Sudah 3 (tiga) tahun sejak mengalami salah tangkap dan penyiksaan, 4 (empat) pemuda asal Kabupaten Bekasi, Fikry, Abdul, Randy, dan Rizky belum juga mendapatkan keadilan. Meskipun Fikry sudah dibebaskan berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 170/PID/2022/PT BDG karena berhasil membuktikan penyangkalan dan alibinya yang tidak pernah berada pada lokasi kejadian (locus) dan waktu (tempus) tindak pidana yang dituduhkan. Namun, Abdul, Randy, dan Rizky hingga kini masih hidup dengan “stempel” bersalah. Luka fisik maupun psikis akibat penyiksaan yang mereka alami bahkan belum juga pulihkan.
Sebelumnya, pada malam sekitar pukul 18.30 WIB, Rabu 28 Juli 2021 mereka melewati malam yang kelam. Tepat di warung milik Rusin (ayah Fikri), tiba-tiba datang sekumpulan orang berbadan tegap yang mengaku sebagai anggota gabungan dari unit Reskrim Polsek Tambelang dan Unit Jatanras Polres Metro Kabupaten Bekasi. Tanpa administrasi penyidikan yang jelas, Fikry dan 8 (delapan) orang temannya ditangkap. Mereka dituduh terlibat dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan/aksi pembegalan yang terjadi pada 24 Juli 2021 di Jalan Raya Sukaraja RT.02/RW.003 Desa Sukaraja, Tambelang, Kabupaten Bekasi dengan Pelapor atas nama Sdr. DF;
Alih-alih dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur KUHAP, Fikry dkk justru diturunkan di halaman gedung Telkom Tambelang yang berada persis di depan kantor Polsek Tambelang. Di tempat tersebut, mereka mengalami tindakan penyiksaan brutal selama 8 (delapan) jam agar mengakui perbuatan tindak pidana pencurian dan kekerasan (begal) yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan. Karena tak kuat menahan siksaan, Fikry, Abdul, Randy, dan Rizky akhirnya terpaksa mengaku, mereka pun akhirnya diproses hukum lebih lanjut.
Penyiksaan yang mereka alami bukan sekadar tuduhan belaka. Hal tersebut didasarkan pada keterangan Fikri dan 8 (delapan) temannya, serta berdasarkan Keterangan Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Nomor: 15/HM.00/IV/2022 mengenai Laporan Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Kasus Dugaan Penyiksaan Sdr. M. Fikry, dkk oleh Anggota Polsek Tambelang/Polres Metro Bekasi, yang menemukan setidaknya 10 (sepuluh) bentuk tindak penyiksaan dan 8 (delapan) bentuk kekerasan verbal. Akibat penyiksaan tersebut, terdapat luka-luka membekas pada bagian wajah, badan, dan bagian jari-jari kaki mereka. Tak hanya luka yang membekas, berdasarkan dokumen tertulis hasil asesmen psikologis dari psikolog yang dirujuk oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, mereka mengalami trauma berat seperti cemas dan takut pasca tindakan penyiksaan tersebut.
Selain mengalami Penyiksaan, mereka juga kehilangan barang berupa telepon genggam (handphone) sebanyak 3 (tiga) unit. Dalam siaran pers Kapolsek Tambelang dirilis ke publik pada 30 Juli 2021, tiga unit telepon genggam tersebut dijadikan barang bukti. Namun, tidak terdapat berita acara penyitaan dalam berkas perkara dan tidak pernah dihadirkan selama persidangan.
Tindakan brutal yang tidak manusiawi tersebut sebenarnya telah dilaporkan oleh Tim Advokasi Anti Penyiksaan selaku kuasa hukum Fikry dkk ke Polda Metro Jaya berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/2164/IV/2022/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 28 April 2022. Berdasarkan laporan tersebut, petugas gabungan dari Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polsek Tambelang dan Unit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Resor Metro Bekasi terancam dipidana dengan Pasal 351 ayat (1), 351 ayat (4), Pasal 422, dan Pasal 365 KUHP. Namun, proses penanganan laporan tersebut belum dapat dikatakan memuaskan. Hingga kini, Polda Metro Jaya belum berhasil mengungkap peristiwa dan memproses hukum polisi pelaku penyiksaan dan pencurian dengan kekerasan tersebut.
Atas hal-hal tersebut di atas, kami berpendapat sebagai berikut:
Pertama, tindakan penyiksaan yang dialami Fikry dkk merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Kami memandang bahwa penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian merupakan kejahatan paling serius, oleh karenanya tindakan penyiksaan menjadi musuh seluruh umat manusia. Dalam pasal 5 Deklarasi Hak Asasi Manusia telah ditegaskan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
Penegasan hak setiap warga negara terbebas dari penyiksaan juga telah diatur dalam Pasal 28G ayat (2) konstitusi UUD 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jauh, penyiksaan merupakan tindakan kepolisian yang dilarang dalam menjalankan tugas serta wewenangnya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Kedua, proses penanganan laporan polisi terkait penyiksaan dan pencurian yang dialami Fikry dkk oleh penyidik Unit IV/Subdit Umum Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya yang sudah berjalan lebih dari 2 (dua) tahun tanpa kepastian, dapat dikategorikan sebagai penundaan berlarut (undue delay).
Secara sederhana, undue delay dapat diartikan sebagai lambatnya suatu proses penanganan perkara tanpa dasar dan alasan yang dapat diterima. Hal tersebut merupakan akibat dari ketidakprofesionalan penyidik atau bahkan memang sudah diniatkan sejak awal dengan motif buruk (improper motive) di luar kepentingan korban dan penegakan hukum. Kondisi demikian tentu berdampak terhadap terlantarnya proses hukum yang dibutuhkan korban tindak pidana sebagai salah satu bentuk pemulihan.
Jika ditinjau dari sisi yang lain, undue delay juga berdampak nasib terlapor/tersangka yang menjadi terkatung-katung penuh ketidakpastian. Padahal, jika merujuk pada Pasal 9 ayat (3) ICCPR, setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana wajib diproses hukum dan segera dihadapkan ke muka persidangan. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 50 KUHAP yang pada intinya menjamin hak seorang tersangka untuk segera diadili di muka persidangan demi tercapainya keadilan.
Ketiga, Penundaan berlarut (undue delay) yang dialami Fikri dkk sebagai korban penyiksaan merupakan wujud impunitas yang kerapkali dinikmati anggota kepolisian pelaku penyiksaan. Dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi, Polri diberikan mandat melalui UUD 1945 untuk dapat mengungkap suatu tindak kejahatan melalui proses penegakan hukum pidana. Namun, dalam kasus penyiksaan terhadap Fikry, Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya seolah-olah tidak mampu menjalankan mandat konstitusi dengan bertanggung jawab. Artinya, polisi pelaku penyiksaan dibiarkan begitu saja dan tidak berusaha diseret ke proses peradilan untuk dimintai pertanggungjawaban.
Hal tersebut menyebabkan terlanggarnya prinsip hak atas keadilan bagi korban dan hak atas jaminan ketidak berulangan. Polri tak terkecuali Kejaksaan dan Pengadilan yang merupakan lembaga penegak hukum sebagai representasi negara semestinya menjamin setiap korban pelanggaran HAM dapat memperoleh pengadilan yang adil dan efektif dengan turut menyeret para pelaku penyiksaan agar dituntut dan diadili. Jika kemudian negara gagal melakukan penghukuman dan membuat efek jera terhadap polisi pelaku penyiksaan, maka di masa mendatang tindakan serupa akan terus terulang.
Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak:
- Kepala Polda Metro Jaya untuk segera meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan dalam perkara ini, serta segera menetapkan tersangka;
- Presiden dan DPR memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia. Petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian.
Jakarta, 28 Juli 2024
Tim Advokasi Anti Penyiksaan
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, IMPARSIAL
Narahubung:
- Hussein Ahmad - IMPARSIAL
- Andrie Yunus - KontraS;
- Fadhil Alfathan - LBH Jakarta;
Tags

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan