Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dengan tegas mengecam Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam Perkara Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT tertanggal 31 Oktober 2024. Keputusan yang menolak gugatan para Penggugat terhadap Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024, yang memberikan Pangkat Istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, merupakan sebuah langkah mundur yang mencederai prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Terlebih, secara garis besar, Majelis Hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan yang tidak substansial yaitu bahwa para Penggugat tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang sah. Hal ini mencerminkan upaya hakim untuk melompati aspek-aspek substansial dalam gugatan, serta mencari celah untuk melanggengkan impunitas dalam balutan aspek prosedural. Kami mencatat bahwa argumen ini menunjukkan ketidakberanian hakim untuk menghadapi kontroversi yang menyertai penganugerahan pangkat kepada Prabowo, yang kini telah menjabat sebagai Presiden.

 

Di tengah minimnya komitmen negara untuk bertanggung jawab atas penegakan HAM, Majelis Hakim PTUN Jakarta sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya dapat menjadi corong keadilan, justru menormalisasi tindakan abusif Negara (Normalizing Abusiveness), mengabaikan tanggung jawab moral dan hukum terhadap pelanggaran HAM yang telah terjadi. Penganugerahan pangkat ini menambah preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi personil sektor keamanan, terutama penegakan hukum atas pelanggaran HAM berat khususnya pada penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang masih membekas di ingatan keluarga para korban, termasuk keluarga Penggugat I dan II, Paian Siahaan dan Hardingga yang tidak diketahui keberadaannya karena dihilangkan secara paksa oleh Negara.

 

Argumen Majelis Hakim yang menyatakan bahwa tidak ada legal standing dari para Penggugat sangat tidak beralasan dan mencerminkan ketidakpahaman mendalam mengenai fakta-fakta yang ada. Mengabaikan bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Prabowo Subianto dalam pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang telah diungkap oleh Komnas HAM dan dokumen resmi lainnya, adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Pernyataan bahwa Prabowo tidak terlibat hanya menunjukkan betapa majelis hakim menutup mata terhadap kenyataan dan proses hukum yang masih berjalan melalui kerja-kerja Komnas HAM berdasarkan dokumen Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 oleh Komnas HAM termasuk Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP sudah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa Prabowo Subianto merupakan salah seorang yang harus dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan prinsip tanggung jawab komando atas kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998 sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).

 

Pernyataan Majelis Hakim tentang tidak adanya putusan pidana atas pelanggaran hak asasi manusia selain mendelegitimasi kerja Komnas HAM juga memperlihatkan kemunduran hukum atas kualitas pengetahuan majelis hakim PTUN Jakarta dan memperburuk masa depan penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Padahal sudah sepatutnya menjadi pengetahuan hakim, bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa “Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”. Argumentasi bahwa tidak pernah ada putusan pidana maupun pelanggaran HAM yang berat harusnya dilihat dalam konteks kemauan politik negara yang tidak pernah kunjung melakukan percepatan terhadap proses hukum kepada kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan bukan hanya semata-mata dalam konteks norma hukum yang positivistik (positive legal norm), yang mendalilkan bahwa putusan hukum merupakan ketetapan absolut. Dalam konteks ini, putusan hukum yang tidak tersedia merupakan dampak dari lambatnya proses hukum terhadap kasus pelanggaran HAM (undue delay of process of law).

 

Atas dasar analisis kami terhadap putusan dan proses persidangan yang telah berlangsung selama tiga bulan, maka kami menyimpulkan:

  1. Majelis Hakim PTUN dalam perkara nomor 186/G/2024/PTUN.JKT tidak mempertimbangkan muatan substansi dalam pemeriksaan perkara yang semakin menegasikan hak atas keadilan dan kebenaran kepada keluarga korban dan masyarakat Indonesia;
  2. Majelis Hakim PTUN dalam perkara nomor 186/G/2024/PTUN.JKT Terlibat memperpanjang kultur impunitas di Indonesia. Narasi positivistik dengan hanya menekankan pada aspek formal (Penggugat tidak mempunyai legal standing) merupakan cerminan dari penerapan hukum yang kaku dan tidak melihat aspek sosio-legal yang merupakan sebuah metode dalam menghadirkan asas keadilan yang hakiki. Dalam konteks penerapan hukum dan praktek pengadilan Tata Usaha Negara, Hakim harusnya berani dalam melakukan upaya judicial activism dan melakukan terobosan hukum dalam menyimpulkan dan mengambil putusan yang adil seadil-adilnya (Ex aquo et Bono);
  3. Kami meyakini bahwa benar tidak ada mekanisme kenaikan pangkat istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan (Hor) Bintang Empat bagi Warga Negara Indonesia bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI. Putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang menolak gugatan dengan alasan legal standing telah jelas mencederai access to justice bagi warga negara khususnya keluarga korban penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Pasalnya, dari proses persidangan, terungkap sejumlah fakta bahwa Keppres No. 13/TNI/2024 bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), prinsip-prinsip HAM, dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang secara patut dan jelas memperlihatkan bahwa tidak terdapat mekanisme kenaikan pangkat istimewa bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI. 

 

Jakarta, 07 November 2024 

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Narahubung: 

  1. Jane Rosalina (KontraS)
  2. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
  3. Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)
Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio