Jakarta, 04 Desember 2024 – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan KontraS Tanah Papua mengecam keras peristiwa kekerasan yang terjadi pada Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan solidaritas masyarakat sipil di berbagai wilayah Indonesia seperti, Jakarta, Yogyakarta, Bali hingga Makassar. Kekerasan tersebut terjadi pada aksi massa peringatan deklarasi kemerdekaan bangsa West Papua yang diperingati setiap tahun pada 1 Desember.1 Setidaknya AMP memiliki beberapa tuntutan di antaranya, 1.) Menolak Proyek Strategis Nasional yang tersebar di tanah Papua, 2.) Menolak mobilisasi militer, 3.) Menolak program Transmigrasi Reguler ke tanah Papua, hingga 4.) Menuntut hak penentuan atas nasib bagi bangsa Papua sendiri.

Dari informasi yang kami terima, mulanya aksi berjalan kondusif di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta pada 01 Desember 2024. Kekerasan mulai terjadi disinyalir akibat dari adanya pengibaran bendera bintang kejora ketika massa aksi mulai membubarkan diri. Pemaksaan perebutan bendera bintang kejora tersebut mengakibatkan massa aksi dan aparat kepolisian bersitegang. Kepolisian pun melakukan kekerasan fisik, berupa pemukulan, menembakkan water cannon dan penangkapan sewenang-wenang. 

Tindakan represif juga terjadi di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Makassar, tepatnya di depan asrama Papua. Atas dasar pengamanan bendera bintang Kejora, aparat kepolisian dan tentara (TNI) melakukan pemaksaan, pemukulan, menembakkan water canon, menembakkan gas air mata hingga melakukan penangkapan kepada massa aksi. Salah satu Asisten Pembantu Bantuan Hukum (APBH) LBH Makassar juga turut ikut ditangkap.

Lebih lanjut, kami melihat dalam aksi massa peringatan 1 Desember 2024, TNI turut diterjunkan dalam satuan pengamanan. Hal tersebut dapat dilihat dalam pengamanan aksi massa baik di Jakarta maupun di Makassar. Selain itu, kami juga melihat keterlibatan organisasi masyarakat (ormas) sebagai alat pengamanan dalam aksi yang dilakukan di Bali dan Yogyakarta.

 

Atas sejumlah temuan yang telah dijabarkan di atas, kami berpendapat sebagai berikut:

Pertama, Satuan pengamanan, baik Polisi maupun TNI telah melakukan pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia (HAM) dalam pengamanan aksi massa peringatan 1 Desember 2024. Kekerasan tersebut telah melanggar hak atas rasa aman, hak atas bebas berkumpul dan bebas untuk mengemukakan pendapat. Pengaturan mengenai hak-hak tersebut telah secara tegas diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/ 1999) serta Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik);

Kedua, Tindakan represif aparat kepolisian yang didasari pada upaya merebut alat peraga seperti Bendera Bintang Kejora, merupakan tindakan berlebihan dan semestinya tidak dilakukan. Pengibaran Bendera Bintang Kejora seharusnya dapat dimaknai sebagai bagian dari kultur rakyat Papua dalam memaknai sejarah panjangnya. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU 21/2001), yang menyatakan bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Selain itu, alih-alih terus melakukan tindakan represif terhadap pengibaran Bendera Bintang Kejora, Kepolisian perlu untuk melakukan pendekatan secara lebih humanis seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Gus Dur di masa pemerintahannya. Presiden Gus Dur mengizinkan pengibaran Bendera Bintang Kejora dengan syarat tidak dikibarkan lebih tinggi dari Bendera Merah Putih;2

Ketiga, Aparat Kepolisian bertindak arogan dalam pengamanan aksi massa peringatan 01 Desember 2024 hingga melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan. Kepolisian dengan arogansinya secara sewenang-wenang terus menjadi pelaku yang menjauhkan rasa aman, terus menebarkan ketakutan dan teror kepada warga. Padahal, Polri sebagai representasi dari negara memiliki kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2, pasal 8, pasal 71 dan paragraf 3 Penjelasan Umum UU No. 39/ 1999, yang kemudian tertuang di dalam peraturan internal kepolisian yakni, Pasal 4 huruf d Peraturan Kapolri Nomor 8/ 2009 tentang Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri (Perkap 8/2009) untuk bisa bertindak dengan lebih mawas diri dengan wajib menghormati HAM. Selain itu, dalam pelaksanaan tugasnya, pihak Kepolisian haruslah berpedoman pada Pasal 3 huruf, b dan c Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan bahwa segala tindakan polisi haruslah berdasarkan pada prinsip Necesitas, hingga Proporsionalitas;

Keempat, Kepolisian telah melakukan tindakan penculikan kepada massa aksi. Kami melihat bahwa penculikan terjadi dalam bentuk penangkapan yang dilakukan secara sewenang-wenang kepada massa aksi. Penculikan tersebut merupakan bagian dari tindakan penghilangan orang secara paksa dalam waktu singkat (short term enforced disappearances),3 di mana tindakan ini dilakukan dengan menghilangkan kondisi maupun kabar dari korban dalam waktu tertentu sehingga berakibat pada tidak adanya kejelasan keberadaan korban kepada orang-orang terdekat seperti pihak keluarga. Selain itu, praktik ini kerap kali disertai dengan tindakan kekerasan, seperti penyiksaan hingga nihilnya akses bantuan hukum;

Kelima, TNI tidak memiliki tupoksi dalam pengamanan aksi massa. Bila keterlibatan TNI dalam melakukan pengamanan massa aksi merujuk pada Nota Kesepahaman (MoU) antara TNI dan Polri Nomor: B/2/1/2018 Nomor: Kerma/2/1/2018 Tentang Perbantuan Tentara Nasional Indonesia kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, maka kami menilai MoU tersebut tidak berdasar dan tidak dapat digunakan karena cacat secara formil sebagaimana bila mengacu pada Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004);

Keenam, Pelibatan ormas dalam pengamanan aksi massa memicu konflik horizontal antar masyarakat. Dalam hal ini, kami melihat ormas masih terus diakomodir dalam  Peraturan Kepolisian Negara Indonesia (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Pengaturan tersebut selain hanya akan memicu konflik antar masyarakat, juga rentan digunakan sebagai alat kekuasaan dengan menegasikan hukum yang berlaku hingga pada pengerahan massa secara tidak transparan. Sampai saat ini, belum ada mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaannya.

 

Sebagaimana penjelasan di atas, kami dengan ini mendesak agar:

Pertama, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera melakukan evaluasi secara serius dalam penggunaan kekuatan secara berlebihan dan segera melakukan upaya hukum yang komprehensif terhadap aktor-aktor yang melakukan tindakan kekerasan kepada massa aksi peringatan 1 Desember 2024;

Kedua, Komnas HAM untuk memberikan perlindungan dan upaya pemulihan kepada massa aksi yang mengalami tindak represif dan mendesak Kepolisian RI untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

 

Jakarta, 05 Desember 2024

KontraS dan KontraS Papua

 

 

Narahubung: 

KontraS (0895348175043)

KontraS Tanah Papua (082198052223)

 

1 G, Jhon, “Makna 1 Desember untuk Perjuangan Pembebasan Rakyat West Papua”, The Papua Journal, 30 November 2024, dalam https://www.thepapuajournal.com/opini/69814052267/makna-1-desember-untuk-perjuangan-pembebasan-rakyat-west-papua diakses pada 01 Desember 2024

2 Raditya, Iswara N, “Sejarah Gus Dur yang Membolehkan Bintang Kejora Berkibar di Papua”, Tirto.id, 02 September 2019, dalam https://tirto.id/sejarah-gus-dur-yang-membolehkan-bintang-kejora-berkibar-di-papua-ehpc , diakses pada 02 Desember 2024

3 Tindakan penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat didefinisikan sebagai perbuatan yang mengacu pada suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik di mana individu ditahan secara paksa, ditahan, atau ditahan secara rahasia oleh agen negara atau individu yang bertindak atas nama negara untuk jangka waktu yang relatif singkat, biasanya kurang dari satu hari. Lihat https://www.ohchr.org/sites/default/files/documents/hrbodies/ced/cfis/short-term-disap/submission-short-term-ED-CED-WGEID-cso-wnc-en_1.pdf 

 

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan