Dalam rangka memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2025, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis laporan Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia. Pada laporan tahunan kali ini, KontraS mengambil judul “Negara Tidak Berbenah, Penyiksaan Terus Berulang”. Judul tersebut dipilih karena berdasarkan pemantauan yang dilakukan, tidak terdapat perubahan berarti dalam upaya pemerintah untuk mencegah keberulangan peristiwa-peristiwa penyiksaan. Pemantauan yang dilakukan dalam rentang Juni 2024-Mei 2025 bahkan menunjukkan adanya kenaikan jumlah peristiwa dan jumlah korban penyiksaan, dibanding tahun sebelumnya.

Pemantauan KontraS sepanjang Juni 2024-Mei 2025 mencatat 66 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 139 orang menjadi korban. Tercatat sebanyak 23 korban meninggal dunia dan 116 lainnya luka-luka. Mayoritas korban yakni 114 orang merupakan warga sipil biasa, dan 25 korban lainnya merupakan tersangka tindak pidana atau terpidana yang sedang menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan. 

Pemantauan KontraS juga mencatat Kepolisian sebagai lembaga yang aparatnya menyumbang paling banyak peristiwa penyiksaan, tercatat sebanyak 36 tindak penyiksaan dilakukan oleh anggota Polri. TNI menempati posisi kedua dengan 23 peristiwa penyiksaan petugas Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tercatat terlibat melakukan 7 peristiwa penyiksaan. 

Berbagai peristiwa penyiksaan yang masih kerap dilakukan oleh aparat negara tersebut patut disayangkan karena Pasal 28I UUD 1945 dengan tegas menjamin hak untuk tidak disiksa sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights). Maka, terus berulangnya peristiwa penyiksaan merupakan pelanggaran secara terang-terangan terhadap Konstitusi. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998, serta Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Kedua perjanjian internasional tersebut secara tegas menyatakan bahwa tidak ada justifikasi sama sekali bagi negara untuk melakukan tindak penyiksaan, dan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dibatasi. Maka, berulangnya peristiwa penyiksaan setiap tahunnya merupakan pelanggaran terhadap komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi hak asasi warga negaranya.

Pada sisi lain, berbagai lembaga negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman dan Komisi Nasional Disabilitas (KND)  telah berinisiatif membentuk Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP). Namun minimnya komitmen pemerintah untuk secara serius memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga tersebut membuat inisiatif tersebut tidak sepenuhnya berjalan secara efektif.

Laporan ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai peristiwa penyiksaan di Indonesia dan diharapkan dapat memperkaya diskursus hak asasi manusia di Indonesia. Laporan ini juga diharapkan dapat menjadi bahan bagi pemerintah untuk secara serius berbenah dan menunjukkan komitmen untuk menghapus segala dan mencegah berulangnya tindak penyiksaan, khususnya dalam rangka penegakan hukum.

 

Jakarta, 25 Juni 2025
Badan Pekerja KontraS




Dimas Bagus Arya
Koordinator

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan