Siaran Pers
Putusan Bersalah Warga Ds. Cibetus, Padarincang: Kriminalisasi Pejuang Lingkungan oleh Negara!


(Dok: Istimewa)

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mengecam putusan unfair trial yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang yang memvonis bersalah terhadap warga Desa Cibetus, Padarincang yang mendapatkan kriminalisasi, khususnya dalam nomor perkara 244/Pid.B/2025/PN.Srg yang diputus pada Senin, 30 Juni 2025 dengan putusan 1 Tahun Pidana, serta Nomor Perkara 228/Pid.B/2025/PN.Srg dengan putusan 1 Tahun 3 bulan, 229/Pid.B/2025/PN.Srg yang diputus Rabu, 9 Juli 2025 serta dan 302/Pid.B/2025/PN.Srg dengan putusan 1 Tahun yang diputus tanggal 30 Juli 2025. Hakim pemeriksa perkara telah mengesampingkan terdakwa sebagai pejuang lingkungan hidup dan bermuara pada putusan bersalah.

Hal ini tentu saja sangat memilukan bagi penegakan hak asasi manusia dan keadilan, karena perangkat negara melalui pengadilan telah gagal melindungi warga negaranya dalam memperjuangkan lingkungan hidup.

Kasus kriminalisasi ini bermula dari adanya sebuah kandang ayam milik PT. Sinar Ternak Sejahtera (PT.STS) yang merugikan masyarakat. Masyarakat desa Cibetus Padarincang mengalami berbagai dampak kesehatan seperti pernafasan dan sakit kulit, serta bau tidak sedap dan menyengat dari blower kandang ayam yang dimiliki oleh PT. STS. Warga sebelumnya telah melakukan berbagai upaya yakni aksi di kandang ayam maupun berkomunikasi dengan berbagai pihak. Namun, karena tidak kunjung mendapatkan hasil yang memuaskan dan cenderung stagnan, maka terjadi eskalasi dan kemarahan warga memuncak sehingga terjadi peristiwa pembakaran kandang ayam milik PT. STS. Atas hal tersebut, terdapat delapan poin yang kami soroti, yakni:

Pertama, kami menduga adanya praktik unfair trial agar tidak dilakukan pendalaman lebih lanjut mengenai penyiksaan dalam kasus ini. Pengabaian ini terjadi baik dalam proses sidang pokok perkara yakni perkara nomor 228/Pid.B/2025/PN.Srg, 229/Pid.B/2025/PN.Srg, 244/Pid.B/2025/PN.Srg, maupun 302/Pid.B/2025/PN.Srg tidak mengindahkan kepentingan klien dengan melempar proses persidangan dengan unfair trial seharusnya dilakukan melalui proses praperadilan. Dalam praperadilan Nomor 5/Pra.Pid/2025/PN.Srg, manipulasi serupa terjadi: sidang yang seharusnya dilakukan dengan cepat (speedy trial), ditunda selama tiga minggu, yakni sejak 21 Maret 2025 sampai 14 April 2025 dengan alasan libur lebaran. Padahal, libur resmi pemerintah hanya pada tanggal 28 Maret 2025 sampai dengan 7 April 2025 (https://setkab.go.id/pemerintah-tetapkan-hari-libur-nasional-dan-cuti-bersama-tahun-2025/), Hal ini menunjukkan bahwa penundaan sidang praperadilan terlalu mengulur waktu dan mengada-ngada untuk mensetting sidang agar segera masuk ke pokok perkara.

Kedua, tidak profesionalnya Polri khususnya Polisi Daerah (Polda) Banten yang mangkir dari sidang praperadilan membuat sidang praperadilan dengan nomor perkara 5/Pra.Pid/2025/PN. Srg  ditunda. Aparat kepolisian lari dari tanggung jawabnya di persidangan, dimana sidang yang seharusnya dapat digunakan warga cibetus untuk mendapatkan keadilan berubah menjadi permainan birokrasi dan menghambat proses peradilan atau menghindari pemeriksaan, yang dalam doktrin hukum sering dikaitkan dengan bad faith litigation.

Ketiga, tidak diindahkannya proses penyiksaan berupa kekerasan atau ancaman verbal, mata dilakban, pemukulan dengan tangan kosong maupun menggunakan alas kaki, ditendang di bagian tubuh tertentu, diinjak, ancaman pembunuhan dengan menggunakan senjata api, dan dibiarkan di ruangan berpendingin AC dengan suhu terendah selama berjam-jam dalam kondisi sedang beribadah puasa yang dilakukan terhadap terdakwa dan  ditujukan untuk mendapatkan pengakuan oleh hakim pemeriksa perkara nomor 228/Pid.B/2025/PN.Srg, 229/Pid.B/2025/PN.Srg, 244/Pid.B/2025/PN.Srg, maupun 302/Pid.B/2025/PN.Srg. Namun, putusan pengadilan justru mengesampingkan keterangan terdakwa di persidangan dan berpegang pada keterangan versi BAP yang tercemar penyiksaan. Padahal, Pasal 117 KUHAP menegaskan keterangan harus diberikan tanpa tekanan, dan Pasal 183 KUHAP mewajibkan hakim hanya memutus jika yakin berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Meski terdakwa telah mencabut keterangannya, hakim tetap menjadikannya acuan.Hakim pemeriksa perkara seharusnya mengesampingkan atau membatalkan keterangan dalam BAP sebagai alat bukti karena pada pokoknya keterangan dalam BAP hanya dapat diberikan secara sukarela, tanpa tekanan atau paksaan baik fisik maupun psikis.

Keempat, hakim pemeriksa perkara juga tidak mengindahkan fakta bahwa terdakwa tidak diberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada saat penangkapan dan melanggar pasal 109 AYAT (1) KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU/XIII/2015. Pengabaian ini terjadi baik dalam proses sidang pokok perkara yakni perkara nomor 228/Pid.B/2025/PN.Srg, 229/Pid.B/2025/PN.Srg, maupun 244/Pid.B/2025/PN.Srg 

Kelima, Hakim tidak boleh berperilaku diskriminatif sebagaimana tercantum dalam bagian 6 huruf b Code of Conduct for the Judges of United Nations Dispute Tribunal and The United Nations Appeals Tribunal. Hakim harus menjunjung tinggi dan menghormati prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Namun kenyataannya, dalam proses persidangan, hakim pemeriksa perkara memberikan kesempatan lebih terhadap saksi JPU yang mangkir di persidangan untuk hadir di persidangan berikutnya. Padahal, pemberian kesempatan yang sama tidak pernah terjadi ketika kuasa hukum mengajukan saksi di persidangan. Justru, dalam perkara Nomor 244/Pid.B/2025/PN.Srg, hakim pemeriksa perkara mengatakan bahwa sidang harus dilaksanakan dengan cepat untuk menghindari habisnya masa tahanan. Padahal, apabila merujuk pada Pasal 152 ayat (1) KUHAP, hakim memiliki kewajiban untuk memimpin sidang dengan cermat, tertib, dan memberi kesempatan yang layak bagi terdakwa dan penuntut umum untuk menyampaikan keterangan dan pembelaannya. Hal akan berdampak pada tidak maksimalnya seluruh pihak dalam merumuskan berkas perkara dan berdampak pada keadilan terhadap terdakwa. Tindakan ini jelas tidak sesuai dengan asas peradilan yang baik sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP maupun Code of Conduct for the Judges.

Keenam, hakim pemeriksa perkara khususnya nomor 228/Pid.B/2025/PN.Srg dan 229/Pid.B/2025/PN.Srg  tidak mempertimbangkan Pasal 66  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditujukan untuk melindungi partisipasi publik dalam mengawasi dan memperjuangkan kelestarian lingkungan. Selain itu, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 atau Perma 1/2023, khususnya dalam Pasal 78(1) menyebutkan mengenai pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan oleh hakim dalam memutus, yakni salah satunya dalam Pasal 78 (1) bagian d yang berbunyi “hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sehingga hakim seharusnya mempertimbangkan tindakan yang dilakukan terdakwa sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Ketujuh, hakim dalam perkara 244/Pid.B/2025/PN.Srg dinilai tidak cermat saat menolak status terdakwa sebagai pejuang lingkungan, dengan beralasan bahwa masih tersedia alternatif tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78(3) huruf a. Dalam pemeriksaan saksi yakni Muniroh, warga telah beberapa kali melakukan protes mengenai perusahaan, mulai dari melakukan aksi di jalan, melakukan pertemuan dengan Bupati, Kapolres, serta dikunjunginya rumah tempat tinggal saksi oleh Dinas Pertanian, Kehutanan hingga Perikanan yang juga diikuti oleh Kepala Kecamatan dan Kepala Desa. Dimana, kejadian pembakaran peternakan ayam milik PT.STS tanggal 24 November 2024 dapat dihindari apabila aparat pemerintahan setempat tidak lalai serta mengambil sikap responsif dan berkeadilan dalam rangka menyelesaikan persoalan dugaan pencemaran lingkungan hidup sebagai akibat dari beroperasinya peternakan ayam tersebut

Kedelapan, Penuntut umum menolak memberikan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penasihat hukum maupun terdakwa. Padahal, kewajiban untuk memberikan dokumen berkas perkara sebagaimana dituangkan dalam Pasal 72 KUHAP. Pada prinsipnya, dokumen tersebut merupakan bagian penting dari hak pembelaan dan transparansi proses peradilan. Penolakan ini tidak hanya menghambat akses terhadap informasi yang esensial untuk mempersiapkan pembelaan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip fair trial serta ketentuan dalam KUHAP yakni hak pembelaan sebagaimana Pasal 54 KUHAP.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak agar:

  1. Komnas HAM untuk melakukan fungsi pemantauannya dengan melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia,   karena dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM yakni Penyiksaan dan Unfair Trial yang  yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;

  2. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap Majelis Hakim pemeriksa perkara 228/Pid.B/2025/PN.Srg, 229/Pid.B/2025/PN.Srg, 244/Pid.B/2025/PN.Srg, dan 302/Pid.B/2025/PN.Srg serta menyelidiki adanya dugaan pelanggaran etik;

  3. Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;

  4. Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan;

  5. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)untuk melakukan proses etik dan hukum terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jakarta, 14 Agustus 2025
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Narahubung:

KontraS (08176453325)
LBH Pijar (081398463484)

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan