Pada Sabtu, 7 Oktober 2023, tepat satu tahun lalu tragedi kelam terjadi di Kalimantan Tengah. Aparat kepolisian gabungan melakukan tindakan brutal dan eksesif kepada masyarakat adat yang memperjuangkan haknya hingga menyebabkan satu orang meninggal dan satu lainnya mengalami luka berat. Diketahui bahwa kejadian tragis ini bermula ketika kepolisian sedang melakukan pengamanan dalam aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga dari Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Jatuhnya kedua korban tersebut diakibatkan oleh penggunaan senjata api lengkap dengan peluru tajam yang sengaja disiapkan pasukan Brimob dalam melakukan pengamanan. Kasus ini pun kembali menegaskan bahwa Kepolisian merupakan ‘alat’ pelindung korporasi di ribuan konflik agraria. 

Pada awal 2024, Polda Kalteng kemudian menetapkan satu orang tersangka yang disematkan kepada seorang perwira Brimob bernama Iptu Anang Tri Widodo (ATW) yang sehari-hari bertugas di Batalyon A Pelopor Brimob Polda Kalteng. Kemudian pada Juni 2024 majelis hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya melalui perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk memvonis ringan terdakwa Iptu ATW dengan yang menyatakan ia bersalah melanggar Pasal 359 KUHP dengan hukuman penjara selama 10 bulan. Selain peradilan yang sejak awal memang dirancang untuk gagal (intended to fail), putusan ini mencerminkan betapa buruknya penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM serius.

Kendati peradilan yang sejak awal memang dirancang untuk gagal, penghukuman terhadap satu orang pelaku yang merupakan aktor lapangan tidaklah cukup. Dalam proses persidangan, terungkap fakta bahwa Iptu ATW melakukan penembakan didasarkan atas perintah pimpinannya, yakni Ampi Mesias Von Bulow yang pada saat peristiwa terjadi merupakan Kapolres Seruyan. Dalam keterangannya di persidangan pada 28 Mei 2024 , Ampi membenarkan bahwa terdapat instruksi “bidik kepalanya” yang keluar dari barisan aparat kepolisian. Hal ini kemudian juga memicu tindakan penembakan yang dilakukan oleh Iptu Anang Tri Widodo didahului atas perintah. Namun, fakta tersebut tidak ditindaklanjuti oleh penyidik maupun penuntut umum untuk dikembangkan melalui proses penyelidikan dan penyidikan dengan membongkar aktor intelektualnya.

Selain itu, selama proses peradilan berlangsung kami melihat kegagalan penuntut umum sebagai representasi negara dan juga korban serta keluarga dalam memberikan keadilan. Hal itu misalnya dapat dilihat ketika tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengabaikan surat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor A.1663/R/KEP/SMP-LPSK/VI tahun 2024 tentang penilaian ganti rugi korban tindak pidana yang diajukan oleh Ibu Kandung alm Gijik senilai Rp. 2.273.043.500. Hal lainnya yakni mengenai tuntutan pidana 1 tahun penjara oleh tim JPU terhadap Iptu ATW menunjukan kegagalan jaksa menegakkan hukum dan melindungi warga negara. Selain karena sejak awal pasal-pasal yang didakwakan hanya dapat diancam dengan pidana maksimal 5 tahun, tuntutan jaksa terhadap Iptu ATW seolah-olah sedang membela Terdakwa agar divonis ringan. Semestinya, JPU hadir di persidangan sebagai representasi korban dan keluarga Alm Gijik dan Taufik untuk mendapatkan keadilan serta jaminan ketidak berulangan dengan cara menghukum berat terdakwa. Bukan justeru mengajukan hukuman ‘ala kadarnya’ yang terkesan melindungi Iptu ATW dari jerak hukum maksimal. Bahkan, terhadap putusan tingkat pertama, tim JPU tidak menyatakan banding atas putusan tersebut.

Dari kasus ini, kami menilai Negara melalui perangkat hukumnya seperti Polisi dan Kejaksaan telah gagal menghadirkan keadilan bagi korban. Para Polisi dan Jaksa seolah-olah telah bersekongkol dalam menutup-nutupi tindakan kejahatan yang pelakunya merupakan bagian dari ‘negara’ yakni anggota Brimob Polri. 

Atas hal tersebut, kami mendesak:

Pertama, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kabareskrim untuk mengusut lebih jauh terhadap aktor intelektual yang diduga kuat terlibat dan belum tersentuh Proses Hukum. 

Kedua, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kadiv Propam juga segera melakukan sidang etik dengan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Iptu Anang Tri Widodo.

Ketiga, Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan melakukan pemeriksaan dan menghukum tim Jaksa Penuntut Umum yang melakukan penuntutan termasuk mengabaikan surat permohonan restitusi yang dimohonkan keluarga melalui LPSK Republik Indonesia. 

 

 Jakarta - Palangka Raya, 7 Oktober 2024

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, WALHI Kalteng, PW AMAN Kalteng, Save Our Borneo, PROGRESS Kalteng, YBBI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Genta Keadilan

 

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan