Lembar fakta (factsheet) merupakan salah satu produk dari pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai upaya dalam memberikan informasi yang mudah dipahami. Lembar fakta membahas lebih jauh mengenai hasil pemantauan KontraS terhadap berbagai isu terkini dengan menampilkan visualisasi data terhadap isu tersebut.
Penggunaan Senjata Api oleh POLRI
Selama bulan Juli 2021 – Juni 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat sekitar 463 peristiwa tindakan penggunaan senjata api yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia (Polri). Institusi pelaku dalam 100 peristiwa penggunaan senjata api dilakukan oleh Kepolisian Sektor (Polsek), 330 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Resor (Polres), dan 33 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda). Korban dalam tindakan ini sebanyak 680 orang, dengan rincian 640 orang luka dan 40 orang tewas.
Dalam penggunaan senjata api sendiri, Polri memiliki kewenangan khusus, yang tertuang Peraturan Kapolri (Perkap) No.1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Salah satu poin yang disampaikan dalam Perkap tersebut antara lain bahwa penggunaan kekuatan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, dan masuk akal (reasonable).
Namun, realita di lapangan justru menunjukkan banyaknya tindakan penggunaan senjata api yang tidak terukur dalam kurun waktu setahun terakhir. Beberapa peristiwa salah tangkap yang dilakukan oleh Polri, tindakan penyiksaan, hingga tindak extra judicial killing menggunakan senjata api kerap dilakukan oleh Polri.
Penggunaan senjata api yang tidak terukur ini merupakan cerminan kegagalan Polri dalam mengidentifikasi akar permasalahan dari sebuah peristiwa, yang berujung pada tindakan sewenang-wenang dan reaktif. Disamping memiliki dampak terhadap hak atas hidup dan hak untuk melakukan pembelaan atas perkara yang dituduhkan, Polri seringkali mewajarkan tindakan tidak terukur tersebut atas nama ketertiban dan keamanan.
Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya
Rekayasa Kasus oleh Polri
Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, Mantan Kepala Divisi Propam Polri, kepada Brigadir J, yang masih dalam proses penyidikan hingga saat ini, mulai memunculkan berbagai fakta baru terkait adanya dugaan rekayasa kasus. Dalam upaya pengungkapan rekayasa kasus tersebut, terdapat 35 anggota polisi yang juga turut terlibat dalam rencana pembunuhan Brigadir J. Bahkan, sebelum fakta terbaru ini dibeberkan ke publik, narasi keliru terkait kasus pembunuhan berencana ini didengungkan oleh Kapolres Jakarta Selatan, Humas Polda Metro Jaya, hingga Kompolnas. Adanya usaha menutup-nutupi fakta rekayasa kasus secara sistemik dan terstruktur ini menunjukkan ruang permasalahan besar di dalam institusi Kepolisian, khususnya berkaitan dengan pengawasan.
Tindakan rekayasa kasus oleh Polri tidak hanya terjadi pada kasus pembunuhan berencana tersebut. Berdasarkan pemantauan KontraS selama tahun 2019-2022, terdapat 27 dugaan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Polri, yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Sebanyak 7 peristiwa rekayasa kasus dilakukan oleh anggota Polsek, 14 peristiwa dilakukan oleh anggota Polres, dan 6 peristiwa dilakukan oleh anggota Polda. KontraS juga melakukan pendampingan terhadap 4 peristiwa dugaan rekayasa kasus oleh Polri. Beda halnya dengan kasus Ferdy Sambo, Hasil pemantauan tersebut menemukan terkait rekayasa kasus yang dilakukan oleh Polri menunjukkan bahwa masyarakat sipil yang dominan menjadi korban rekayasa tersebut, seperti tindakan salah tangkap yang dilakukan oleh Polri kepada warga sipil disertai tindak kekerasan, upaya mendapatkan pengakuan dengan tindak penyiksaan, hingga penangkapan tanpa disertai surat tugas.
Padahal, Polri memiliki aturan yang rigid mengenai fungsinya dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka, yang termuat dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selain itu, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga untuk memaksa mendapatkan pengakuan juga mengabaikan hak asasi manusia untuk tidak disiksa dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Hak atas keadilan serta larangan atas penangkapan serta penahanan secara sewenang-wenang juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Banyaknya dugaan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Polri kepada masyarakat sipil disertai kekerasan, yang mengabaikan berbagai peraturan, baik secara nasional maupun internasional, menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal maupun eksternal pada kepolisian tidak berjalan secara efektif.
Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya

Tragedi Kanjuruhan
Pada tanggal 1 Oktober 2022, telah terjadi tragedi Kanjuruhan yang memakan 135 korban tewas. Hal tersebut terjadi karena adanya penembakan gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian ke arah penonton sehingga mengalami kepanikan massal dan menyebabkan bertumpuknya penonton yang melakukan evakuasi mandiri dengan kondisi pintu keluar yang minim serta ventilasi yang terbatas.
Polri pun telah menetapkan enam tersangka terkait tragedi Kanjuruhan tersebut, dan lima dari enam tersangka telah dinyatakan P-21 dan disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun selama sebelum hingga dalam proses peradilan, banyak terjadi kejanggalan-kejanggalan dalam proses pengungkapan kebenaran dalam tragedi tersebut.
Selain itu, tindak kekerasan kepolisian terhadap warga tidak hanya terjadi pada tragedi di Kanjuruhan. KontraS mencatat selama tahun Januari 2022 – Februari 2023 terdapat 750 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Peristiwa kekerasan itu terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, penggunaan gas air mata pada massa aksi, dan sebagainya. Akibat dari tindak kekerasan tersebut menyebabkan banyak elemen masyarakat mengalami berbagai dampak, seperti luka, tewas, tertangkap secara sewenang-wenang, serta mengalami intimidasi serta teror dari aparat kepolisian.
Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya

Kriminalisasi Fatia – Haris
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar merupakan aktivis hak asasi manusia yang mengalami kriminalisasi atas ekspresi dan pendapatnya. Keduanya dikriminalisasi oleh seorang pejabat publik dengan menggunakan Pasal karet dalam UU ITE setelah membahas riset yang dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan judul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Studi Kasus di Intan Jaya”. Dalam proses hukum yang berjalan, ditemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada adanya dugaan proses pemidanaan yang diapaksakan seperti proses mediasi yang diputuskan sepihak, diskriminatif dalam penanganan kasus hingga penetapan tersangka yang tidak berdasar.
Namun, bukan hanya Fatia-Haris yang mengalami tindak kekerasan sebagai aktivis pembela ham yang menyuarakan aspirasi publik. Berdasarkan pemantauan KontraS dari tahun 2021-2022, terdapat sekitar 230 tindak kekerasan terhadap aktivis pembela HAM yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia. Kekerasan tersebut meliputi tindak kriminalisasi, terror, pelarangan, penganiayaan, penembakan, dan lain sebagainya. Berbagai tindak kekerasan tersebut mengakibatkan 342 korban luka, 8 korban tewas, 121 korban mengalami penangkapan, dan 97 korban mengalami tindak intimidasi, teror, dan sebagainya.
Banyaknya kasus tersebut menunjukkan beberapa pola tindak kekerasan terhadap aktivis pembela HAM, yakni somasi oleh pejabat publik kepada pembela HAM, kekerasan terhadap pembela HAM di Papua, menyempitnya kebebasan Pers, masifnya praktik serangan siber, banyaknya kriminalisasi pada aktivis pembela HAM, dan kerentanan terhadap pembela HAM di sektor lingkungan.
Klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya