Pada Selasa, 23 September 2024 waktu setempat, Prabowo Subianto dijadwalkan mewakili Pemerintah Indonesia untuk berpidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menyikapi hal tersebut, KontraS menyampaikan sejumlah catatan agar pidato Prabowo tidak berhenti sebagai gestur simbolis dan respons reaktif semata, melainkan memiliki makna substantif bagi diplomasi kemanusiaan di kawasan, sekaligus menunjukkan komitmen nyata terhadap perbaikan situasi HAM di dalam negeri.
Pertama, Pemerintah Indonesia harus membuka ruang evaluasi sesuai dengan komitmen yang telah disampaikan, antara lain melalui kerja sama dengan mekanisme PBB, khususnya para Pelapor Khusus PBB. Kami mencatat sepanjang periode 2020–2025, Indonesia berulang kali menunda, menolak, atau bahkan tidak menanggapi permintaan kunjungan dari berbagai mandat PBB, termasuk Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (permintaan ulang 2025), Special Rapporteur on Human Rights Defenders (permintaan ulang 2025), hingga Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers yang pengajuannya ditolak secara resmi oleh Pemerintah Indonesia pada 2023.1
Penundaan hingga penolakan pemerintah terhadap permohonan kunjungan oleh Special Rapporteur yang berencana menjalankan misi khusus di Indonesia jelas menghambat kerja mereka dalam mengevaluasi situasi hak asasi manusia (HAM) di dalam negeri. Di sisi lain, kunjungan oleh UN Special Rapporteur dengan berbagai tema mandatnya seharusnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sipil Indonesia untuk memberikan evaluasi dan tindak lanjut terkait situasi HAM di dalam negeri yang stagnan. Ketidakmauan pemerintah untuk membuka ruang bagi evaluasi independen menunjukkan ketidakpedulian terhadap penegakan HAM dan dapat menciptakan kesan bahwa pemerintah berusaha menyembunyikan pelanggaran yang terjadi. Lebih buruk lagi, tidak ada itikad dari pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri, untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia yang kian memburuk.
Kedua, Pemerintah Indonesia harus menjalankan rekomendasi internasional terkait pemenuhan hak-hak sipil dan politik, serta secara transparan menunjukkan progres implementasinya. Setelah lebih dari satu tahun sejak sidang peninjauan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada 11–12 Maret 2024 di Jenewa, Indonesia masih belum transparan menjalankan sejumlah point of concern dari Komite HAM PBB yang menyoroti kelemahan serius situasi hak-hak sipil dan politik di Indonesia. Catatan tersebut antara lain mencakup impunitas dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM masa lalu termasuk penuntasan kasus pembunuhan Munir, Pelanggaran HAM di Papua, praktik hukuman mati, pembatasan kebebasan berekspresi melalui implementasi UU ITE, hingga lemahnya perlindungan bagi pembela HAM.2 Alih-alih menunjukkan perbaikan, setelah satu tahun peninjauan, Pemerintah Indonesia justru memperlihatkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik.
Ketiga, Pemerintah Indonesia harus menghentikan hubungan dagang Indonesia-Israel sebagai langkah konkrit Solidaritas terhadap warga Palestina. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Juli 2025 tercatat aktivitas ekspor senilai USD 145.526.927,61 (setara dengan Rp 2.414.291.729.049,90) dan impor senilai USD 20.142.350,78 (setara dengan Rp 334.161.599.440,20) antara Indonesia dan Israel.3 Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding periode yang sama pada 2024, ketika nilai perdagangan tercatat sebesar USD 131.209.711,19 (setara dengan Rp 2.176.769.108.642,10).
Tren peningkatan perdagangan ini memperlihatkan standar ganda Pemerintah Indonesia. Hal tersebut terbukti terutama setelah pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta pada KTT Luar Biasa OKI di Riyadh, Arab Saudi, 11 November 2024, yang menyerukan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memutus segala bentuk hubungan ekonomi dengan Israel guna menekan Israel menghentikan agresinya terhadap warga sipil Palestina.
Keempat, Indonesia harus segera meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) sebagai perjanjian internasional yang melengkapi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) dan memberikan mekanisme pencegahan penyiksaan melalui pembentukan mekanisme pemantauan nasional yang independen. Hingga kini, meskipun Indonesia telah meratifikasi CAT sejak 1998, praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi justru masih terus terjadi dan cenderung meningkat, terutama oleh aparat keamanan dalam konteks penegakan hukum maupun situasi konflik di Papua. Ketiadaan mekanisme pencegahan yang efektif menyebabkan impunitas tetap berlangsung dan korban kesulitan memperoleh keadilan. Dengan meratifikasi OPCAT, Indonesia berkewajiban membentuk mekanisme nasional pencegahan penyiksaan (NPM) yang memungkinkan pemantauan independen di tempat-tempat penahanan, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas aparat. Namun setelah bertahun-tahun wacana ratifikasi disampaikan, Pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen nyata, sehingga situasi penyiksaan kian mengkhawatirkan dan memperlihatkan kemunduran serius dalam perlindungan hak asasi manusia.
Kelima, Indonesia harus segera meratifikasi International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (ICPPED) sebagai langkah pencegahan agar praktik penghilangan orang secara paksa tidak terus berulang di masa depan. Hingga kini, Indonesia tak kunjung meratifikasi Konvensi tersebut, meskipun telah menandatanganinya sejak 27 September 2010. Terbaru, pada periode aksi 25–31 Agustus 2025, Posko Orang Hilang KontraS mencatat 44 laporan, dengan 33 orang dikategorikan sebagai korban penghilangan paksa. Dua di antaranya, M. Farhan Hamid dan Reno Syahputeradewo, hingga kini masih dinyatakan hilang setelah mengikuti aksi demonstrasi. Ratifikasi ICPPED sangat krusial mengingat maraknya kasus penghilangan paksa di Indonesia. Situasi ini terjadi di tengah ketiadaan payung hukum yang secara tegas melarang serta melindungi masyarakat dari praktik penghilangan paksa.
Dorongan agar Indonesia segera meratifikasi ICPPED juga menjadi sorotan internasional, antara lain melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Siklus 4 pada 9 November 2022, di mana sejumlah negara seperti Brasil, Argentina, Prancis, dan Jepang merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi yang telah ditandatangani Indonesia sejak 2010 tersebut.
Dengan catatan-catatan di atas, KontraS menekankan bahwa pidato Prabowo di Majelis Umum PBB tidak boleh berhenti pada retorika diplomatik semata. Pemerintah Indonesia harus membuktikan komitmennya melalui langkah konkret: membuka diri terhadap evaluasi independen, menjalankan rekomendasi internasional, menghentikan praktik dan relasi yang bertentangan dengan prinsip HAM, serta segera meratifikasi ICPPED. Tanpa tindakan nyata, pidato di forum internasional hanya akan menegaskan jarak antara klaim diplomasi Indonesia dan kenyataan buruk situasi HAM di dalam negeri.
Jakarta, 23 September 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
1 View Country visits of Special Procedures of the Human Rights Council since 1998 https://spinternet.ohchr.org/ViewCountryVisits.aspx?visitType=all&lang=en
2 CCPR/C/IDN/CO/2: Concluding observations on the second periodic report of Indonesia https://www.ohchr.org/en/documents/concluding-observations/ccprcidnco2-concluding-observations-second-periodic-report
3 Badan Pusat Statistik. 2025. Data Ekspor Impor Nasional antara Indonesia dengan Israel, diakses melalui https://www.bps.go.id/id/exim
Tags
Palestina
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan