Kami, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas beserta Keluarga korban Penculikan dan Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 yang terdiri dari Paian Siahaan (ayah dari Ucok Munandar Siahaan) dan Hardingga (anak dari Yani Afrie) mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk mengabulkan gugatan terhadap Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 13/TNI/2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dalam Perkara Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT.

 

Kami memandang, jika hakim tegak lurus pada hati nurani dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sudah sepatutnya gugatan yang dilayangkan korban ini dikabulkan. Selain bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, prinsip hak asasi manusia maupun Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), juga sepanjang proses pembuktian pada persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah terungkap sejumlah fakta  bahwa proses dalam penerbitan surat rekomendasi hingga Keputusan Presiden menuai sejumlah masalah yang substansial yang menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

 

Pertama, fakta persidangan membuktikan bahwa tidak terdapat mekanisme kenaikan pangkat istimewa bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI. UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia jo. PP No. 39/2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia hanya mengatur pemberian pangkat kepada orang yang berada dalam struktur hierarki keprajuritan/kemiliteran, dalam hal ini prajurit. Sedangkan, Prabowo Subianto telah diberhentikan dari dinas keprajuritan aktif ABRI (saat ini TNI) terhitung sejak akhir November 1998 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 62/ABRI/1998 atas sejumlah pelanggaran etik, hukum, maupun keterlibatan kasus Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Sehingga, penerbitan surat rekomendasi panglima TNI terhadap pengusulan untuk penganugerahan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada seorang purnawirawan, Prabowo Subianto bertentangan dengan kewenangannya yang hanya boleh berkaitan dengan kenaikan pangkat reguler bagi prajurit TNI aktif.

 

Kedua, terungkap fakta bahwa penerbitan Keppres mengenai Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto sama sekali tidak melalui proses verifikasi oleh lembaga yang berwenang sesuai amanat dalam peraturan perundang-undangan.  UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan jo. PP No. 35/2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mensyaratkan bahwa pemberian tanda kehormatan ditujukan kepada presiden harus diusulkan melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang melalui proses verifikasi dan analisa yang mendalam. Dalam keterangan ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) pada persidangan tertanggal 12 September 2024, Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., menegaskan proses penerbitan Keppres mengenai Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto  telah mengalami Procedural Impropriety yang berdampak pada anomali keabsahan keppres tersebut sebab tidak melalui proses verifikasi yang seharusnya. Problematika penerbitan keppres tersebut juga terbukti dari keterangan yang disampaikan saksi Tergugat atas nama Letkol Adm. Heru Wisnu Ariyanto pada persidangan tanggal 19 September 2024 yang menyatakan bahwa penerbitan Keppres pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto hanya melalui pertimbangan surat rekomendasi Panglima TNI dan hasil diskusi internal tanpa melalui verifikasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

 

Ketiga, klaim prestasi yang dilakukan oleh Prabowo Subianto hanya melalui verifikasi artikel berita di internet yang diungkapkan langsung dalam keterangan saksi Tergugat II Intervensi atas nama Pramudyo Wardani pada persidangan tanggal 26 September 2024, tidak berdasarkan data yang sahih dari instansi yang berwenang serta hanya melalui diskusi internal tanpa melibatkan pihak lain seperti akademisi, pengamat politik atau masyarakat secara luas. Hal ini membuktikan bahwa penerbitan Keppres mengenai Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto tidak sesuai prosedur dan tidak transparan dalam melibatkan partisipasi publik sebagaimana amanat dalam UU No.20/2009, khususnya partisipasi para keluarga korban pelanggaran berat HAM masa lalu dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998 hingga masyarakat luas.

 

Berdasarkan sejumlah dokumen, baik Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, dan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo Subianto merupakan salah seorang yang patut dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan prinsip tanggung jawab komando atas kasus penghilangan orang secara Paksa tahun 1997/1998. Penganugerahan kepada seorang terduga pelanggar HAM telah jelas bertentangan dengan visi misi, agenda, dan komitmen negara dalam memenuhi, melindungi, menegakkan Hak Asasi Manusia.

 

Selain itu, yang patut disesalkan ialah larinya tanggung jawab Joko Widodo yang selama satu dekade kepemimpinannya sebagai Presiden RI gagal menuntaskan kasus tersebut meskipun dalam kampanye Nawacita pada Pemilu 2014 telah menjanjikan penuntasan kasus pelanggaran berat HAM salah satunya yaitu kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998. Namun, Joko Widodo malah memberikan pangkat Jenderal TNI Kehormatan yang tidak diketahui urgensi, motif, dan dasar hukumnya kepada sosok yang bermasalah. “Langkah ini, kontradiktif sekaligus paradoks, bahkan terbilang praktik penyalahgunaan kewenangan Presiden karena ditempatkan untuk kepentingan politik yang kasat mata mengabaikan kepentingan publik, yakni melukai rasa keadilan bagi korban sekaligus menguatkan mata rantai impunitas” kutipan keterangan tertulis Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., MA.

 

Dalam hal tersebut, implikasi demikian haruslah dijawab dengan keberanian institusi negara dan hukum, dalam hal ini melalui lembaga peradilan untuk mengupayakan perkembangan doktrin hukum melalui perwujudan doktrin judicial activism, dimana hakim didorong untuk mengambil lompatan hukum demi memberi keadilan bagi masyarakat maupun korban yang merasa dirugikan sebagai bentuk perwujudan kepastian hukum serta jaminan adanya access to justice bagi warga negara khususnya keluarga korban penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Bentuk normalisasi/pembenaran terhadap tindakan abusif atau disebut sebagai “Normalizing Abusiveness” tidak dapat dibenarkan karena dapat melemahkan komitmen negara terhadap perlindungan hak asasi manusia. Hakim harus benar-benar memperhatikan hukum dan keadilan secara substantif, dengan demikian Hakim tidak hanya dikatakan sebagai corong Undang-Undang melainkan corong keadilan bagi para korban yang dirugikan. Sehingga, preseden serupa tidak dapat terjadi lagi di masa yang akan datang.

 

Atas hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta agar:

  1. Mengabulkan Gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya;

  2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto;

  3. Mewajibkan TERGUGAT untuk mencabut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto; dan

  4. Menghukum TERGUGAT untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. 

 

Jakarta, 29 Oktober 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

 

Narahubung:

  1. Jane Rosalina (KontraS)

  2. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)

  3. Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio