Pada Kamis, 10 Juli 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memenuhi panggilan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam agenda sidang pengambilan sumpah novum terhadap upaya Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) atas Putusan Nomor 541/G/KI/2023/PTUN.JKT, yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi melalui Putusan Nomor 638 K/TUN/KI/2024 yang kemudian telah dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Putusan ini memerintahkan agar informasi mengenai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78/TK/2021 tentang pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres beserta alasan pemberiannya, sebagai objek yang disengketakan oleh KontraS, dibuka sebagai informasi publik.
Ironisnya, hingga pelaksanaan sidang pengambilan sumpah novum hari ini, Kemensetneg belum juga menunjukkan itikad untuk menaati amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Alih-alih menjalankan kewajibannya membuka akses informasi publik sebagaimana diperintahkan pengadilan, Kemensetneg justru memilih mengajukan Peninjauan Kembali—sebuah langkah hukum luar biasa yang tidak semestinya digunakan untuk menghindari pelaksanaan putusan. Padahal, Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung secara tegas menyebutkan bahwa pengajuan PK tidak menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan putusan pengadilan. Sikap ini memunculkan keraguan publik: apakah memang terdapat proses kajian yang sahih dan transparan dalam setiap pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan seperti yang diminta?.
KontraS memandang bahwa tindakan Kemensetneg yang mengajukan PK tanpa mematuhi isi putusan sebelumnya justru memperlihatkan penguatan praktik impunitas yang terus menerus dilanggengkan oleh negara. Hal ini menunjukkan sikap yang lebih membela pemberian penghargaan kepada pelaku pelanggaran HAM dibanding memenuhi kewajiban hukum untuk menegakkan keadilan. Pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres oleh Presiden Joko Widodo pada 12 Agustus 2021 menjadi contoh nyata dari kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam proses penganugerahan tanda kehormatan. Eurico Guterres sendiri adalah pelaku pelanggaran HAM yang telah dinyatakan bersalah dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terkait peristiwa Timor Timur tahun 1999, melalui putusan pengadilan HAM ad hoc di seluruh tingkat, dan diperkuat oleh temuan investigasi Unit Kejahatan Serius (SCU) di bawah UNTAET.
Pada dasarnya, pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh Presiden tidak boleh dilakukan tanpa transparansi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK) disebutkan bahwa “(g)elar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas: … b. kemanusiaan; c. kerakyatan; d. keadilan …” Faktanya, pemberian Tanda Kehormatan berupa Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres sama sekali tidak mencerminkan peraturan dalam Pasal 2 tersebut. Maka ketika sosok yang memiliki rekam jejak buruk dalam HAM diberikan penghargaan, sudah selayaknya publik terutama korban dan keluarga korban mempertanyakan alasan dan transparansi pemberian penghargaan tersebut. Praktik pemberian penghargaan kepada penjahat HAM juga memperlihatkan bagaimana realitas penegakan HAM di Indonesia, dalam proses hukum penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM kerap kali dihadapkan dengan kebuntuan oleh faktor kelemahan regulasi, inkompetensi aparat penegak hukum, hingga kultur impunitas dengan tidak adanya political will dari Negara.
Kami menyoroti bahwa pemberian penghargaan kepada Eurico Guterres adalah satu dari sekian banyak praktik impunitas Negara yang semakin menihilkan masa depan pengungkapan kebenaran dan keadilan kepada korban dalam penuntasan kasus pelanggaran berat HAM. Pada 28 Februari 2024 lalu, Prabowo Subianto, seorang terduga pelaku Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 sesuai dengan hasil penyelidikan pro-yustisia Komisi Nasional (Komnas) HAM juga diberikan penghargaan berupa pangkat istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan (HOR) Bintang Empat oleh Joko Widodo selaku Presiden RI tanpa transparansi, partisipasi, akuntabilitas maupun menjunjung pada prinsip HAM. Padahal tidak ada satupun regulasi yang mengatur mengenai pemberian pangkat kepada sosok purnawirawan TNI.
Gelagat Negara untuk melanggengkan impunitas tidak sampai disitu, namun juga diperlihatkan dengan upaya sistematis untuk memutihkan dosa-dosa orde baru atas berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi melalui peniadaan peristiwa kasus pelanggaran berat HAM dalam proses penulisan ulang sejarah hingga usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 RI yang selama masa jabatannya melakukan berbagai pelanggaran berat HAM, pelanggaran HAM, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Alih-alih Negara berdalih ingin melindungi dan menegakkan HAM, yang terjadi justru Negara semakin memperkokoh impunitas dan turut membersihkan dosa dan jejak kelam pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, kami dengan tegas mengecam segala bentuk proses pemberian penghargaan kepada sejumlah pelanggar HAM yang sudah seharusnya tidak diteruskan dan segera dihentikan. Tindakan ini jelas akan semakin menjauhkan masa depan HAM dari pengungkapan kebenaran, jaminan ketidakberulangan, pemulihan hingga keadilan terhadap perjuangan korban dan keluarga korban.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas, KontraS mendesak untuk:
-
PTUN Jakarta memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara untuk menaati putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 042/XI/KIP-PS-A/2021 yang telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 541/G/KI/2023/PTUN.JKT dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 638 K/TUN/KI/2024;
-
Kementerian Sekretariat Negara patuh pada isi putusan dengan memberikan salinan Keputusan Presiden Nomor 78/TK/2021 tentang pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres dan membuka alasan pertimbangan mengenai pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres disertai dengan rincian yang memuat secara keseluruhan mengenai hasil penelitian, pembahasan, dan verifikasi usulan pemberian Tanda Kehormatan secara terbuka
Jakarta, 10 Juli 2025
Badan Pekerja KontraS

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan