Perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki adalah kesepakatan yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Aceh selama 1976-2005, MoU Helsinki mengatur pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, demobilisasi militer Indonesia, dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perseorangan, dan kompensasi bagi tahanan politik dan masyarakat sipil yang terkena dampak.

Kami menyoroti ketidakseriusan pemerintah RI dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat selama periode 1975-2005 di Aceh, sebagaimana kewajiban tersebut tercantum dalam MoU Helsinki. Terdapat empat kewajiban negara sebagai bentuk penyelesaian tersebut, yaitu pengungkapan kebenaran, penuntutan secara pidana, reparasi korban, dan jaminan ketidakberulangan. Keempat kewajiban tersebut harus dilakukan dengan beriringan dan tidaklah menegasikan satu sama lain.

Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan realisasi dari MoU Helsinki, menyatakan bahwa Pengadilan HAM dibentuk di Aceh paling lambat satu tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akan tetapi, Pengadilan HAM di Aceh belum juga kunjung dibentuk hingga kini. Komnas HAM juga sudah menyerahkan berkas penyelidikan untuk kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998), Simpang KKA (1999), Bener Meriah (2001), dan Jambo Keupok (2003) kepada Kejaksaan Agung. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses hukum ke tahap penyidikan.

Selain itu, UU Pemerintah Aceh turut memandatkan pembentukan KKR di Aceh dengan pembentukan paling lambat satu tahun sejak UU tersebut diundangkan. Meskipun kini KKR Aceh telah dibentuk, proses pembentukannya melebihi tenggat waktu yang diatur dalam UU Pemerintah Aceh. Atas dorongan masyarakat sipil, KKR Aceh barulah dibentuk secara resmi pada 2016 oleh Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berdasarkan Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh[1]

Pada 2022, Presiden Joko Widodo telah membentuk Tim PPHAM dengan dalih untuk memenuhi hak reparasi bagi korban dan melakukan penyelesaian secara non-yudisial yang berfokus pada korban. Kebijakan ini bermasalah lantaran ketiadaan pelibatan korban secara aktif, keterbatasan rekomendasi tim, ketiadaan permintaan maaf dari negara, ketiadaan pengungkapan kebenaran dan identifikasi pelaku, dan ketiadaan jaminan ketidakberulangan[2]. Terlebih lagi, pelaksanaan pemenuhan hak reparasi melalui PPHAM juga memiliki sejumlah masalah, yaitu lambatnya kinerja tim pelaksana PPHAM dan insensitivitas sikap pemerintah, ketiadaan jaminan keamanan, kesejahteraan fisik, dan psikologis dari korban ketika berhadapan dengan tim, ketidaksesuaian data korban, pemberian pemulihan yang tidak tepat sasaran, pembangunan memorialisasi yang mengubur nilai historis, dan keterbatasan masa kerja tim PPHAM[3].

Kini, dengan berakhirnya masa kerja dari tim PPHAM pada Desember 2022 dan tim pemantau pelaksanaan rekomendasi PPHAM pada Desember 2023, proses penyelesaian secara non-yudisial ini menjadi tidak jelas nasibnya. Para korban pun kunjung tidak mendapat kepastian dari pemerintah. Kami menilai belum adanya tindak lanjut dari Presiden Joko Widodo mengenai PPHAM ini menunjukkan adanya kecenderungan menjadikan PPHAM sebagai upaya cuci dosa semata terkait penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, termasuk di Aceh.

Sejak kesepakatan damai yang telah berjalan nyaris dua dekade ini, impunitas bagi para pelaku terus berlanjut akibat Pengadilan HAM yang hingga kini tak kunjung dilakukan. Situasi ini menciptakan rasa frustasi dan ketidakadilan bagi para korban, yang menyaksikan para pelaku tetap bebas tanpa pertanggungjawaban hukum, baik aktor lapangan maupun pejabat militer yang terlibat langsung dalam pelanggaran. Ketiadaan Pengadilan HAM ini tidak hanya melanggengkan impunitas, tetapi juga memperburuk luka para korban yang terus menunggu keadilan yang tak pernah datang. Tidak kunjung dihentikannya impunitas di masa lalu menyebabkan kekerasan oleh aparat keamanan masih terus berlanjut hingga sekarang.

Oleh karena itu, kami mendesak

  1. Presiden Joko Widodo untuk membentuk Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh;
  2. Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses hukum kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh ke tahap penyidikan;
  3. Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti Laporan Temuan KKR Aceh; dan
  4. Presiden Joko Widodo untuk memenuhi hak reparasi korban secara substantif, menyeluruh, dan berkeadilan.

 

15 Agustus 2024

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. KontraS Aceh 
  3. PASKA Aceh
  4. Koalisi NGO HAM Aceh
  5. Asia Justice and Rights (AJAR)


[1] KKR Aceh, 2023, Peulara Damèe: Merawat Ingatan, Laporan Temuan KKR Aceh, https://kkr.acehprov.go.id/media/2023.12/buku_laporan_peulara_damee1.pdf

[2] KontraS & KontraS Aceh, 2024, Catatan Satu Tahun Kick Off Rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat “Manipulasi Keadilan dalam Belenggu Impunitas”, https://kontras.org/laporan/catatan-satu-tahun-kick-off-rekomendasi-tim-penyelesaian-non-yudisial-pelanggaran-hak-asasi-manusia-yang-berat-manipulasi-keadilan-dalam-belenggu-impunitas

[3] Ibid.

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio