Laporan Situasi Penyiksaan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia yang dipublikasikan pada 26 Juni 2024, hasil pemantauan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 60 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 92 orang menjadi korban di mana 14 di antaranya merupakan korban di bawah umur. Berdasarkan pemantauan tersebut Kepolisian tercatat menempati “klasemen” teratas dengan 40 peristiwa penyiksaan diikuti oleh TNI dengan 14 kasus dan sipir dengan 6 kasus.

 

Angka tersebut lebih tinggi dibanding angka pada periode tahun lalu, yang menunjukkan bahwa komitmen Indonesia terhadap penghapusan penyiksaan masih sangat minim. Perlu digaris bawahi bahwa berdasarkan Pasal 28I UUD 1945 hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights), ketentuan serupa juga termaktub dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, selain itu Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998  dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dua perjanjian internasional tersebut secara tegas mengatur bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun. Oleh karena itu, peristiwa penyiksaan yang masih terjadi merupakan bukti nyata pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.

 

Kondisi tersebut juga menunjukkan masih kentalnya kultur kekerasan di kalangan aparat dalam tubuh institusi keamanan serta penegakan hukum di Indonesia. Penyiksaan menjadi praktik buruk yang umum terjadi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Pada periode Mei-Agustus 2024, KontraS secara khusus melakukan pendampingan terhadap tiga kasus penyiksaan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yakni: (1) dugaan penyiksaan yang menyebabkan kematian terhadap Afif Maulana di Padang, (2) penyiksaan oleh terduga anggota TNI yang menyebabkan kematian terhadap Mikael H. Sitanggang di Medan, serta (3) penyiksaan oleh aparat Kepolisian kepada I Wayan Suparta di Klungkung, Bali. Pada ketiga kasus tersebut penyiksaan dilakukan oleh aparat sebagai bentuk penghukuman serta untuk mengejar pengakuan dari korban, padahal penyiksaan sebagai bentuk penghukuman serta sebagai alat untuk mengejar pengakuan telah dilarang dengan tegas dalam sistem hukum Indonesia.

 

Selain itu, pemantauan yang dilakukan KontraS pada Juni-Agustus 2024 menemukan adanya 9 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 29 orang terluka dan 1 orang tewas. 15 di antara 30 orang tersebut merupakan anak di bawah umur. Jika dirata-ratakan pemantauan KontraS menemukan setidaknya 10 orang menjadi korban penyiksaan setiap bulannya pada rentang Juni-Agustus 2024, menunjukkan adanya gejala normalisasi terhadap kekerasan oleh aparat.

 

Fenomena penyiksaan menjadi potret buruk penegakan hukum di Indonesia dan memunculkan urgensi bagi pemerintah untuk secara serius melakukan reformasi sektor keamanan di Indonesia. Praktik penyiksaan ini telah melanggar berbagai aturan hukum nasional dan internasional, termasuk UUD 1945 dan berbagai konvensi HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hasil pemantauan KontraS juga mengungkap adanya pola kekerasan yang mengakibatkan anak di bawah umur sebagai korban. Hal ini mengindikasikan adanya krisis serius dalam penegakan hukum di Indonesia, di mana kekerasan telah menjadi bagian dari kultur institusi keamanan.

Berdasarkan temuan tersebut, KontraS merekomendasikan:

Pertama, pengawasan dan akuntabilitas terhadap aparat penegak hukum, khususnya penjatuhan sanksi pidana dan etik kepada aparat yang terbukti melakukan penyiksaan.

Kedua, memberikan perlindungan yang komprehensif bagi korban penyiksaan, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan, hukum, dan psikososial.

Ketiga, melakukan reformasi menyeluruh terhadap sektor keamanan, termasuk perubahan paradigma dari pendekatan keamanan berbasis kekerasan menjadi pendekatan keamanan berbasis HAM.

Keempat, melakukan ratifikasi secara menyeluruh terhadap Perjanjian Internasional terkait penyiksaan khususnya Optional Protocol to the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT)


Jakarta, 12 Agustus 2024
Badan Pekerja KontraS


Andi Muhammad Rezaldy
Wakil Koordinator

Klik disini untuk melihat PPT selengkapnya
Klik disini untuk melihat siaran pers youtube

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio