Omon-omon Pasca Putusan MK dan Penetapan Prabowo Sebagai Presiden Terpilih : Akhir Dari Reformasi ?

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan #BicaraHAM dengan judul “Omon-Omon Pasca Putusan MK dan Penetapan Prabowo Sebagai Presiden Terpilih: Akhir Dari Reformasi?” pada 25 April 2024 di X Space. Pada dasarnya #BicaraHAM ini dilaksanakan sebagai repsons atas penetapan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

#BicaraHAM tersebut diselenggarakan oleh KontraS dengan mengundang beberapa narasumber antara lain: Titi Anggraini (Akademisi Universitas Indonesia), Feri Amsari (Akademisi Universitas Andalas), Alif Lathif (Ketua Umum BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan dipandu oleh Rozy Brillian Sodik (Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS).

Para narasumber yang terlibat dalam #BicaraHAM tersebut merupakan beberapa akademisi dan juga mahasiswa dari beberapa kampus di Indonesia. Setidaknya, sebagaimana yang telah diketahui, pada Rabu, 24 April 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah secara resmi menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakbuming Raka sebagai pemenang dalam Pemilihan Umum Presiden 2024. Penetapan Presiden dan Wakil Preisden terpilih ini dilakukan pasca dua hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutskan menolak perkara sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Senin, 22 April 2024 lalu.

Dalam #BicaraHAM tersebut, Rozy Brillian Sodik (Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS) mengawali diskusi dengan memberikan gambaran terkait dengan proses penetapan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2024. Selanjutnya, Rozy memberikan pertanyaan yang ditujukan kepada Alif Lathif (Ketua Umum BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia) terkait dengan respon putusan MK. Alif memandang bahwa putusan MK tersebut sejatinya memberikan harapan serta adanya dissenting opinion yang ada. Namun Alif melihat bahwa pembacaan putusan pemohon yang ditolak justru mengaburkan harapan yang sebelumnya telah terbentuk di kalangan mahasiswa. Tentu ini merupakan sebuah kekecewaan bagi kelompok mahasiswa.

Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan respon yang diberikan oleh Titi Anggraini (Akademisi Universitas Indonesia) yang menyebutkan bahwa dalam merespon putusan tersebut tentu Titi menghormati putusan tersebut dalam penegakan hukum pemilu. Tetapi sebagai pihak yang peduli pada demokrasi, itu merupakan hak kita untuk melakukan eksaminasi, kajian, hingga people tribunal. Dalam beberapa tahun kebelakang, Titi menilai bahwa MK banyak melakukan perbaikan dalam sisi prosedur, tetapi ternyata MK juga belum bisa keluar dari zona pragmatis terkait dengan penegakan keadilan substansial. Dalam putusan tersebut, Titi menilai terdapat kekosongan hukum dalam putusan tersebut yang mana MK memahami pelanggaran yang muncul tetapi hal tersebut justru di netralisir dengan tidak adanya peraturan yang melandasi pelanggaran tersebut yang pada akhirnya berimbas dengan tidak diputusnya pelanggaran oleh MK. Lebih lanjut, Titi menilai bahwa MK memahami terdapat adanya pelanggaran secara substansial, tetapi terbentur dengan mekanisme procedural terkait dengan tiadanya aturan yang mendasarinya.

Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan respon yang diberikan oleh Feri Amsari (Akademisi Universitas Andalas) yang menyatakan bahwa putusan MK tersebut sejatinya tidak memberikan kejutan kepada pihak-pihak terutama masyarakat sipil, karena hal tersebut dapat diketahui sejak awal. Feri menggarisbawahi terkait dengan permasalahan persidangan, dimana Feri menilai tidak diberikannya ruang untuk pemohon serta pihak terkait untuk memberikan pertanyaan kepada empat (4) Menteri yang dihadirkan dalam sidang sengketa tersebut. Lebih lanjut, Feri turut mempertanyakan terkait dengan bagaimana Menteri yang seharusnya hadir dalam sidang tersebut karena secara jelas menunjukkan praktik penyelewengan justru tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut.

Beberapa poin tersebut, turut ditambahkan oleh Feri bahwa MK tidak membahas suatu permasalahan yang esensial terkait dengan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Dimana Feri melihat bahwa pangkal permasalahan sebenarnya terdapat dalam putusan MK itu sendiri. Lebih lanjut, Feri juga membahas terkait dengan tidak terbuktinya praktik nepotisme dalam Pemilu 2024, yang mana Feri mencatat bahwa bagaimana cara MK tidak membuktikan nepotisme tidak terbukti, padahal secara jelas kita melihat bahwa terdapat paman, fans, dan lain sebagainya.

Diskusi ini ditutup dengan beberapa closing statement dari pembicara, yang mana Alif menyatakan harapan mahasiswa telah runtuk pasca MK menolak pemohon, bahwa secara tidak langsung MK telah melanggengkan praktik pelanggaran yang muncul. Selanjutnya, Feri menutup denga nada dua hal yang menimbulkan ketidakberanian: intelektual yag tidak jujur dan ketakutan karena betapa sangarnya lawan demokrasi. Selain hal tersebut, Feri menyatakan bahwa hak angket harus dijalankan dalam situasi dan kondisi seperti ini. Terakhir, Titi menutup dengan efek domino Pilpres akan berdampak pada pilkada di bulan November nanti, dimana kekosongan hukum yang ada pada Pilpres justru akan dinormalisasi pada Pilkada serentak nanti.

#BicaraHAM selengkapnya dapat didengan ulang pada link berikut:
https://twitter.com/i/spaces/1OdJrjpqMQQJX