(foto: indonesianpost.id)

 

Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam peristiwa pelarangan beribadah di Vihara Cetiya Permata Dihati di Cengkareng Barat, Jakarta. Konflik terkait dengan pelarangan beribadah tersebut merupakan imbas dari tidak didapatkannya izin untuk mendirikan Vihara dan memuncak pada Selasa, 24 September 2024 ketika ratusan orang yang merupakan pengurus dan umat dari Vihara menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak penutupan Vihara. Peristiwa ini menunjukkan abainya negara dalam melindungi dan menjamin warga negaranya untuk menjalankan peribadatan.

 

Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, kejadian ini merupakan bagian dari rentetan peristiwa. Sejak awal, dalam proses pembangunan, Vihara Cetiya Permata Dihati pernah disegel namun pembangunan dapat dilanjutkan. Bangunan Vihara yang telah berdiri sejak tahun 2013 atau kurang lebih 11 tahun kemudian tidak pernah mengalami gangguan yang signifikan. Sayangnya, selama beberapa bulan kebelakang, terjadi perselisihan antara pihak Cetiya Permata Dihati dengan kelompok yang mengatasnamakan dirinya dengan Forum Warga RW 12 Cengkareng yang dilatarbelakangi oleh warga yang merasa resah dengan kegiatan peribadatan yang dilakukan di Vihara karena dalam rangka melakukan kegiatan peribadatan, masyarakat melakukan ritual keagamaan di jalan. Selain itu, antrian parkir kendaraan minibus jemaat Vihara dianggap mengganggu aktivitas warga di lingkungan Cluster Blok C RW 012 Cengkareng Barat. Penolakan peribadatan di perkeruh dengan pernyataan Ketua RT dan RW setempat yang turut menyatakan bahwa Vihara tidak ada izin untuk penggunaan jalan raya dan belum ada izin dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), termasuk juga Vihara yang tidak mendapatkan izin pendirian ibadah melainkan menggunakan izin rumah tinggal.

 

Beberapa upaya penyelesaian telah dilakukan namun tidak kunjung mencapai kesepakatan, yakni:

Pertama, pada Selasa, 10 September 2024 sebelumnya telah berlangsung pertemuan antara para pihak di DPRD DKI Jakarta untuk mencari solusi persoalan vihara ini, yang difasilitasi anggota DPRD Jakarta Fraksi PSI. 

Kedua, Tanggal 21 Agustus dimana sudah terdapat pembahasan antara pihak Kelurahan Cengkareng Barat dan pihak CKTRP Sektor Cengkareng, dengan kondisi bahwa surat penolakan warga yang ditujukan ke PJ Gubernur DKI Jakarta oleh Forum Warga RW 012 dengan permintaan untuk tidak ada lagi kegiatan di Vihara atau diberhentikan dan warga lingkungan perumahan memiliki izin rumah tinggal sebagaimana peruntukannya, bukan rumah ibadah. 

Ketiga, pada Selasa, 24 September 2024, Ratusan umat serta pengurus dari Vihara Cetiya Permata Dihati mendatangi kantor Kelurahan Cengkareng Barat untuk menghadiri undangan dalam upaya perdamaian terkait dengan konflik dengan kelompok yang mengatasnamakan dirinya dengan Forum Warga RW 12 Cengkareng, dengan difasilitasi oleh Lurah Cengkareng yang berlangsung di Lantai 3 kantor kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta. Pertemuan ini berbentuk mediasi yang dipimpin oleh Lurah Cengkareng Barat yakni M. Barliantoro serta terdapat pula perwakilan dari Camat dan TNI Polri.

 

Kami menilai Pelarangan Beribadah di Vihara Vihara Cetiya Permata Dihati di Cengkareng Barat, Jakarta, merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia sebagaimana telah dilindungi dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” dan 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam ranah internasional, pelarangan melakukan kegiatan peribadatan juga merupakan pelanggaran atas standar Hak Asasi Manusia internasional seperti Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005, serta Pasal 22 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). 

Selain itu, berdasarkan informasi yang kami himpun, kami juga belum melihat peran Kementerian Agama sebagai lembaga yang menaungi dan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berbasis Keagamaan, seharusnya telah dilakukan upaya pencegahan secara efektif, efisien, komprehensif, dan berkelanjutan. Negara berkewajiban melindungi hak warga negara untuk menggunakan rumah ibadah, dalam rangka menjamin kebebasan berkumpul, berkeyakinan dan beragama, sebagaimana dijamin dalam konstitusi maupun berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Negara sekali lagi absen dalam melakukan tanggungjawab yang seharusnya menjadi kewajibannya dalam hak asasi manusia, yakni kewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect).

Atas uraian-uraian di atas, KontraS mendesak agar:

  1. Presiden RI Joko Widodo memenuhi sumpah/janjinya untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sepenuhnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap umat beragama untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan nya masing-masing, termasuk untuk mendirikan rumah ibadah; 

  2. Komnas HAM melakukan pemantauan dan menindaklanjuti kasus pelarangan beribadah di Vihara yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;

  3. Kementerian Agama Republik Indonesia menggunakan kewenangannya secara maksimal untuk menangani dan mencegah terjadinya keberulangan dalam konflik berdimensi keagamaan.

 

Jakarta, 07 Oktober 2024

Badan Pekerja KontraS



Dimas Bagus Arya

Koordinator

 

Narahubung: +628176453325

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio