Kasus Perundungan dan Pembubaran Paksa Dalam Kegiatan Doa Rosario di Tangerang: Hentikan Perilaku Intoleransi dan Usut Tuntas Pelaku!

(Foto: Tempo / Muhammad Iqbal)

Pada hari Minggu, 5 Mei 2024, malam, terjadi perundungan dan pembubaran paksa terhadap aktivitas ibadah Doa Rosario yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa Katolik Universitas Pamulang di jalan Ampera Poncol, Cisauk, Tangerang Selatan-Banten. Terdapat dugaan adanya tindakan provokasi terhadap warga yang diinisiasi oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) untuk membubarkan kegiatan peribadatan tersebut. Diketahui, dalam peristiwa ini menimbulkan korban luka yang diakibatkan adanya tindak kekerasan berupa penusukan hingga pemukulan. Bahwa atas peristiwa tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk keras tindakan perundungan dan pembubaran atas peribadatan yang terjadi karena merupakan bentuk pelanggaran serius atas Hak Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama, para pelaku harus segera ditindak guna mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, perundungan dan pembubaran dan tindak kekerasan terhadap kelompok mahasiswa Katolik Unpam sedang melangsungkan peribadatan Doa Rosario. Sekitar pukul 19.30 WIB, Ketua RT berinisial D (53 Tahun) mendatangi rumah yang menjadi tempat berkumpul mahasiswa dan berupaya untuk menghentikan aktivitas ibadah. Kami mendapati video berdurasi 1 menit 47 detik yang dikompilasi salah satunya oleh detik com. Dalam upaya perundungan dan pembubaran terdapat ujaran provokasi yang dilakukan oleh Kepala RT yakni D (53). Tak berselang lama, warga yang berada di sekitar tempat berlangsungnya peribadatan terpancing untuk menghentikan dan membubarkan kelompok mahasiswa Katolik yang sedang ibadah. Setidaknya, terdapat seorang perempuan yang menjadi korban penusukan. Tak hanya itu, satu orang laki-laki beragama muslim yang berusaha membela dan melindung mahasiswa Katolik turut menjadi korban penusukan.

Perundungan dan pembubaran ibadah seperti yang terjadi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” dan 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing­masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain pelanggaran konstitusional, tindakan membubarkan kegiatan peribadatan semacam ini merupakan pelanggaran terhadap standar Hak Asasi Manusia internasional seperti Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) sebagaimana yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005, serta Pasal 22 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Selain peristiwa Peristiwa kekerasan yang menimbulkan korban dalam kasus ini juga melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang berbunyi “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan” dan Pasal 351 KUHP khususnya bagian (1) yang berbunyi “(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Selain itu, dalam Pasal 28 G UUD 1945, disebutkan bahwa semua orang berhak atas rasa aman yang tidak didapatkan oleh korban dalam konteks perundungan dan pembubaran paksa.

Dalam konteks upaya untuk menjamin terlaksananya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, Negara melalui pemerintah pusat hingga perangkat yang paling rendah seperti Desa memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya peristiwa pembubaran ibadah sebagaimana terjadi. Kejadian semacam ini perlu ditindak tegas oleh aparat penegak hukum guna tak terjadi keberulangan peristiwa serupa di masa mendatang. Sebab, jika terjadi keberulangan, hal ini dikhawatirkan memunculkan rasa takut di tengah masyarakat dalam penikmatan hak beribadah dan beragama.

Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak beberapa pihak agar:

  1. Pemerintah melalui Gubernur Provinsi Banten dan Walikota Kota Tangerang untuk melindungi hak kebebasan berkeyakinan dan beragama dari berbagai bentuk serta ancaman pelanggaran;
  2. Kepolisian Republik Indonesia melalui Kepala Polda Metro Jaya dan Kepala Polres Tangerang Selatan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara transparan dan akuntabel pelaku pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama;
  3. Ketua Komnas HAM memerintahkan jajarannya untuk melakukan pemantauan atas peristiwa yang terjadi serta memberikan evaluasi bagi Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan jaminan hak kebebasan berkeyakinan dan beragama;
  4. Ketua LPSK segera memberikan perlindungan terhadap para korban dan saksi, termasuk juga menjamin terlaksananya proses pemulihan;

Jakarta, 8 Mei 2024

Badan Pekerja KontraS

 

Dimas Bagus Arya

Koordinator

Narahubung: 08176453325