Pada Kamis, 15 Mei 2025, Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang terdiri dari korban, keluarga korban pelanggaran berat HAM, jaringan organisasi masyarakat sipil dan individu, menggelar aksi sekaligus audiensi di Kementerian Sosial Republik Indonesia mengenai penolakan atas usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden ke-2 Indonesia. Hal ini dilakukan untuk merespon pernyataan Menteri Sosial (Mensos) Republik Indonesia pada 3 Mei 2025, yang menyatakan bahwa pemerintah terbuka untuk menerima masukan serta berdialog dengan masyarakat sipil, baik yang mendukung maupun menolak usulan tersebut.
Sebelumnya, GEMAS sudah mengirimkan surat desakan terbuka untuk tidak mengusulkan pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada 10 April 2025 lalu kepada Kementerian Sosial RI yang didukung lebih dari 350+ baik dari Organisasi/Lembaga maupun individu-individu. Namun surat tersebut tidak ditanggapi, sehingga kami khawatir penolakan yang dilakukan oleh korban dan keluarganya, serta masyarakat luas tidak dipertimbangkan secara serius, terutama di tengah semakin masifnya konsolidasi elite politik yang justru ramai-ramai menyatakan dukungan tanpa mempertimbangkan rekam jejak kelam Soeharto.
Dalam audiensi dengan Kemensos, GEMAS juga menyerahkan sejumlah dokumen pendukung, antara lain: tanggapan serta pandangan berupa argumentasi penolakan gelar pahlawan Soeharto, petisi “Tolak Gelar Pahlawan Soeharto” yang sudah ditandatangani lebih dari 6000+ orang, dan International Joint Statement yang sudah mencapai lebih dari 30+ dukungan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil internasional maupun individu yang ditengarai dapat menjadi upaya sistematis negara untuk memutihkan sejarah dan menghapus jejak kejahatan negara selama 32 tahun rezim Orde Baru. Setidaknya terdapat tiga poin utama argumentasi penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang kami sampaikan kepada pihak Menteri Sosial beserta jajarannya yaitu:
Pertama, kami menegaskan bahwa selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Soeharto, pemerintahan dijalankan secara otoriter melalui pemilu yang tidak demokratis. Negara dijadikan alat kekuasaan yang represif terhadap warga sipil hingga terjadinya kasus pelanggaran berat HAM. Laporan penyelidikan Komnas HAM mencatat terdapat sembilan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto (1965–1998), yang berdampak masif secara fisik, ekonomi, psikologis, dan sosial terhadap para korban dan keluarganya, termasuk hilangnya akses terhadap keadilan yang hingga kini belum sepenuhnya dipulihkan oleh negara.
Kedua, kami membantah pernyataan Menteri Sosial yang menyebut bahwa Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional karena namanya disebut-sebut telah dihapus dari Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998. Kami menegaskan bahwa klaim tersebut keliru dan tidak berdasar. Informasi mengenai penghapusan nama Soeharto yang beredar sejak 25 September 2024 tidak dapat dijadikan rujukan hukum dalam proses pemberian gelar kehormatan. Selain tidak memiliki kekuatan hukum, MPR pasca reformasi juga tidak memiliki kewenangan untuk mencabut TAP yang telah disahkan. Berdasarkan TAP I/MPR/2003, TAP XI/MPR/1998 juga dikategorikan sebagai TAP yang “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.” Selain itu, pernyataan penghapusan nama Soeharto hanyalah bagian pendapat pribadi dari Ketua MPR (2019-2024), Bambang Soesatyo, dan bukan merupakan keputusan resmi lembaga, sebagaimana tercatat dalam Risalah Sidang Paripurna MPR 2019–2024 halaman 46. Sesuai UUD NRI Tahun 1945 dan Peraturan MPR 1/2019, MPR juga tidak memiliki tugas atau wewenang untuk menghapus pertanggungjawaban hukum individu.
Ketiga, kami menyoroti rekam jejak korupsi Soeharto yang telah tercatat secara nasional maupun internasional. Transparency International mencatat Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup, dengan nilai korupsi yang ditaksir mencapai US$ 15–35 miliar. Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative oleh UNODC dan Bank Dunia pada 2005 juga menempatkan Soeharto di peringkat pertama daftar pemimpin paling korup abad ke-20. Selain itu, Putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140 PK/Pdt/2015 menyatakan bahwa Yayasan Beasiswa Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk mengganti rugi sebesar US$ 315 juta dan Rp 139 miliar kepada negara dengan total kerugian negara sekitar Rp 4,4 triliun. Temuan hukum ini, ditambah laporan investigatif tentang penyalahgunaan dana yayasan sosial dan kepemilikan aset tidak wajar oleh keluarga Cendana, menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam praktik korupsi yang sistematis dan terstruktur. Meskipun proses pidana terhadap Soeharto dihentikan karena alasan kesehatan, fakta-fakta yang terungkap melalui pengadilan, putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan laporan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan sebenarnya, apabila mencermati Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1846 K/Pid/2000 tanggal 2 Februari 2001, kasus korupsi Soeharto tidak pernah tuntas dan amar putusan menghendaki ketika Soeharto sembuh untuk kembali dihadapkan ke persidangan.
Dalam audiensi, pihak Kementerian Sosial menyampaikan bahwa pembahasan mengenai usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto telah dilakukan sebanyak tiga kali yakni pada 2010, 2015, dan saat ini di tahun 2025, dan bahkan sempat tidak dilanjutkan pada tahun-tahun sebelumnya. Jika benar Kemensos menyatakan bahwa usulan tersebut berasal dari masyarakat, mengapa suara penolakan dari para korban, keluarga korban, dan kelompok masyarakat sipil justru diabaikan? Setiap kali usulan tersebut muncul, kami secara konsisten menyampaikan penolakan. Maka patut dipertanyakan: jika usulan ini pernah ditolak, mengapa kembali diangkat tahun ini?
Selain itu, GEMAS juga menanggapi pernyataan pihak Kemensos dalam audiensi yang menyebut usulan gelar pahlawan berasal dari masyarakat melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) dan diajukan oleh Gubernur Jawa Tengah. Namun, hal ini bertentangan dengan pernyataan resmi Gubernur Ahmad Luthfi yang melalui media menyatakan tidak mengetahui adanya pengusulan tersebut. Fakta ini menimbulkan keraguan serius terhadap transparansi dan akuntabilitas proses pengusulan. Padahal, Pasal 2 huruf h Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan secara tegas menyatakan bahwa pemberian gelar kehormatan harus dilakukan secara terbuka, transparan, dan dapat dikontrol oleh publik. Maka dari itu, kehadiran kami di Kemensos merupakan bentuk nyata dari upaya menghadirkan kontrol publik yang sah dan konstitusional.
GEMAS memandang bahwa seluruh proses ini menimbulkan pertanyaan serius tentang motif dan urgensi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto saat ini. Kami melihat adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Pernyataan Prabowo Subianto pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa dirinya akan mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional jika terpilih sebagai Presiden menambah kekhawatiran, mengingat hubungan personalnya sebagai mantan menantu Soeharto dan kedekatannya dengan keluarga Cendana. Jika janji tersebut kini diwujudkan, hal ini ke depan dapat dianggap melanggar asas motivasi dalam AAUPB.
Fakta lain yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional membawa konsekuensi finansial bagi negara. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2010, gelar ini memberi hak kepada penerima dan ahli warisnya untuk menerima berbagai tunjangan, termasuk hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan hak atas dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)—yang berasal dari pajak rakyat. Jika Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional, maka keluarga Cendana berhak menerima tunjangan tersebut. Hal ini tentu menyakitkan, terutama di tengah kondisi pemangkasan anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan dan kesejahteraan rakyat dibandingkan memberikan penghargaan gelar pahlawan dan keuntungan finansial terhadap sosok Soeharto.
Oleh karena itu, kami Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mendesak Menteri Sosial Republik Indonesia untuk secara serius mempertimbangkan seluruh catatan pelanggaran HAM, praktik korupsi, serta dampak sosial dan politik yang ditinggalkan oleh Soeharto. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap HAM, tetapi juga mengabaikan penderitaan korban dan menghapus ingatan kolektif atas kekerasan negara. Dalam membangun kehidupan bernegara pasca rezim otoritarian, negara seharusnya berpijak pada semangat antikorupsi, penguatan demokrasi, dan supremasi hukum, serta penegakan nilai-nilai HAM dengan tidak memberi ruang bagi individu yang telah merugikan rakyat dan mencederai sejarah bangsa.
Jakarta, 16 Mei 2025
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan