Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam  tindak kekerasan  yang diduga dilakukan oleh aparat Brimob kepada korban yakni Puji Friayadi dan setidaknya kepada 18 orang lainnya di depan Markas Komando (Mako) Brimob Kelurahan Loa Ipuh Darat, Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur pada hari Kamis dan Jumat, 17-18 Juli 2025. Korban mengalami intimidasi, pemukulan, dipopor senjata, dan terjatuh. Belum adanya penegakan hukum terhadap aparat pelaku kekerasan membuka ruang bagi terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. Negara wajib untuk bertanggung jawab memastikan keadilan dan mencegah keberulangan.

Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, Puji Friayadi yang merupakan pengepul pisang dari Desa Jonggon, Kecamatan Loa Kulu dalam perjalanan pulang menuju Samarinda usai mengumpulkan pisang dari Jonggon sekitar sore hari tanggal 17 Juli 2025. Korban melihat ada balok besar dan papan kayu membentang di tengah jalan yang diduga dipasang oleh sejumlah anggota Brimob dan khawatir akan membahayakan pengendara jalan lainnya, dan turun dari mobil untuk menanyakan alasan pemasangan penghalang tersebut. Inisiatif Puji Friayadi memicu kemarahan personel Brimob di lokasi, yang kemudian menuduh korban “sok jago.” yang ditujukan kepada korban. Pertengkaran tak terhindarkan dan berujung kekerasan. Korban dipaksa diseret masuk bersama mobilnya oleh polisi. Korban kemudian dipukuli di dalam Mako Brimob Kelurahan Loa Ipuh Darat, Tenggarong, Kutai Kartanegara. Korban mengalami kekerasan hingga pingsan, sempat diseret di lumpur, dan saat sadar mendapati dirinya menggunakan baju yang berbeda. Pasca korban sadar, korban diminta untuk menandatangani surat yang intinya berjanji tidak akan melawan aparat lagi. Setelah kejadian itu, Puji kembali ke Samarinda dengan kondisi tubuh penuh luka, pusing, dan muntah-muntah sepanjang perjalanan.

Keesokan harinya yakni 18 Juli 2025, Ketua RT 10 Desa Jonggon, Rohyadi, datang ke Mako Brimob II bersama anak-anaknya untuk menyampaikan klarifikasi secara damai atas dugaan penganiayaan terhadap warganya. Ia disusul oleh Ketua RT 7 yakni Saparianto dan RT 8 yakni Catur yang juga berkomunikasi baik-baik dengan aparat. Namun saat Ketua RT 13, Wijayanto, tiba, ia langsung dipukul tanpa alasan yang jelas sebelum sempat turun dari mobil. Setelah itu, belasan warga lain yang datang ke lokasi juga mengalami kekerasan, bahkan sebelum masuk ke area markas. Insiden tersebut menyebabkan sedikitnya 18 warga mengalami luka-luka, dengan cara mendapat pemukulan, dipopor senjata, dan terjatuh. Dua diantaranya harus mendapatkan perawatan medis intensif di rumah sakit akibat cedera serius. Sejumlah korban telah melaporkan peristiwa ini ke Kepolisian Resor Kutai Kartanegara, menuntut pertanggungjawaban atas tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat terhadap warga sipil. 

Peristiwa ini menunjukkan adanya arogansi dan kesewenang-wenangan dari aparat Brimob. Kekerasan terhadap warga sipil atas persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan secara damai menunjukkan sikap reaktif dan represif yang melanggar hak asasi manusia. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota Brimob tersebut diduga didasari atas perasaan tersinggung dan superior ketika dinasehati oleh warga, alih alih mendengarkan,mereka justru merespons dengan kekerasan terhadap rakyat yang seharusnya mereka lindungi.

KontraS melihat bahwa tindakan anggota Brimob tersebut melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia, yakni  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada Pasal 28G ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak bebas dari penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya dalam Pasal 7. Berkaitan dengan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, Indonesia juga telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. 

Jika kita melihat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai Januari 2026, juga menyebutkan mengenai larangan penyiksaan yang tertuang dalam Pasal 530 KUHP dapat dikenakan pidana dengan maksimal 7 tahun penjara. Namun, apabila dikaitkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dalam proses penyusunan, terdapat beberapa catatan yakni RKUHAP tidak secara eksplisit mengatur mekanisme pencegahan dan penindakan atas penyiksaan khususnya dalam proses penyidikan, termasuk tidak disebutkannya secara eksplisit bahwa keterangan atau pengakuan yang didapatkan dari penyiksaan secara otomatis dinyatakan tidak sah. Hal ini berpotensi membuat tidak adanya perubahan dalam menggunakan cara-cara penyiksaan maupun kekerasan dalam upaya “mempercepat” mendapatkan pengakuan. Kemudian, RKUHAP memperkenankan adanya perekaman pemeriksaan dengan Closed-Circuit Television (CCTV) di ruang interogasi maupun penahanan, namun hal ini tidak bersifat wajib dan rekaman dikendalikan oleh penyidik, dimana baik korban, keluarga, maupun kuasa hukum tidak memiliki akses untuk rekaman CCTV tersebut. Padahal, rekaman tersebut penting untuk menunjukkan apakah ada proses penyiksaan dalam pemeriksaan. Permasalahan dalam RKUHAP ini menunjukkan bahwa struktur kekuasaan penyidikan timpang dan tertutup dan justru memperkuat status quo, yakni penyidikan yang rentan akan kekerasan.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Brimob terhadap Puji Friayadi yang merupakan seorang pengepul pisang dan 18 warga lainnya merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan etika profesi kepolisian. Padahal, kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia telah diatur secara jelas dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Kinerja Polri, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 7, serta Pasal 11. Ketentuan tersebut seharusnya menjadi panduan wajib dalam setiap tindakan aparat di lapangan. Sayangnya, hingga kini belum terlihat adanya upaya konkret dan serius dari negara untuk menghapus praktik penyiksaan, meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Ketidakseriusan ini menunjukkan lemahnya komitmen implementasi HAM dalam institusi kepolisian yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Kekerasan terhadap warga sipil merupakan pelanggaran serius yang tidak dapat dibenarkan. KontraS mencatat 602 peristiwa kekerasan oleh Polri sepanjang Juli 2024-Juni 2025, termasuk 411 penembakan dan 38 penyiksaan dengan 86 korban dan 10 diantaranya meninggal dunia. Selain itu, tidak ada penindakan atau sanksi yang diberikan kepada 38 terduga pelaku penyiksaan, sementara terdapat 2 pelaku yang dijadikan tersangka dan 1 orang pelaku dipecat. Situasi ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja institusi Polri. Tingginya angka ini mencerminkan kegagalan negara dan Polri dalam menegakkan hukum terhadap pelaku, yang mendorong keberulangan dan memperkuat impunitas. Terlebih dalam konteks penyiksaan, Negara telah gagal untuk melindungi warga negaranya terhindar dari praktik-praktik penyiksaan. Maka dari itu, Negara wajib bertindak tegas agar warga negaranya terlindungi dari praktik penyiksaan dan kekerasan aparat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, KontraS mendesak:

  1. Pemerintah Republik Indonesia untuk segera melakukan ratifikasi atas Optional Protocol Convention Against Torture untuk memberikan mekanisme pencegahan kekerasan dan penyiksaan yang lebih kuat;

  2. Kepolisian Republik Indonesia untuk dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap tubuh institusi Polri untuk dapat meminimalisir terjadinya peristiwa serupa di masa yang akan datang;

  3. Kepolisian Republik Indonesia c.q. Polres Kutai Kertanegara untuk dapat mengusut tuntas tindak kekerasan/penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Brimob;

  4. Komnas HAM melakukan pemantauan serta penyelidikan atas kekerasan yang terjadi dalam kasus ini;

  5. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk berperan aktif dan turun langsung ke keluarga korban untuk dapat memberikan akses bantuan medis, psikologis, dan psikososial sebagai hak korban dan keluarga. 

Jakarta, 25 Juli 2025

Badan Pekerja KontraS




Dimas Bagus Arya

Koordinator

Narahubung: 08176453325

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan