Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengecam keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, H. M. Soeharto dan juga kepada Sarwo Edhie Wibowo. Soeharto dan Sarwo Edhie termasuk dalam sepuluh nama yang diberikan gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025 di Istana Negara. Ia dianggap sebagai tokoh dalam bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kini menambah, bahkan menjadi puncak dari, daftar panjang pemberian penghargaan secara serampangan oleh negara kepada para terduga pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebelumnya, beberapa nama yang terlibat dalam berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM seperti Eurico Guterres, Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, Wiranto, A. M. Hendropriyono, Abilio Jose Osorio Soares, dan Zacky Anwar Makarim telah diberikan penghargaan berupa Tanda Kehormatan.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah sebuah tindakan yang cacat secara moral dan bersifat ahistoris. Tindakan ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai tindakan simbolik berupa pemberian penghargaan kepada seorang mantan presiden karena dianggap berkontribusi dalam peristiwa 1 Mei 1949. Lebih besar dari itu, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menyiratkan pesan bahwa seluruh rekam jejak buruk dan berdarah yang dimiliki Soeharto selama menjadi presiden, bahkan sejak dua setengah tahun sebelumnya pada 1965, adalah hal yang wajar. Kenyataan justru menunjukkan bahwa Soeharto telah meninggalkan warisan kelam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia yang masih bisa dirasakan hingga hari ini.
Di bawah komando Soeharto, jutaan nyawa menjadi tidak berarti dan telah melayang di tangan aparat negara. Jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia justru menjadi jalan bagi Soeharto dalam memperkaya dan menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya melalui penyalahgunaan kekuasaan. Ia telah menciptakan sistem kebijakan dan kehidupan bernegara yang berjalan dengan paradigma perusakan dan eksploitasi lingkungan. Sejalan dengan kebijakannya yang diklaim atas nama pembangunan, negara telah merampas ruang hidup rakyatnya, termasuk ruang hidup masyarakat adat. Objektifikasi, penundukan, dan penindasan terhadap perempuan diinstitusionalisasikan oleh Soeharto dalam sistem dan tindakan kenegaraan. Etnis Tionghoa didiskriminasi dan dipinggirkan secara sistematis oleh negara di bawah kepemimpinannya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditekan habis-habisan oleh negara, di antaranya dengan menerapkan Asas Tunggal Pancasila secara paksa dan menganggap aliran kepercayaan lokal sebagai tidak sah. Ruang-ruang intelektual dan berpikir kritis dibabat oleh negara, termasuk melalui genosida terhadap satu generasi intelektual Indonesia pada 1965.
Selain Soeharto, Sarwo Edhie Wibowo juga termasuk salah satu nama penerima gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 116/TK/2025. Berbagai studi ilmiah yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti John Roosa, John Hughes, dan Robert Cribb menyebutkan bahwa Sarwo Edhie adalah Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), unit pasukan yang bertanggungjawab atas pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Pulau Jawa. Sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui penyelidikan pro-yustisia yang diamanatkan oleh Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, peristiwa 1965-1966 yang merupakan tindakan pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis tergolong sebagai pelanggaran berat HAM. Dengan demikian, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo pun tidak ubahnya sebuah bentuk pelanggengan impunitas kepada pelaku pelanggaran berat HAM.
Pasca Reformasi 1998, Indonesia sejatinya telah melakukan penyelidikan dan pengakuan resmi atas kejahatan yang terjadi semasa periode pemerintahan Soeharto. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor IV/MPR/1998 mengakui terdapat krisis hukum dalam periode pemerintahan Soeharto. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dalam Pasal 4 juga mengakui bahwa Soeharto dan kroni-kroninya tidak boleh dikecualikan sebagai pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada September 1998, Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Kemudian, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 140 PK/Pdt/2015 memutuskan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp139.438.536.678,56 kepada Negara Republik Indonesia. Tidak hanya itu, penyelidikan pro-yustisia yang dilakukan oleh Komnas HAM menemukan adanya 9 peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai presiden.
Seluruh rekam jejak Soeharto sangatlah jelas bertentangan dengan syarat keteladanan dan integritas moral yang diatur dalam Pasal 25 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Lebih lanjut, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga bertentangan dengan asas-asas yang diatur dalam Pasal 2 UU GTK, khususnya asas-asas kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan keterbukaan. Meskipun pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah hak prerogatif presiden, hak tersebut tidaklah bersifat mutlak. Asas keterbukaan dalam Pasal 2 UU GTK hadir dengan tujuan untuk menjamin adanya partisipasi publik yang bermakna sebagai ruh dari pemberian penghargaan oleh negara, termasuk gelar Pahlawan Nasional. Hal senada pun disampaikan oleh berbagai fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika menyusun UU GTK. Dikutip dari Risalah resmi Rapat Paripurna ke-26 tanggal 15 Mei 2007, Masa Sidang IV, Tahun Sidang 2006-2007, UU GTK dirancang untuk menjamin bahwa pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan tidak hanya sebagai alat politik yang mengikuti kemauan penguasa, melainkan dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif.
Lebih lanjut, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak berarti berhentinya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Indonesia memiliki UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang jelas mengatur penuntasan kasus pelanggaran berat HAM. Apalagi, proses hukum pun sudah berjalan dengan adanya penetapan 9 kasus pelanggaran berat HAM pada periode pemerintahan Soeharto oleh Komnas HAM. Selain itu, mantan Presiden, Joko Widodo, pun pernah menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya sejumlah peristiwa pelanggaran berat HAM, di antaranya termasuk peristiwa yang terjadi dalam periode pemerintahan Soeharto.
Dalam konteks yang lebih luas, pemberian gelar Pahlawan Soeharto sejatinya merupakan upaya negara dalam memutihkan dosa-dosa pemerintahan Soeharto. Penyangkalan dan penghapusan ingatan kolektif mengenai dosa-dosa pemerintahan Soeharto telah dilakukan melalui berbagai upaya oleh beberapa pejabat pemerintahan. Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan pernah menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 bukanlah pelanggaran berat HAM. Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan pernah menyatakan bahwa kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 tidak terjadi secara massal. Kementerian Kebudayaan kini juga tengah melakukan penulisan ulang buku sejarah resmi. Terakhir, negara pun telah memberikan penghargaan berupa Tanda Kehormatan kepada beberapa nama-nama yang bermasalah dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM HAM. ​Dengan demikian, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo adalah bentuk pemakluman dan pewajaran terhadap tindakan amoral yakni kejahatan kemanusiaan dan kekerasan negara serta koruptif.
Dalam peristiwa ini, rezim pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memberikan sebuah tindakan yang menghantarkan bangsa ini menuju kegelapan sejarah dan menunjukkan keberpihakan kepada figur yang sejatinya merusak nilai moral bangsa dan dasar negara Pancasila. Pewajaran ini merupakan cerminan dari standar moral penyelenggaraan pemerintahan di rezim Prabowo-Gibran yang mengkerdilkan perjuangan dari para penyintas, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta semangat pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di Republik.
Untuk itu, kami yang berdiri dan terus berpihak pada para korban, penyintas, keluarga korban pelanggaran HAM dan kekerasan negara menyatakan dengan tegas bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo tidak dapat diterima karena merupakan praktik yang bertentangan dengan hukum dan menjadi sebuah upaya sistemik dalam meminggirkan upaya pengungkapan kebenaran dan juga penegakan HAM di Indonesia.
Jakarta, 10 November 2025
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS)
Organisasi
Pernyataan sikap selengkapnya dapat dilihat di sini
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
