Di tengah kekayaan alam yang melimpah serta keragaman budaya yang mempesona, situasi di Papua tidaklah seindah dan sebagus alam yang dimiliki. Dalam beberapa waktu terakhir, pemberitaan mengenai Papua cukup banyak menyita publik. Pasalnya, salah satu wilayah yang selama ini dikenal akan keindahan alam serta keanekaragaman hayati lautnya yakni Raja Ampat terancam rusak akibat aktivitas pertambangan yang ugal-ugalan dan serampangan. Akibatnya, muncul kekhawatiran serius dari publik akan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan tersebut. Lebih lanjut, permasalahan di tanah Papua tidak hanya terjadi pada isu lingkungan dan sosial semata, tetapi juga terjadi pada isu penegakan hukum dan hak asasi manusia. Selama ini, berbagai peristiwa tindak pidana hingga pelanggaran hak asasi manusia seperti tindak kekerasan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) kerap terjadi. Namun sayangnya, sejauh ini penegakan hukum akan peristiwa-peristiwa tersebut sangat minim akan pertanggungjawaban hingga menciptakan lingkaran impunitas yang sulit diperbaiki.
Salah satu peristiwa yang hingga sampai saat ini tak kunjung dituntaskan adalah tragedi Wasior yang terjadi pada 13 Juni 2001 silam. Peristiwa ini terjadi disebabkan oleh adanya pengingkaran kesepakatan (wanprestasi) mengenai hak ulayat yang dilakukan oleh perusahaan kayu CV. Vatika Papuana Perkasa (VPP) terhadap masyarakat adat yang berada di wilayah Desa Wondiboi, Distrik Wasior. Akibat adanya wanprestasi tersebut, masyarakat melakukan protes dan penyerangan terhadap perusahaan yang menyebabkan 5 anggota Brimob Polri serta 1 orang karyawan CV. VPP meninggal dunia. Pasca peristiwa tersebut, Brimob mulai melakukan operasi penyisiran dan pengejaran terhadap pihak yang dicurigai terlibat dalam penyerangan. Dalam operasi ini, aparat keamanan memasuki kampung-kampung dan melakukan tindakan represif. Sejumlah warga sipil, yang sebagian besar tidak terlibat dalam penyerangan pos, ditangkap secara paksa. Selama penangkapan dan penahanan, mereka diduga mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.1
Komnas HAM pada tahun 2003 silam melakukan penyelidikan pro-justitia mendalam terhadap tragedi Wasior. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan tersebut ditemukan fakta bahwa akibat operasi ini menyebabkan 4 orang meninggal dunia, 39 orang mengalami penyiksaan, 1 orang mengalami kekerasan seksual, dan 4 orang lainnya dihilangkan secara paksa. Rumah-rumah warga juga turut dilaporkan dirusak dan dibakar oleh aparat. Adapun kesimpulan dari penyelidikan pro-justitia tersebut menyatakan bahwa tragedi ini merupakan peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang terjadi secara sistematis dan meluas. Lebih lanjut Komnas HAM juga menyampaikan bahwa peristiwa ini dilakukan oleh jajaran Kepolisian Resort Manokwari dan beberapa Polsek di kecamatan yang berdekatan dengan Wasior.
Namun demikian hingga sampai detik ini, Negara belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mengusut tuntas dan mengadili kasus ini. Hasil penyelidikan pro-justitia yang dilakukan oleh Komnas HAM justru dinilai belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik itu syarat formil maupun materiil oleh Jaksa Agung. Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat permasalahan serius dalam proses penegakan HAM di Negeri ini yang dimana terdapat gap atau kurangnya pemahaman tentang HAM di kalangan aparat penegak hukum dan peradilan yang menjadi salah satu penyebab sulitnya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Hal ini seolah menggambarkan sekalipun Negara memiliki kerangka hukum yang memadai untuk melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia melalui UU 39 Tahun 99, UU 26 Tahun 2000, dan meratifikasi beberapa perjanjian internasional berkaitan dengan HAM, hal ini masih belum memberikan jaminan bahwa hak asasi manusia akan dijunjung tinggi bila tidak diikuti oleh pengimplementasian dalam penegakan hukum di lapangan. Pada akhirnya, aturan-aturan tersebut hanya dijadikan formalitas semata tanpa ada komitmen untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Keengganan Negara dalam melakukan penegakan hak asasi manusia khususnya di Papua dirasa sangat nyata dan terang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak dilaksanakannya perintah yang tertuang dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang kemudian telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, yang dimana dalam hal kewajiban untuk menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia di Papua, pemerintah harus membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) demi penegakan dan perlindungan HAM di Papua. Namun faktanya hingga sampai saat ini, belum ada satupun dari kewajiban-kewajiban tersebut yang dipenuhi atau dilaksanakan oleh pemerintah.
Lebih lanjut dalam konteks internasional, komitmen Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yang disampaikan pada Sidang Universal Periodic Review (UPR) PBB tahun 2017, belum menunjukkan progres signifikan. Fakta ini menegaskan adanya ketidaksesuaian antara janji di forum internasional dengan implementasi di lapangan. Alih-alih menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM melalui mekanisme yudisial, pemerintah justru mengambil jalan pintas melalui mekanisme non-yudisial dengan pembentukan tim PPHAM melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022. Bahkan, terdapat wacana dari pemerintah untuk meneruskan program PPHAM ini.2 Tentunya semenjak program ini digagas oleh Pemerintah, muncul gelombang penolakan yang cukup masif dari kalangan masyarakat sipil, korban, dan juga keluarga korban. Bagi para korban, mereka berpendapat bahwa keadilan sejati hanya bisa tercapai melalui jalur yudisial, yaitu dengan menghukum para pelaku. Sementara melalui mekanisme non-yudisial, penyelesaian dianggap tidak menggunakan prinsip yang akuntabel dan tidak serta merta mencakup pengakuan resmi oleh negara atas peristiwa pelanggaran berat ham yang terjadi. Sementara pengakuan atas peristiwa ini juga merupakan hal yang penting sebagai bagian dari pemulihan martabat dan pencegahan keberulangan peristiwa.
Selain itu, mengejar pertanggungjawaban para pelaku juga merupakan hal yang sangat penting untuk memutus rantai impunitas yang selama ini membelenggu tubuh penegakan hukum di Indonesia. Tanpa adanya pemberian hukum bagi para pelaku pastinya akan menjadi preseden buruk dan jaminan akan keberulangan peristiwa dimasa yang akan datang. Karena hingga sampai saat ini, dikarenakan oleh ketidak becusan negara untuk memberikan penghukuman yang ideal membuat peristiwa pelanggaran hukum dan bahkan pelanggaran HAM di Papua terus terjadi. Berdasarkan hasil pemantauan yang KontraS lakukan, setidaknya pada medio 2023 hingga 2024 lalu, telah terjadi 103 peristiwa tindak kekerasan dengan mengakibatkan 104 korban luka-luka dan 65 korban meninggal dunia. Peristiwa ini dapat terus terjadi bila tidak ada langkah perubahan yang diambil oleh Pemerintah terhadap permasalahan yang terjadi di Papua. Sebagaimana yang diketahui bersama, jika selama ini pemerintah menerapkan pendekatan keamanan atas situasi yang terjadi disana. Sehingga aparat TNI/Polri masif diterjunkan, setidaknya KontraS mencatat sejak Januari 2024 hingga April 2025 ini terdapat sekitar 5.987 aparat TNI/Polri yang dikirim ke Papua dengan rincian 5487 prajurit TNI dan 500 anggota Polri.
Kami memandang bahwa pengerahan aparat TNI/Polri ke Papua merupakan suatu tindakan ilegal dan tidak berlandaskan hukum. Karena sejak tahun 1998 lalu, Papua sudah tidak berstatus sebagai daerah operasi militer sehingga sudah sepatutnya penerjunanan aparat TNI/Polri. Sekalipun terdapat penerjunan, pengerahan harus dilakukan secara akuntabel melalui keputusan politik negara. Sekalipun penerjunan aparat TNI dalam konteks OMSP pasca revisi UU TNI , tugas ini baru dapat dilakukan jika Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2025.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tragedi Wasior menjadi salah satu bukti atas kegagalan negara dalam melindungi hak-hak warga negara khususnya di Papua, dan menjadi bukti nyata atas langgengnya praktik impunitas yang selama ini menggerogoti bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas dan bersamaan dengan peringatan 24 tahun tragedi Wasior, kami mendesak:
Pertama, Pemerintah Republik Indonesia untuk dapat melaksanakan kewajibannya dengan memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia khususnya masyarakat di Papua;
Kedua, Memerintahkan Jaksa Agung untuk membentuk Tim Penyidik ad hoc sebagai tindak lanjut penyelidikan Peristiwa Wasior serta berbagai pelanggaran HAM Berat yang telah dilaporkan oleh Komnas HAM sesuai amanat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
Ketiga, Pemerintah Pusat untuk segera membentuk Pengadilan HAM di Papua sebagaimana perintah dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang kemudian telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021;
Keempat, Melakukan evaluasi secara menyeluruh atas kebijakan/pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan di Papua dan segera menarik kembali pasukan yang telah diterjunkan.
Jakarta, 14 Juni 2024
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Narahubung: +6289651581587
1 Laporan Lengkap Tim Pengkajian Permasalahan HAM di Papua, Komnas HAM, Oktober 2023, Hlm 70
2 Lihat, Pemerintah Berkomitmen Meneruskan Program PPHAM, SKP-HAM Sulawesi Tengah.

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan