Siaran Pers:
Memburuknya Situasi Penegakan HAM Dalam 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran
Telah genap satu tahun sejak pemerintahan Prabowo-Gibran resmi memegang kendali penuh atas negara Indonesia. Pada momentum ini, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti bahwa jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran dalam satu tahun terakhir ini justru dipenuhi oleh memburuknya situasi penegakan hak asasi manusia. Pendapat ini didasarkan pada data hasil pemantauan terhadap situasi HAM di Indonesia dan pengalaman advokasi HAM yang telah dilakukan KontraS selama satu tahun terakhir.
Selama satu tahun terakhir, KontraS mencatat betapa nihilnya upaya pemerintah untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM sebagaimana telah dimandatkan oleh konstitusi. Sebaliknya, pemerintah justru berperan aktif sebagai aktor dalam masifnya fenomena pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu satu tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan menyempitnya ruang kebebasan sipil, masifnya serangan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM, nihilnya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, upaya penghapusan sejarah pelanggaran HAM berat masa lalu, pendekatan represif di Papua, minimnya keberpihakan terhadap Palestina, pembentukan kebijakan yang kian menindas masyarakat sipil, serta lain sebagainya.
Sebagai puncak atas berbagai permasalahan tersebut, pada tanggal 25-31 Agustus lalu telah terjadi pecahnya gelombang demonstrasi rakyat dari berbagai wilayah di Indonesia. Dalam gelombang demonstrasi ini, rakyat menyampaikan amarah dan tuntutannya kepada pemerintah yang secara sewenang-wenang terus menciptakan kebijakan-kebijakan yang menindas rakyat. Namun, KontraS mencatat bahwa dalam gelombang demonstrasi ini setidaknya terdapat sebanyak 378 orang mengalami luka-luka, sementara 7 orang lainnya tewas, baik dari kelompok demonstran maupun non-demonstran. Ironisnya, tingginya angka korban ini sebagian besar disebabkan karena represifitas aparat keamanan selama pembubaran paksa massa aksi, serta penggunaan senjata pengendali massa yang melampaui batas.
Alih-alih mendengar aspirasi yang disampaikan oleh rakyat selama pecahnya gelombang demonstrasi, pemerintah justru semakin bertindak represif dengan menangkap orang-orang yang berdemonstrasi dan orang-orang yang dituduh menjadi dalang atas pecahnya demonstrasi. Dalam data yang dikeluarkan oleh Polri per 1 September, tercatat bahwa setidaknya Polri telah menangkap sebanyak 3.195 orang selama gelombang demonstrasi berlangsung pada 25-31 Agustus. Tingginya jumlah penangkapan ini tentu belum dapat menggambarkan keseluruhan data penangkapan di lapangan, mengingat adanya fakta lapangan yang ditemukan KontraS bahwa aparat kepolisian telah berulang kali melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditangkap selama periode demonstrasi berlangsung. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bermunculan kasus-kasus orang-orang yang dihilangkan secara paksa oleh pemerintah.
Dalam catatan Tim Posko Orang Hilang yang dibentuk oleh KontraS, setidaknya terdapat 44 orang yang dilaporkan hilang selama gelombang demonstrasi. Hingga saat ini, 42 orang telah berhasil ditemukan, meskipun 33 orang di antaranya ditemukan dalam kondisi penahanan diam-diam oleh aparat keamanan —khususnya di sejumlah kantor kepolisian tanpa adanya akses terhadap keluarga maupun pendamping hukum. Namun demikian, masih terdapat dua orang korban yang masih belum diketahui keberadaannya, yaitu Muhammad Farhan Hamid dan Reno Syahputradewo.
Terlebih lagi, masifnya penangkapan oleh kepolisian tidak hanya berhenti selama masa demonstrasi saja, melainkan juga hingga pasca aksi demonstrasi. Dalam hasil pemantauan KontraS per tanggal 1 September hingga 1 Oktober saja, ditemukan bahwa pemerintah masih aktif melakukan penangkapan secara masif terhadap sebanyak 1.623 orang pasca gelombang demonstrasi berakhir. Ironisnya, masifnya penangkapan langsung ini turut diiringi pula dengan serangan digital dan ancaman kriminalisasi yang juga secara masif ditujukan terhadap pihak-pihak yang aktif menyuarakan tuntutan secara daring selama periode demonstrasi berlangsung.
Pada sisi lain, berbagai kondisi di atas diperparah dengan fakta bahwa dalam satu tahun terakhir ini Indonesia tengah dilanda oleh darurat reformasi sektor keamanan. Pada institusi Polri misalnya, terlihat jelas bagaimana aparat kepolisian berulang kali menjadi aktor atas kekerasan terhadap masyarakat sipil di lapangan. Dalam isu pelanggaran atas kebebasan sipil misalnya, KontraS mencatat bahwa aparat kepolisian telah 173 kali terlibat sebagai aktor pelaku di lapangan sepanjang bulan Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Keterlibatan ini seringnya terjadi dalam bentuk tindakan kepolisian membubarkan massa secara paksa, melakukan penangkapan sewenang-wenang, mengintimidasi, serta lain sebagainya. Ironisnya, Polri kerap melakukan penyangkalan-penyangkalan atas keterlibatannya dalam peristiwa-peristiwa kekerasan, dengan tujuan untuk lari dari pertanggungjawaban terhadap para korban. Kondisi ini sejatinya dengan jelas menunjukan kegagalan polri menjadi institusi sipil yang profesional dan berorientasi pada HAM.
Darurat reformasi sektor keamanan juga dapat dilihat pada institusi TNI. Dalam satu tahun terakhir, terlihat jelas bahwa posisi militer di Indonesia terus mengalami penguatan. Hal ini ditandai dengan pengesahan RUU TNI yang minim partisipasi publik. Bahkan, RUU TNI juga justru memperluas kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa adanya batasan yang jelas. Belum lagi, KontraS juga memantau bahwa TNI secara aktif membentuk banyak satuan-satuan baru pada berbagai wilayah di Indonesia yang diiringi oleh penerjunan pasukan-pasukan untuk menduduki satuan baru tersebut. Berbagai gambaran menguatnya militerisme ini menunjukan jelas bagaimana negara kini melangkah jauh dari semangat reformasi yang menekankan pentingnya pembatasan peran militer dalam ruang-ruang sipil.
Berbagai kondisi yang terjadi di atas sejatinya menandai dengan jelas betapa memburuknya situasi penegakan HAM di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Kendati demikian, KontraS menyoroti bahwa Presiden Prabowo justru mengabaikan fakta tersebut dengan mendelegitimasi berbagai tuntutan rakyat terhadap negara melalui pelabelan para pengkritik negara sebagai “antek asing” dan musuh bersama. Sikap yang ditunjukan oleh Prabowo ini sejatinya mencerminkan arah pemerintahan negara yang cenderung menempatkan kritik sebagai ancaman, alih-alih sebagai bagian dari partisipasi rakyat dalam menjaga prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sikap ini tentu dapat berdampak langsung pada praktik-praktik penegakan HAM di lapangan, karena akan membuka ruang bagi semakin represifnya pendekatan pemerintah terhadap kelompok masyarakat yang bersuara kritis terhadap negara, serta semakin lemah pula jaminan pemerintah atas pemenuhan HAM bagi seluruh warga negara Indonesia.
Atas dasar berbagai catatan di atas, maka dapat kembali ditegaskan bahwa satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran justru diliputi oleh memburuknya situasi penegakan HAM di Indonesia. Dengan demikian, KontraS menyerukan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk segera melakukan evaluasi dan perbaikan agar arah pemerintahan negara di tahun-tahun selanjutnya dapat lebih sejalan dengan prinsip demokrasi dan HAM. Dalam hal ini, KontraS turut menekankan bahwa tanpa adanya langkah korektif dari pemerintah, maka situasi penegakan HAM di Indonesia dapat jauh lebih buruk daripada yang terjadi dalam satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Jakarta, 22 Oktober 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya Saputra
Koordinator
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
