Kamis, 11 September 2025, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang diwakili oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kalyanamitra, dan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia IPTI), serta individu yang terdiri atas keluarga korban pelanggaran berat HAM Peristiwa Mei 1998 yaitu Kusmiyati selaku perwakilan Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998, Marzuki Darusman selaku Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Ita F. Nadia selaku pendamping korban perkosaan Mei 1998, serta Sandyawan Sumardi selaku Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan, telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI.
Gugatan ini merespons pernyataan Fadli Zon dalam siaran pers Kementerian Kebudayaan (No. 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025) tertanggal 16 Mei 2025 dan unggahan media sosial 16 Juni 2025, yang pada pokoknya mendelegitimasi laporan TGPF karena tidak didukung bukti kuat dan mengandung istilah yang masih “problematik”. Pernyataan ini mempertegas klaim sebelumnya yang disampaikan Fadli Zon dalam wawancara “Real Talk” IDN Times pada 10 Juni 2025, yang meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998.
Sebelumnya pada 15 Juli 2025, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas telah berupaya untuk mengajukan keberatan administratif kepada Kementerian Kebudayaan RI yang kemudian disusul 29 Juli 2025 kami mengajukan kembali banding administratif ke Presiden RI dikarenakan tidak terdapat satupun jawaban yang diberikan oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan RI atas pernyataan problematik yang tidak hanya melukai perasaan korban dan keluarga korban kasus Peristiwa Mei 1998, namun juga memperlihatkan upaya manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Peristiwa Mei 1998.
Koalisi menilai bahwa objek gugatan a quo sebagai bagian dari tindakan administratif Pemerintahan oleh Fadli Zon bertentangan dengan sejumlah Peraturan Perundang-undangan, Prinsip AUPB, maupun Hak Asasi Manusia bahkan telah memperlihatkan tindakan yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan selaku Menteri Kebudayaan RI dengan uraian sebagai berikut:
-
Pelanggaran terhadap UU Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014)
Pernyataan Fadli Zon dinilai melanggar asas perlindungan HAM dan prinsip-prinsip AUPB, serta melebihi kewenangannya sebagai Menteri Kebudayaan sesuai Perpres No. 190 Tahun 2024. Dalam hal ini, sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon sejatinya tidak berwenang mengeluarkan penilaian yang menyangkut hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat.
Dalam kerangka penuntasan pelanggaran berat HAM di Indonesia termasuk kasus Peristiwa Mei 1998, tentu sudah menjadi pengetahuan bahwa yang seharusnya memiliki wewenang baik penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan, maupun pengusulan dan pembentukan peradilannya, adalah Jaksa Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Presiden Republik Indonesia, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga, apa yang dilakukan melalui tindakan administrasi pemerintahan oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan RI jelas telah melampaui kewenangannya.
-
Bertentangan dengan UU HAM (UU No. 39/1999) dan UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000)
Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal keberadaan adanya perkosaan massal yang meluas jelas-jelas bertentangan dengan hasil penyelidikan pro justicia yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia maupun yang telah dilakukan sejak awal oleh Tim TGPF, maupun Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Tindakan ini juga dapat ditafsirkan sebagai obstruction of justice atau penghalang-halangan terhadap proses hukum menggunakan kekuasaan karena memberikan informasi yang diduga keras mengandung kebohongan (bedrog) atau false information terkait Peristiwa Mei 1998 padahal proses penyelidikan-penyidikan masih berlangsung.
-
Bertentangan dengan UU TPKS (UU No. 12/2022)
Pernyataan Menteri Kebudayaan juga dinilai telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) . Pernyataan Fadli Zon yang menihilkan data hingga fakta-fakta terjadinya perkosaan massal dalam kasus Peristiwa Mei 1998 bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 2 UU TPKS dalam hal penghargaan atas harkat dan martabat manusia, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan hingga kepastian hukum. Alih-alih menjamin ketidakberulangan perkosaan massal, objek gugatan a quo justru semakin menihilkan kebenaran perkosaan massal 1998 yang berdampak menciptakan lingkungan yang diskriminatif dan mentolerir atau mewajarkan perkosaan massal yang terjadi di Mei 1998 yang merupakan kekerasan berbasis gender struktural. Hal ini akan memberikan dampak buruk yang semakin melegitimasi normalisasi lingkungan diskriminatif dan kekerasan struktural yang selama ini terjadi pada perempuan, selain itu juga melakukan pengingkaran dan menyalahkan korban adalah bentuk reviktimisasi khususnya perempuan Tionghoa-Indonesia.
-
Bertentangan dengan Konvensi CEDAW (UU No. 7/1984)
Pernyataan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (“CEDAW”) khususnya dalam Pasal 2 CEDAW. Penyangkalan data, maupun fakta tentang kekerasan seksual termasuk perkosaan massal Mei 1998 oleh Fadli Zon sebagai Pejabat Negara merupakan bagian dari tindakan atau praktik diskriminasi (by commision) terhadap perempuan dan menciderai hak-hak korban perkosaan massal sebagaimana yang diatur dalam CEDAW sebagai konvensi internasional. Alih-alih semakin menghadirkan luka bagi korban dan keluarga korban, seharusnya Fadli Zon sebagai pejabat negara setidak-tidaknya dengan rasa empatinya bisa ikut mendorong agar proses reparasi dan jaminan ketidakberulangan dapat dijamin sepenuhnya oleh Negara dan lembaga-lembaga yang berwenang, tidak dengan menunjukan perilaku stereotip yang akan menjauhkan para korban dari akses keadilan yang sedang diupayakan dan masih terus berjalan hingga kini
-
Bertentangan dengan UU No. 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (“CAT”) .
Dalam Pasal 21 Komentar Umum Nomor 2 CAT menjelaskan mengenai perlindungan terhadap individu atau kelompok minoritas maupun terpinggirkan yang secara khusus berisiko mengalami penyiksaan merupakan bagian dari kewajiban untuk mencegah penyiksaan atau perlakuan buruk. Negara Pihak harus memastikan bahwa, sejauh berkaitan dengan kewajiban yang timbul dari Konvensi, hukum mereka dalam praktik berlaku bagi semua orang, tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, usia, keyakinan atau afiliasi agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal kebangsaan atau sosial, gender, orientasi seksual, identitas transgender, disabilitas mental atau lainnya, status kesehatan, kondisi ekonomi atau status sebagai masyarakat adat. Dengan penyangkalan yang terus dilanggengkan oleh seorang Fadli Zon, Ia sebagai bagian dari Negara dalam hal Menteri Kebudayaan RI, tidak hanya menjauhkan para korban dari akses keadilan dan pemulihan yang seharusnya, namun telah menunjukan perlakukan buruk yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat perempuan korban etnis Tionghoa serta menihilkan kerja-kerja relawan atau pembela hak asasi manusia yang mendampingi para korban perkosaan massal Mei 1998.
Koalisi menilai pernyataan Fadli Zon telah melampaui kewenangannya sebagai pejabat publik dan bertentangan dengan hukum nasional maupun konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Selain mengaburkan kebenaran sejarah, pernyataan ini juga menjadi bentuk pengingkaran terhadap penderitaan korban, serta memperburuk proses keadilan yang tengah diupayakan. Lebih lanjut, tindakan Menteri Kebudayaan bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance), dalam hal ini Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang dimaksud adalah asas kepastian hukum, asas kecermatan maupun asas ketidakberpihakan.
Selain itu pada hari ini, kami juga telah mengirimkan surat Permohonan Penunjukan Seluruh Majelis Hakim yang Perempuan dan Memiliki Perspektif Gender serta Keberpihakan terhadap Korban sebagaimana surat No 06/SK-KMS/IX/2025. Permohonan ini tidak semata-mata berfokus pada komposisi jenis kelamin dalam majelis hakim, melainkan merupakan bagian dari upaya menegakkan keadilan substantif, menghormati martabat korban, dan memenuhi kewajiban negara dalam melindungi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual terutama pada korban dan keluarga korban dalam peristiwa Mei 1998 yang telah menimbulkan penderitaan besar bagi perempuan, terutama korban perkosaan massal.
Oleh karena itu, berdasarkan berbagai penjelasan diatas, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dengan ini mendesak:
-
Menyatakan Tindakan Administrasi Pemerintahan yang dilakukan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan;
-
Menghukum Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI untuk meminta maaf karena Tindakan Administrasi Pemerintahan yang dilakukannya;
-
Menghukum Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI untuk menarik Tindakan Administrasi Pemerintahan yang dilakukannya.
Dokumentasi Submit Gugatan Fadli Zon: https://bit.ly/SubmitGugatanFadliZon
Jakarta, 11 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
-
KontraS
-
AMAR Law Firm and Public Interest Law Office
-
LBH Jakarta
-
YLBHI
-
Kalyanamitra
-
IPTI
-
LBH APIK Jakarta

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan