Pada Kamis, 16 Januari 2025, telah diadakan Konferensi Pers mengenai pengiriman Amicus Curiae oleh sejumlah akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia UGM (PANDEKHA), serta organisasi mahasiswa DEMA Justicia FH UGM. Amicus Curiae ini terkait dengan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas terhadap Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024 yang dikeluarkan pada 21 Februari 2024, mengenai penganugerahan Pangkat Istimewa Jenderal TNI Kehormatan dan kini sedang dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT TUN Jakarta) dengan Nomor Perkara 500/B/2024/PT.TUN.JKT.

Sebelumnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa perkara tersebut menolak gugatan para penggugat dengan alasan yang tidak substansial, bahwa para Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum yang sah. Padahal berdasarkan dokumen bukti surat yang telah diajukan, telah jelas memiliki kedudukan hukum yang sah. Hal ini mencerminkan terdapat upaya dari Majelis Hakim untuk melompati aspek-aspek substansial, serta mencari celah untuk melanggengkan impunitas dalam balutan aspek prosedural. Pertimbangan Majelis Hakim ini menunjukkan ketidakberanian hakim PTUN Jakarta dalam menghadapi kontroversi bersamaan dengan penganugerahan pangkat kepada Prabowo, yang kini telah menjabat sebagai Presiden. 

Berdasarkan bukti dalam proses persidangan yang telah berlangsung, terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) tersebut pada faktanya hanya didasarkan pada rekomendasi Panglima TNI melalui hasil diskusi internal tanpa adanya verifikasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan maupun keterlibatan partisipasi publik yang jelas telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Penerbitan keputusan ini adalah bentuk Procedural impropriety yang melahirkan keputusan yang problematik dan tidak berkepastian hukum. 

Hal tersebut tidak hanya bertentangan secara prosedur hukum, tetapi juga menuai sejumlah masalah yang menimbulkan pertanyaan mengenai penggunaan hukum dan kebijakan dalam melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia yang menunjukan adanya praktik “Normalizing Abusiveness” atau normalisasi dan pembenaran terhadap tindakan abusive. Hal ini semakin diperburuk oleh rekam jejak buruk Tergugat II Intervensi, yang terlibat dalam Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998, sebuah pelanggaran berat HAM yang sudah diketahui secara luas.

Kami menyayangkan dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta sama sekali tidak membahas hal-hal substansial, termasuk bukti-bukti berbagai dokumen resmi negara yang menunjukkan keterlibatan Tergugat II Intervensi dalam kasus pelanggaran berat HAM yang masih dalam proses hukum hingga saat ini. Pernyataan Majelis Hakim PTUN Jakarta tentang tidak adanya putusan pidana atas pelanggaran hak asasi manusia selain mendelegitimasi kerja Komnas HAM juga memperlihatkan kemunduran hukum atas kualitas pengetahuan majelis hakim PTUN Jakarta dan memperburuk masa depan penegakan hukum dan HAM di Indonesia. 

Sehubungan dengan hal tersebut, para akademisi dan organisasi mahasiswa bersolidaritas mengirimkan Amicus Curiae atau "Sahabat Pengadilan" yang ditujukan langsung kepada Ketua Majelis Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT TUN Jakarta) c.q Majelis Hakim pemeriksa perkara No 500/B/2024/PT.TUN.JKT. Praktik hukum Amicus Curiae melibatkan pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam perkara untuk memberikan kontribusi berupa pendapat hukum tertulis yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara. Di Indonesia, dasar hukum penerimaan konsep Amicus Curiae dan kewajiban hakim untuk memahami nilai-nilai keadilan dalam masyarakat diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, para pengirim Amicus Curiae mendesak agar pendapat hukum yang telah disampaikan kepada Ketua PT TUN Jakarta c.q Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo dapat diterima dan dipertimbangkan secara menyeluruh sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang adil, independen, dan berpihak pada rule of law untuk perbaikan peradaban bangsa Indonesia ke depan.

Proses banding yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas ke PT TUN Jakarta telah dimulai sejak 19 November 2024 dan kini akan segera mencapai keputusan. Oleh karena itu, kami mendesak agar Majelis Hakim PT TUN Jakarta Pemeriksa Perkara memutuskan hal berikut:

  1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat ( Para Pembanding) secara keseluruhan; dan

  2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.

  3. Menerima dan mempertimbangkan amicus curiae yang diajukan oleh sejumlah akademisi dan organisasi mahasiswa sebagai landasan mengambil keputusan yang adil;

 

Jakarta, 16 Januari 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Narahubung:

  1. Jane Rosalina (KontraS)

  2. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)

  3. Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)

 

Konferensi Pers dapat diakses di sini

Dokumen Amicus Curiae dapat diakses di bawah ini:

Amici Curiae KIKA

Amici Curiae PANDEKHA dan individu

Amici Curiae LSJ UGM dan DEMA Justicia

Surat Dukungan PUSHAM UII

 

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan