Refleksi 2009 dan Proyeksi Papua 2010
PENEGAKAN HAM DI PAPUA MENURUN DRASTIS

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan bersama Perwakilan Komnas HAM Papua menilai telah terjadi penurunan drastis terhadap situasi HAM di Papua. Negara masih mengabaikan perlindungan kesetaraan warga, penghormatan martabat manusia serta supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan dan keadilan makin jauh dirasakan orang Papua.

Sepanjang 2009, kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mendeskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis. Kriminalisasi atas warga yang mengibarkan bendera, pembubaran demonstrasi damai hingga penembakan terhadap Kelly Kwalik adalah cermin absennya kemauan untuk dialog di masyarakat. Para aktivis juga masih diawasi dan terkadang diintimidasi, saat menginvestigasi ke lapangan, mengadakan pertemuan dengan diplomat dan perwakilan organisasi internasional atau sekadar mengadakan pertemuan.

Kasus penembakan yang berujung kepada matinya tokoh pembebasan Papua, Kelly Kwalik mengulangi penembakan Abdullah Syafei dan itu adalah pengalaman kegagalan negara menyelenggarakan demokrasi. Menuduh Kwalik dan organisasinya sebagai ekstremis garis keras yang harus bertanggung jawab untuk setiap jengkal kasus konflik di Papua adalah sebuah tuduhan berlebihan.

Pemerintah seharusnya lebih sadar untuk menghadapi situasi Papua. Kelompok ini (Kelly Kwalik) adalah kelompok insurgensi berskala kecil. Sementara gerakan pro-perdamaian dalam penyelesaian Papua jauh lebih besar, dan sayangnya, hal ini masih diabaikan. Bahkah masih harus berhadapan dengan pendekatan militer dan pengawasan intelijen hingga represi.

Kekerasan Papua tak pernah berakhir karena beragam faktor, utamanya ketidakadilan meski kebijakan operasi militer telah dicabut sejak tahun 1998. Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga asli Papua sebagai akibat dari politik pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal yang dipraktikkan sejak tahun 1970 masih menjadi corak khas yang memenuhi daftar persoalan Papua hingga kini.

Pemerintah perlu memperhatikan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Papua Road Map (2009), yang menyimpulkan bahwa kegagalan pembangunan tidak saja bertumpu pada satu dimensi permasalahan semata, melainkan menjalar pada sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan perekenomian masyarakat.

Sudah sepatutnya pemerintah pusat konsisten dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi tanpa diskriminasi. Upaya mengedepankan dialog adalah komitmen yang harus diwujudkan bersama. Mewujudkan perdamaian di tanah Papua bukan tidak bisa diraih. Jika Presiden SBY teguh pada retorika demokrasinya, maka orang Papua tidak menjadi sasaran operasi keamanan bertubi-tubi.

Di sisi lain, identitas Papua tak lagi mendapat penghormatan penuh karena ekspresi damai bendera kian dilihat sebagai tindakan melawan hukum. Padahal itu bagian dari penghormatan kebudayaan serta manifestasi hak sipil politik setiap orang. Bahkan jika hal tersebut berisi keinginan untuk dapat hak menentukan nasib sendiri yang dijamin Konvensi Hak Sipil Politik dan hak Ekonomi Sosial Budaya. Meski Pemerintah menolak, hal itu tidak bisa dijadikan alasan sebagai tindakan kriminal dan disikapi dengan kekuatan dan kekerasan.

Masyarakat Papua juga belum bisa merasakan secara langsung eksistensi negara dalam wujud pelayanan publik yang optimal. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menata kebijakan yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat Papua secara luas. 

Data yang dihimpun oleh Fransiskan International menunjukkan, pada tahun 2004 sebanyak 80 persen penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Selain itu, sebanyak 36,1 persen warga di daerah tersebut tidak memiliki akses fasilitas kesehatan.1 Kondisi ini kian diperparah dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam di sana yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Alih-alih beragam produk kebijakan yang ideal di atas kertas, justru memperuncing situasi ekonomi, sosial-politik Papua.

Menyoroti kehidupan kultural Papua, masyarakat adat di sana masih belum bisa merasakan praktik penghormatan terhadap ekspresi budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Jamaknya setiap perbedaan tentu bisa dirayakan dalam semangat kebersamaan, namun di sana ekspresi dari perbedaan itu dijawab dengan penolakan dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang harus dijawab dengan kekuatan eksesif. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah praktik penegakan hak asasi manusia. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik semakin mengental di sana. Salah satu faktor penyebab utama adalah pendekatan represif yang masih dipraktikkan oleh pemerintah. Tren kekerasan yang dilakukan secara luas (baik kekerasan vertikal maupun kekerasan horizontal), penangkapan sewenang-wenang, hingga pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan masih menjadi isu utama yang mewarnai pemberitaan di media massa luas.2

Inkonsistensi sikap dan tindakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dalam menerapkan Undang-undang Otonomi Khusus telah berakibat pada ketidakpercayaan rakyat Papua. Secara ekonomi-sosial, target pembangunan dalam Otonomi Khusus juga  tak dirasakan oleh orang Papua. Kebijakan tersebut justru melahirkan kesenjangan sosial kian tinggi dan menyuburkan korupsi tanpa koreksi yang signifikan.

Tidak ada prioritas yang jelas terhadap pelaksanaan pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM di Papua. Hingga kini, belum ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua, sebagai kerangka hukum implementasi dari UU Otonomi Khusus Papua.

Kami meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan prioritas perhatian untuk rakyat Papua. Janji kesejahteraan, demokrasi dan keadilan yang menjadi tiga pilar program pemerintahan SBY harus bisa dirasakan langsung oleh rakyat Papua

 

Jakarta, 15 Januari 2010

 

Usman Hamid Mathius Murib  Oslan Purba
Koordinator KontraS Perwakilan Komnas HAM Papua  Sekretaris Federasi KontraS

1 Lihat: Otsus Papua Perlu Dievaluasi, Kompas, 14 Februari 2009.

2 Lihat: Surat Terbuka atas Pengabaian Kasus Penyalahgunaan Wewenang Polisi di Kabupaten Nabire, Papua. KontraS – Amnesty International, 30 November 2009.

Lampiran :

Monitoring KontraS, 2009

Rangkaian Peristiwa Kekerasan di Papua
Periode Oktober, Nopember, Desember 2009

Kasus Pengibaran Bendera Bintang Kejora

  1. 16 Nopember 2009 : Polisi menangkap tiga orang yang diduga melakukan pengibaran bendera bintang kejora di halaman kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Polisi menduga seorang yang bernama Sem Yaru, Mantan Tahanan Politik memprovokasi peristiwa itu.
  2. 1 Desember 2009 : 13 (tigabelas) warga sipil yang melakukan demontrasi damai memperingati ulang tahun Papua Merdeka di tangkap oleh kepolisian Resort Jayapura. Alasan penangkapan para demonstran tersebut adalah pembentangan spanduk bendera bintang kejora dan tidak memiliki ijin dari kepolisian. Selain di depan showroom mobil di Polimak, Jayapura, Demonstrasi memperingati ulang tahun Papua Merdeka juga dilakukan di rumah  Ketua Presidium  Dewan Papua Theys Hiyo Eluay (Almarhum) di Sentani, di depan gapura meseum budaya expo waena dan kampus universitas cenderawasih di waena, Abepura.   
  3. 1 Desember 2009 : Seorang warga yang bernama Septinus Humere ditangkap oleh kepolisian Resort Biak karena mengibarkan bendera bintang kejora di halaman rumahnya.

 

Konflik Antar Warga

  1. 1 Oktober 2009 : Bentrokan antar warga di Timika Papua yang mengakibatkan 5 warga mengalami luka. Mereka yang terluka adalah, marianus Yanem (terluka di pipi) Pieter Beanal terluka dipelipis kiri dan memar di wajah), Yogi Anggabaik (memar diwajah), Yuliana Mamukang (terluka akibat tembakan senapan angin) dan Ana Kwalik (luka di kepala akibat lemparan batu). Bentrokan ini terjadi dipicu oleh ketegangan antara Marianus dan Pieter dengan penduduk sekitar.
  2. 6 Januari 2010 : Konflik antar warga di Kelurahan Kwamki Lama, Timika kembali terjadi. Pemicu konflik diduga bersumber dari perselisihan antar warga. untuk menghentikan pertikaian, pihak kepolisian sudah menurunkan personilnya untuk mengamankan daerah itu.

Penganiayaan Tahanan

  1. 27 Nopember 2009 : seorang narapidana politik, Buchtar Tabuni dikeroyok oleh tiga tahanan titipan oditur militer yang berpangkat prajurit satu dan prajurit dua serta seorang tahanan polisi. Akibatnya, Buchtar mengalami luka di dagu, kepala dan mulut. Pengeroyokan tidak dapat diatasi karena petugas jaga LP saat itu sedang mabuk berat. Akibat peristiwa ini, rekan-rekan Buchtar  sesama tahanan rutan mengamuk dan mengejar para pelaku, mereka juga merusak kantor LP dan memecahkan lima Komputer milik LP.

Penembakan

  • 20 Oktober 2009 : Penembakan yang dilakukan oleh kelompok tidak dikenal terjadi di areal kerja PT. Freeport Indonesia terhadap iring-iringan bus karyawan yang berangkat kerja ditembak ketika melintasi mile 42 dan 43 sekitar pukul 09.30. akibat insiden itu dua karyawan Freeport terluka
  • 21 Oktober 2009 : Penyerangan terhadap bus karyawan PT Freeport Indonesia di Timika kembali terjadi. Kelompok bersenjata menembaki konvoi bus karyawan di mil 42 jalan Timika-Tembaga Pura yang mengakibatkan tiga karyawan PT. Freeport tertembak. Insisden penembakan di sekitar PT Freeport berkali-kali terjadi sejak pertangahan Juli lalu. Penembakan semacam ini pertama terjadi pada 11 Juli 2009 yang menewaskan Drew Nicholas Grant  karyawan PT. Freeport.
  • 28 Oktober 2009 (Indopost)—tersiar kabar adanya penembakan di kali Kopi. Menurut kabidhumas polda papua Kombes pol Dres Agus Ryanto mewakili Kapolda Papua Irjen Pol Drs Bagus Ekodanto menjelaskan penembakan terjadi di sekitar Mile 37 Kali Kopi pukul 15.00. korban Junaidi merupakan personel kopassus yang baru bertugas selama 3 bulan.
  • 16 Desember 2009 : Tokoh Pembebasan Papua, Kelly Kwalik ditembak oleh Kepolisian dari satuan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Klik Kwalik ditembak disebuah rumah di Kwamki Lama, Mimika dan dalam perjalan menuju rumah sakit Kuala Kencana kwalik meninggal dunia akibat luka tembak. Klik Kwalik menjadi DPO Polisi setelah serangkain aksi penembakan terjadi di wilayah pertambangan PT. Freeport, Timika di tahun 2009. Pihak TNI dengan gencarnya menuduh bahwa Klik Kwalik yang paling bertanggungjawab atas rangkaian penembakan di kawasan pertambangan itu. Selain menembak Kwalik, Tim Densus 88 juga menangkap lima orang lainnya yang dicurigai menjadi pengikut Klik Kwalik.
  • 19 Desember 2009 : Dua warga Kota Jayapura menjadi korban penembakan di depan pagar perbatasan Indonesia – Papua Nugini (PNG) Skow – Wutung, Jayapura. Seorang warga yang menjadi korban bernama Muksin Abdul meninggal dunia akibat penembakan oleh orang tak dikenal, sedangkan seorang lainnya Fadly mengalami luka tembak dibagian punggung dan dirawat di Rumah Sakit.
Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan