Papua menjadi salah satu wilayah “konflik” yang hingga sampai saat ini tak kunjung dapat diselesaikan oleh pemerintah. Beragam peristiwa pelanggaran HAM terus terjadi tanpa adanya penyelesaian yang memberikan keadilan para korban telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana negara gagal dalam melaksanakan kewajiban. Empat tahun silam, telah terjadi peristiwa yang menggemparkan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Pendeta Yeremia yang merupakan tokoh agama dan juga aktif dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan ditembak hingga meninggal dunia oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di area perkebunan miliknya. Setidaknya terdapat 3 pelaku yang telah diadili melalui peradilan militer atas peristiwa ini, namun vonis yang diberikan kepada ketiganya sangat jauh dari kata ideal dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para keluarga yang ditinggalkan.

 

Peristiwa pembunuhan ini bermula tanggal 19 September 2020, Pendeta Yeremia bersama dengan Istrinya Mama Miriam Zoani pergi ke kebun miliknya yang berada di daerah Bomba untuk memberikan makan ternak babinya. Pada pukul 13:00 WIT mereka mendengar adanya suara tembakan yang diduga berasal dari Markas Koramil Hitadipa. Sekitar pukul 15:00 WIT Mama Miriam yang sedang dalam perjalanan pulang sendirian bertemu dengan rombongan TNI dengan bersenjata lengkap. Dirinya ketika itu sedikit merasa lega karena rombongan TNI tersebut dipimpin oleh orang yang ia kenal, bernama Alpius. Ketika itu, Alpius sempat menanyakan kepada Mama Miriam terkait masyarakat yang melintasi jalan yang sedang mereka lewati, Mama Miriam menjawab bahwa hanya dirinya dan Pendeta sajalah yang melintasi jalan tersebut. Lalu setelah itu, Alpius bersama dengan pasukannya mendatangi kandang babi milik Pendeta, hal ini juga dilihat oleh masyarakat dari kejauhan.

 

Selanjutnya, hingga menjelang malam hari pendeta Yeremia tidak kunjung pulang, akhirnya Mama Miriam mencoba mendatangi lokasi kandang babi tersebut. Sesampainya di lokasi, ia menemukan tubuh Pendeta Yeremia dalam posisi tertelungkup dengan darah mengalir melalui tangan dan kepala serta luka tusuk di bagian punggung. Ketika itu, Pendeta Yeremia sempat menyatakan bahwa pelaku penembakan dan penusukan tersebut dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Alpinus. Akibat luka itu, Pendeta Yeremia meninggal dunia sekitar pukul 24:00 WIT.

 

Atas peristiwa pembunuhan tersebut, setidaknya terdapat tiga pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka yakni Moh. Andi Hasan Basri, Alex Ading, dan Saiful Anwar. Ketiga pelaku ini selanjutnya diadili melalui peradilan militer di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Ketiganya dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan yang Dilakukan Secara Bersama-sama. Namun anehnya, melalui putusan bernomor 186-K/PM.III-19/AD/VI/2022, ketiga pelaku ini masing-masing hanya mendapatkan vonis 1 tahun penjara. Atas vonis ringan tersebut, Oditur yang bertugas ketika itu mengajukan upaya hukum banding. Lalu selanjutnya Kamis 25 Mei 2023, Majelis Hakim pemeriksa perkara banding melalui putusan nomor 57-K/PMT.III/BDG/AD/IV/2023 memutuskan, “Menguatkan Putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor 186-K/PM.III-19/ AD/VI/2022 tanggal 30 Januari 2023, untuk seluruhnya”. Hukuman yang sangat jauh dari kata ideal dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan.

 

Melalui peristiwa ini, kita kembali ditunjukan bagaimana tidak akuntabelnya penyelesaian peristiwa melalui peradilan militer. Terlebih dalam konteks Hak Asasi Manusia, peradilan militer dinilai tidak dapat untuk menjalankan prinsip-prinsip peradilan yang adil, independen, dan imparsial. Bahkan banyak kasus yang diadili melalui mekanisme ini dilaksanakan secara tertutup dan tidak transparan, hal ini menyebabkan sulitnya bagi para korban untuk mendapatkan akses dan informasi berkaitan dengan perkembangan kasus yang dialami. Hal ini turut terkonfirmasi oleh salah seorang keluarga dari Pendeta Yeremia, yang dimana dirinya menyatakan bahwa pihak keluarga tidak dilibatkan selama proses persidangan berlangsung. Hal ini jelas menggambarkan bahwa pengadilan militer bukanlah tempat yang ideal untuk mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh aparat militer. Mekanisme hukum ini tak kunjung dibenahi, bukan tidak mungkin membuat rantai impunitas semakin panjang dan menjadikan posisi masyarakat di Papua menjadi semakin dirugikan.

 

Lebih lanjut, meninggalnya Pendeta Yeremia juga tidak dapat dilepaskan oleh pendekatan keamanan/militeristik yang selama ini diterapkan di tanah Papua. Seakan tidak pernah berkaca atau belajar dari pengalaman yang telah terjadi, Pemerintah terus menerjunkan aparat TNI/Polri ke Papua dengan tujuan untuk menjaga stabilitas di wilayah-wilayah konflik. Namun faktanya, pendekatan ini tidaklah berhasil dan justru membuat eskalasi konflik bersenjata di wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, minimnya pengawasan dalam pelaksanaan tugas juga menjadi salah satu faktor maraknya penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya, banyak dari mereka yang ditangkap, ditahan, atau bahkan diadili tanpa adanya proses hukum yang fair.

 

Pada akhirnya, melalui pendekatan ini tidak mampu untuk menyelesaikan akar permasalahan yang ada di Papua. Sudah seharusnya Pemerintah segera melakukan evaluasi serta mengubah paradigma mereka atas konflik yang ada di Papua. Pemerintah harus berani dengan membuka ruang-ruang dialog dan mulai melakukan pendekatan yang lebih humanis agar dapat menyelesaikan konflik-konflik ini hingga ke akarnya. Dialog yang konstruktif dan peningkatan terhadap hak asasi manusia menjadi hal yang sangat fundamental guna mencapai solusi jangka panjang.

 

Oleh karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

Pertama, Pemerintah Republik Indonesia untuk segera melakukan evaluasi total atas pengerahan aparat militer dan harus segera mengakhiri pendekatan keamanan di Papua.. Selanjutnya, pemerintah sebagai pemangku kewajiban harus dapat menunaikan tiga kewajiban pokok berkaitan yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia di Papua ;

 

Kedua, Presiden RI dan DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dikarenakan UU ini dirasa sudah tidak relevan dan memiliki banyak kelemahan dalam substansinya. Revisi UU ini sangat penting dilakukan guna dapat memberikan proses hukum yang transparan dan akuntabel sehingga dapat memberikan keadilan bagi para korban.

 

Jakarta, 21 September 2024

Badan Pekerja KontraS,



Dimas Bagus Arya,

Koordinator

Narahubung: +6289651581587

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio