian gelar atau tanda jasa/kehormatan. Agar, masyarakat dapat terlibat aktif dalam mengontrol dan memilah penerima gelar atau tanda jasa/kehormatan benar merupakan seorang negarawan yang telah berkontribusi besar pada kesejahteraan masyarakat secara umum dan kemajuan bangsa/negara. Sayangnya, proses pemberian tanda kehormatan berupa ini tidak mencerminkan semangat reformasi hukum dan demokrasi tersebut, serta menimbulkan kekhawatiran atas kembalinya watak otoriter dan impunitas dalam praktik kenegaraan.

Keempat, pengingkaran terhadap keadilan korban dan hak asasi manusia

Tidak hanya bertentangan dengan UU GTK, pemberian Tanda Kehormatan kepada individu-individu yang terlibat dalam kejahatan HAM merupakan bukti nyata kegagalan negara dalam menegakkan HAM. Seharusnya, negara melakukan mekanisme vetting dan lustration terhadap individu-individu yang memiliki keterlibatan dalam kejahatan serius maupun mereka yang terkait dengan rezim pemerintahan otoriter. Hal ini guna memastikan tidak adanya pemakluman terhadap kejahatan serius dan pelanggaran HAM melalui pemberian apresiasi kepada para pelaku kejahatan HAM. Ketika para korban dan keluarganya masih menanti keadilan yang telah mereka perjuangkan selama beberapa dekade, kini Tanda Kehormatan justru diobral secara serampangan kepada para pelaku. Situasi ini tidak ubahnya sebuah pengingkaran besar terhadap UUD 1945 yang mengamanatkan penghormatan terhadap HAM oleh negara. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28I Ayat (4), negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Kami menegaskan bahwa penghargaan ini tidak sesuai secara moral, politik, dan hukum. Oleh karena itu, kami menyatakan:

  1. Negara tidak seharusnya memberikan pengakuan simbolik, politik, dan finansial kepada aktor-aktor yang telah terbukti memiliki keterlibatan dalam kasus Pelanggaran Berat HAM dan penyalahgunaan kekuasaan;

  2. Tidak mengakui, menghormati, ataupun menerima segala bentuk penganugerahan gelar kepada terduga pelaku Pelanggaran Berat HAM tersebut sebagai suatu bentuk kehormatan;

  3. Pemberian tanda kehormatan ini harus dipandang sebagai kegagalan negara dalam menghormati dan menegakkan HAM, dan bukan sebagai refleksi dari nilai kebangsaan;

  4. Kami mengajak publik, media, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama menolak normalisasi kekuasaan yang melanggengkan kekerasan dan impunitas; dan

  5. Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM dengan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

27 Agustus 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Lembaga/Organisasi:

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

  2. Paguyuban Keluarga Korban Talangsari (PK2TL)

  3. SKPKC OSA

  4. SKP Setanah Papua

  5. Komunitas Fenia Meroh

  6. Paguyuban Mei 98

  7. Keluarga Korban Tragedi Semanggi I - 13 November 1998

  8. Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)

  9. Gerakan Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

  10. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) Nasional

  11. Lokataru Foundation

  12. Blok Politik Pelajar

  13. Sajogyo Institute 

  14. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

  15. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  (YLBHI)

  16. Logos ID

  17. Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTPI)

  18. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 

  19. Social Research Center (Sorec) Sosiologi UGM

  20. Reporta Sejarah

  21. Forum Pancoran Bersatu

  22. Perpustakaan Jalanan Jakarta

  23. Emancipate Indonesia 

  24. Jaringan Nakes Indonesia

  25. Kawan Medis

  26. Beranda Rakyat Garuda (BRG)

  27. Protection International Indonesia

  28. Ruang Juang Magelang

  29. Perhimpunan IPT’65 Indonesia (P-IPT65)

  30. PAR Alternatif Indonesia

  31. Komite Politik

  32. Asosiasaun HAK - Timor Leste

  33. Watch65

  34. Institute of International Studies (IIS) UGM

  35. Asia Justice and Rights (AJAR)

  36. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)

  37. Aksi Kamisan Medan

  38. Indonesia Hapus Femisida

  39. Youth Activism RC

  40. Front Rakyat Indonesia untuk West Papua

  41. Perempuan Mahardika

  42. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merauke

  43. Amnesty International Chapter Unnes

  44. Yayasan YAPHI Surakarta

  45. Aksi Kamisan Netherlands

  46. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

  47. Kalyanamitra

  48. Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM)

  49. Democratic Judicial Reform (DE JURE)

  50. Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

  51. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

  52. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)

  53. Bijak Memantau

  54. AMPERAMADA Papua

  55. KOMPAP PAPUA

  56. Kowaki Tanah Papua

  57. Climate Rangers Jogja

  58. KontraS Aceh

  59. Social Movement Institute (SMI)

Individu:

  1. Suciwati (Isteri Munir Said Thalib)

  2. Diah Kusumaningrum, HI UGM

  3. Surya Anta

  4. Ucu Agustin 

  5. Devi Purwanti

  6. Virdinda La Ode Achmad

  7. Safina Maulida

  8. Feri Amsari

  9. Heribertus Lobya

  10. Dania Joedo

  11. Gusti Arirang

  12. Dita Permatas

  13. Dhania Salsha Handiani

  14. Muhammad Raafi

  15. Jay Subyakto 

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan