26 tahun telah berlalu, kami menyayangkan sikap pemerintah yang setengah hati dalam memenuhi hak-hak para korban pelanggaran berat HAM Peristiwa Simpang KKA.

 

Peristiwa berdarah Simpang KKA terjadi di Dusun Simpang III KKA, Desa Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Provinsi Aceh. Hingga hari ini,Pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.

Murtala, Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA), sekaligus salah seorang korban pada peristiwa itu, menyatakan bahwa belum terwujudnya pemenuhan hak-haknya korban merupakan bukti bahwa pengabaian dan impunitas negara berlanjut hingga kini. Jangankan untuk pembangunan sebuah "Museum Tragedi Simpang KKA" yang diharapkan oleh para korban sebagai bentuk memorialisasi. Untuk pemberdayaan dan pemulihan ekonomi korban, pendidikan anak-anak korban, Jaminan Kesehatan, Jaminan hari tua, atau pengangkatan sebagai PNS, dan lain sebagainya, para korban dan keluarga korban Simpang KKA saja belum menerimanya sebagaimana dijanjikan," ujar Murtala.

Peristiwa Simpang KKA adalah sebuah peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat yang terjadi pada Senin, 03 Mei 1999. Saat itu, pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembaki massa yang tengah berunjuk rasa lantaran ada insiden penganiayaan warga yang terjadi sebelumnya di desa Lancang Barat, Kemukiman Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Peristiwa penembakan atas kerumunan massa tersebut terjadi pada pukul 12.30 WIB. Sedikitnya, 21 orang meninggal dunia dan kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka dalam peristiwa berdarah tersebut. Namun, sampai sekarang, belum ada upaya serius Pemerintah guna penyelesaian secara hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. Peristiwa ini ditetapkan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM pada 14 Juni 2016 berdasarkan hasil penyelidikan pro-yustisia, sebagaimana mandat ini diatur dalam Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sudah kita ketahui bersama, pada 1 Januari 2023, Presiden Joko Widodo kala itu, mengakui peristiwa Simpang KKA 1999 sebagai salah satu dari 12 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia untuk dilakukan penyelesaiannya secara non-yudisial. Kala itu, Pemerintah Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (PPHAM) dan dilanjutkan dengan Instruksi Presiden (Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Tim PPHAM yang dibentuk oleh Jokowi saat itu telah melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan korban sekaligus verifikasi data terhadap korban Simpang KKA pada 27 September 2023 di kantor Bupati Aceh Utara. Namun sangat disayangkan, tindak lanjut dari pengambilan data tersebut berupa pemulihan hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa Simpang KKA tidak pernah dilakukan hingga hari ini.

Pada peluncuran program pemulihan atau Kick-Off Implementasi Rekomendasi Tim PPHAM oleh Presiden Jokowi di Tapak Sejarah Reumoh Geudong, hanya 10 orang korban Simpang KKA yang diundang dan telah mendapat rekomendasi. Padahal, sebelumnya Murtala bersama dengan beberapa aktivis kemanusiaan telah mendatangi kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk mendiskusikan terkait dengan korban dan keluarga korban Simpang KKA. Kala itu, Ketua Tim PPHAM, Makarim Wibisono menemui kami dan dalam diskusi singkat tersebut ia menyampaikan bahwa semua korban akan diundang pada acara Kick-Off di Rumoh Geudong. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kami menegaskan bahwa korban peristiwa Simpang KKA bukanlah 10 orang saja. Kami menuntut Pemerintah agar jangan berbohong dan bersikap seakan-akan Negara telah memenuhi kewajibannya dalam penyelesaian peristiwa Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia ini. Tidak! Sampai saat ini hak-hak kami tidak pernah dipenuhi oleh negara.

 

Lebih lanjut, Murtala menegaskan bahwa para korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA) masih terus berjuang dalam menanti kebenaran dan keadilan. Selain penyelesaian hukum untuk menuntut pertanggungjawaban dari pelaku dan pemulihan korban, negara juga bertanggungjawab untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan merawat ingatan kolektif masyarakat mengenai peristiwa Simpang KKA. Mereka berharap adanya penyelesaian secara adil dan menghargai martabat korban. Maka hari ini, dalam momentum 26 Tahun Peristiwa Simpang KKA, FK3T-SP.KKA mempertanyakan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat Peristiwa Simpang KKA yang mereka alami.

 

Kami juga menaruh harapan besar kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara untuk dapat menerbitkan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati agar setiap tanggal 03 Mei dapat diperingati untuk mengenang dan mengingat terjadinya Peristiwa Simpang KKA serta mengalokasikan dana tetap untuk memorialisasi Peristiwa Simpang KKA pada 03 Mei Sebagai implementasinya, kami berharap Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dapat menerbitkan instruksi khusus untuk setiap instansi agar menghentikan aktivitas sementara pada pukul 12.30 WIB untuk sejenak berdo'a untuk para syuhada yang menjadi korban peristiwa Simpang KKA.

Selain itu, Sekretaris FK3T-SP.KKA, Yusrizal, menilai 26 tahun Peristiwa Simpang KKA, menjadi refleksi bahwa negara telah abai dalam pemenuhan hak-hak korban, terutama hak atas kebenaran.

"Mekanisme peradilan itu seharusnya diwujudkan dalam kenyataan, tetapi sampai sekarang tiga tahun setelah Keppres dan Inpres itu, belum ada titik terang," tambah Yusrizal. Keppres dan Inpres PPHAM seakan menjadi kebijakan formalitas semata untuk mengesankan adanya pertanggungjawaban negara, yang justru pada kenyataannya tidak memberikan korban keadilan dan tidak mengungkap kebenaran akan peristiwa yang terjadi.

Yusrizal berpendapat bahwa pemulihan hak-hak korban pelanggaran berat HAMharus tetap berlanjut meski berganti Presiden. Hal ini karena masih ada korban dan keluarga korban yang belum mendapatkan hak mereka sepenuhnya. “Pemulihan hak korban iniangan

sampai terhenti, sebab belum selesai, belum semua korban mendapatkan pemulihan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Presiden sebelumnya dan itu harus dituntaskan," ucapnya.

 

Lebih lanjut, Murtala juga menilai jika Pelanggaran Berat HAM tidak diselesaikan secara berkeadilan dan tanpa pengungkapan kebenaran, maka itu akan melanggengkan impunitas. “Kenapa saya katakan demikian? Lihat saja bahwa adanya Tim PPHAM semakin mengaburkan siapa pelaku pelanggaran berat HAM termasuk Simpang KKA, karena di dalamnya tertulis orientasi fokus pemerintah hanya pada pengakuan peristiwa dan pemulihan. Jadi, pengakuan peristiwa dan pemulihan korban saja, tapi meniadakan pelaku," tandas Murtala.

 

Pengakuan Presiden kala itu mengenai 12 peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia juga bermasalah dalam dua hal. Pertama, hasil penyelidikan pro-yustisia dan penetapan suatu peristiwa sebagai pelanggaran berat HAM seharusnya sudah cukup dilakukan oleh Komnas HAM, tanpa perlu adanya pengakuan lagi oleh Presiden. Hal ini lantaran wewenang Komnas HAM tersebut telah dengan tegas diatur dalam Pasal 18 UU Pengadilan HAM. Pengakuan presiden tersebut seakan mereduksi dan mendelegitimasi kerja-kerja Komnas HAM dan UU Pengadilan HAM. Kedua, pengakuan atas 12 peristiwa tersebut pun mengesampingkan adanya empat peristiwa lain yang sudah dibawa ke Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc, namun tidak memberikan korban keadilan.

 

Maka dalam momentum 26 tahun Peristiwa Simpang KKA kami menuntut:

  1. Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Pro-Yustisia kasus Simpang KKA 1999 yang telah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke tahap penyidikan dan penuntutan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 21 dan 23 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan; dan
  3. Pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban Peristiwa Simpang KKA 1999 atas pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk dengan melakukan memorialisasi atas peristiwa tersebut.

 

Aceh Utara, 03 Mei 2025

 

1.     Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA)

2.     Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)

3.     Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Aceh (KontraS Aceh)

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan