Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam penganugerahan kenaikan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) kepada Sjafrie Sjamsoeddin. Berdasarkan pemberitaan di media, pada Minggu, 10 Agustus 2025, Prabowo Subianto menganugerahkan jenderal kehormatan kepada sejumlah nama termasuk Sjafrie. Penganugerahan ini dilakukan dalam kesempatan Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Suparlan Pusdiklatpassus Batujajar, Bandung, Jawa Barat. Pasalnya, Sjafrie Sjamsoeddin memiliki rekam jejak buruk berupa keterlibatannya dalam berbagai peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) pada periode pemerintahan otoriter Orde Baru. Ditambah lagi, pemberian pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) ini patut dipertanyakan karena tidak didasari pada dasar aturan yang jelas serta memiliki kepastian hukum.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 dan ringkasan eksekutif hasil penyelidikan pro-yustisia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sjafrie adalah salah satu nama yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa pelanggaran berat terhadap HAM kasus Mei 1998. Ia bertanggungjawab akibat pembiaran (ommission) terhadap berbagai tindakan pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut, seperti kekerasan seksual massal, pembunuhan, pembakaran, penjarahan, dan perampasan kemerdekaan sewenang-wenang. Peristiwa Mei 1998 ini pun telah ditetapkan sebagai pelanggaran berat HAM berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Artinya, Sjafrie bertanggungjawab atas terjadinya sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM.
Selain itu, dilansir dari situs Kementerian Pertahanan, Sjafrie pernah bertugas dalam berbagai operasi militer di Timor Timur pada 1976 dan 1990, Aceh pada 1980, dan Papua pada 1987. Dalam operasi militer pada ketiga wilayah tersebut, telah terjadi berbagai kekerasan dan kejahatan HAM, di antaranya yaitu pembunuhan, kekerasan seksual massal, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, pemindahan penduduk secara paksa, dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Laporan akhir Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) berjudul Chega! menyatakan terdapat setidaknya 102.800 orang tewas selama periode okupasi Indonesia pada 1974–1999. Laporan Temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh berjudul Peulara Damèe pun menyatakan terdapat setidaknya 2.257 orang tewas selama periode konflik pada 4 Desember 1976–15 Agustus 2005. Hal ini menambah rekam jejak berdarah Sjafrie berupa keterlibatannya dalam konteks kejahatan HAM.
Pemberian kenaikan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) kepada Sjafrie Sjamsoeddin semakin memperburuk penghormatan terhadap HAM dan kemanusiaan di Indonesia. Pemberian penghargaan kepada Sjafrie tersebut sangat melukai hati korban yang telah bertahun-tahun menanti keadilan dan pertanggungjawaban negara. Sebelumnya, dua penjahat HAM telah dianugerahi penghargaan oleh negara, yaitu Eurico Guterres—penjahat HAM Timor Timur—yang dianugerahi Bintang Jasa Utama dan Prabowo Subianto—terduga pelaku Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998—yang dianugerahi kenaikan pangkat bintang empat. Kini pun, Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia yang selama masa jabatannya telah melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan HAM, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), berencana untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemberian kenaikan pangkat kepada Sjafrie seakan semakin menambah tindakan negara dalam upaya memutihkan dosa Orde Baru, setelah adanya penulisan ulang sejarah resmi dan pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual massal dalam peristiwa Mei 1998.
Belum lagi, pemberian pangkat ini tidak didasari pada aturan yang jelas. Pangkat Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) kehormatan ini adalah hal yang baru di lingkungan TNI karena ini menjadi satu-satunya pangkat kehormatan yang dikeluarkan setelah adanya UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Rezim Undang-Undang TNI melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 yang telah direvisi melalui UU Nomor 3 Tahun 2025 jo. Peraturan Pemerintah (PP) No. 39/2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia hanya mengatur pemberian pangkat kepada orang yang berada dalam struktur hierarki keprajuritan/kemiliteran, dalam hal ini prajurit (aktif). Dalam aturan tersebut dijelaskan secara eksplisit bahwa kenaikan pangkat penghargaan hanya dapat diberikan kepada prajurit aktif yang paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pensiun. Sedangkan, Sjafrie Sjamsoeddin telah menjadi purnawirawan TNI dan dinyatakan pensiun sejak tahun 2010. Sebaliknya, dalam rezim Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan aturan teknisnya tidak mengatur mengenai tanda kehormatan berupa kenaikan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR). Jelas bahwa hal ini tidak didasari pada dasar aturan yang jelas dan transparan.
Alih-alih memberikan kenaikan pangkat kepada Sjafrie Sjamsoeddin, negara seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan prajurit berupa penghasilan yang layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI—yang kerap dikenal sebagai ‘Pasal Munir.’ Pemberian kenaikan pangkat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) kepada seorang purnawirawan TNI ketika masih terdapat prajurit-prajurit aktif yang hidupnya belum sejahtera menunjukkan kegagalan negara untuk hadir, tidak hanya bagi rakyatnya namun juga bagi para prajurit yang berada pada garda terdepan. Situasi ini menjadi bukti adanya ketimpangan dalam tubuh TNI dengan bersikap tidak adil kepada prajurit TNI sementara di saat yang bersamaan malah menambah jumlah jenderal TNI.
Selain itu, negara seharusnya melakukan perubahan struktural dan kultural dalam tubuh TNI agar lebih menghormati HAM, hukum humaniter, dan bersifat akuntabel. Hal ini dilakukan dengan tidak menempatkan prajurit TNI di institusi sipil maupun aspek kenegaraan sipil lainnya, memberikan batasan yang jelas mengenai wewenang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) agar tidak menjadi justifikasi intervensi dan kehadiran militer dalam ranah sipil, serta mereformasi peradilan militer.
Lebih lanjut, dalam konteks penegakan HAM, negara seharusnya tidak memberikan penghargaan kepada penjahat HAM, apalagi menempatkannya dalam jabatan pemerintahan. Sebagai wujud komitmen pelaksanaan amanat Reformasi, negara seharusnya melaksanakan mekanisme vetting, yaitu penilaian rekam jejak seseorang dalam konteks HAM sebelum menduduki posisi-posisi institusi pemerintahan, dan lustration, yaitu penghapusan individu-individu yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan rezim sebelumnya dari posisi-posisi institusi pemerintahan. Sebaliknya, Sjafrie tidak hanya diberikan kenaikan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR), ia juga menduduki kursi sebagai Menteri Pertahanan saat ini. Hal ini menunjukkan pengabaian dan tidak adanya penghormatan negara terhadap Reformasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, kami menuntut adanya:
-
Pencabutan pemberian kenaikan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) kepada Sjafrie Sjamsoeddin;
-
Penghentian pemutihan dosa Orde Baru, termasuk dengan menghentikan penulisan ulang sejarah resmi dan membatalkan penghargaan yang telah diberikan kepada penjahat HAM termasuk menggagalkan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto;
-
Penuntasan pelanggaran berat HAM dan memberikan korban keadilan substantif dengan mengungkap kebenaran, menuntut pertanggungjawaban pidana pelaku, memulihkan korban, dan mereformasi institusi, termasuk reformasi sektor keamanan; dan
-
Perhatian dan realisasi nyata negara terhadap kesejahteraan prajurit secara merata dan menyeluruh.
Jakarta, 12 Agustus 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
-
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
-
Democratic Judicial Reform (DE JURE)
-
Imparsial
-
KontraS Aceh
-
Sajogyo Institute
-
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
-
Social Movement Institute (SMI)
-
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
-
Pusaka Bentala Rakyat
-
Kalyanamitra

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan