Jakarta, 3 Oktober 2024 - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan perhatian penuh terkait dengan penambahan militer yang dilakukan di Tanah Papua. Bahwa penambahan prajurit militer di Tanah Papua hanya akan berimplikasi pada timbulnya berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Berdasarkan informasi yang telah kami himpun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah secara resmi membentuk lima batalyon infanteri (Yonif) di lima daerah rawan di Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintahan Indonesia. Batalyon tersebut di bawah Komando Daerah Militer (KODAM) XVIII/Kasuari dan KodaM XVII/Cenderawasih. Adapun pembentukan Yonif tersebut dibagi ke lima daerah, yaitu: Yonif 801/Ksatria Yuddha Kentsuwri (Kabupaten Kerom); Yonif 802/Wimane Mambe Jaya (Kabupaten Sarmi); Yonif 803/Nduka Adytama Yuddha (Kabupaten Boven Digoel); Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yuda (Kabupaten Merauke); dan Yonif 805/Ksatria Satya Waninggap (Kabupaten Sorong) dengan jumlah anggota TNI yang diturunkan sebanyak 3455 anggora TNI.[1]
Selain menyoroti terkait dengan peresmian Yonif baru di Tanah Papua, KontraS turut menyoroti diterjunkannya kembali ribuan prajurit TNI yang dikirim menjadi satgas Amole PT. Freeport Indonesia.[2] Bahwa berdasarkan informasi, ribuan prajurit dari Yonif 611/AWL akan dikirim untuk menjadi Satgas Amole PT. Freeport Indonesia, dimana Satgas Amole merupakan satuan tugas khusus yang disiapkan untuk mengamankan proyek PT. Freeport Indonesia.
Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya menyatakan “kami melihat bahwa peresmian pembentukan lima Yonif serta diturunkannya kembali ribuan prajurit militer sangat berbahaya di tengah permasalahan tubuh institusi TNI yang belum berhasil diatasi, yaitu tentang profesionalisme dan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi, Panglima TNI menyatakan bahwa penurunan tersebut menggunakan dalih Program Ketahanan Pangan.”
Adapun KontraS mendokumentasikan sepanjang periode Oktober 2022 - September 2023 secara bergantian TNI telah menurunkan sekitar 7.833 prajurit ke Tanah Papua.[3] Penurunan tersebut berimbas pada munculnya konflik dan baku tembak antara TNI dengan Kelompok Pro-Kemerdekaan Papua yang mengakibatkan setidaknya 14 anggota TNI meninggal dunia. Bahwa secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa penerjunan aparat di Tanah Papua menimbulkan konflik yang berkelanjutan serta mengakibatkan munculnya banyak korban jiwa.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa “Penggunaan dalih Program Ketahanan Pangan tersebut secara jelas telah melanggar tugas dan fungsi pokok TNI sebagaimana yang telah tertuang dalam Pasal 7 UU TNI tahun 2004 yang mengatur bahwa TNI tidak dapat diperkenankan terlibat dalam urusan yang bukan merupakan tugasnya. Keterlibatan TNI dalam program ketahanan pangan jelas berada di luar ranah tugas pokok TNI yang berimplikasi pada tergerusnya profesionalitas TNI serta pelanggaran atas UU TNI itu sendiri.”
Selain hal tersebut, Dimas turut menggaris bawahi bahwa ”Pembentukan Yonif sangat berpotensi menciptakan kekerasan dan pelanggengan praktik pelanggaran HAM di Tanah Papua. Jumlah kekerasan yang terjadi di Tanah Papua selalu berbanding lurus dengan masih diberlakukannya pendekatan keamanan dan bersenjata melalui operasi militer. Pola kebijakan penuntasan konflik yang selalu mengedepankan pendekatan keamanan tidak pernah akan menyelesaikan permasalahan di Tanah Papua. Bahwa inisiatif Panglima membentuk Yonif baru justru akan dapat memperkeruh situasi dan tidak dapat menjamin peristiwa kekerasan serta pelanggaran HAM tidak terus berulang jika pendekatan tersebut terus dijalankan tanpa evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh serta tidak diimbangi dengan upaya dialog secara damai. Meskipun pembentukan Yonif tersebut menggunakan dalih untuk sistem ketahanan pangan, tetapi dalam beberapa hal faktanya justru berkebalikan.”
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendesak:
Pertama, Pemerintah Indonesia khususnya Presiden untuk menghentikan pengerahan prajurit militer dengan dalih ketahanan pangan serta melakukan evaluasi total terkait dengan keamanan yang dijalankan di Tanah Papua;
Kedua, Panglima TNI untuk mengkaji ulang pengerahan pasukan dan pendekatan militer yang digunakan di Tanah Papua, serta melakukan evaluasi secara menyeluruh atas berbagai bentuk pelanggaran HAM yang muncul dengan dalih keamanan oleh militer di Tanah Papua.
Jakarta, 3 Oktober 2024
Dimas Bagus Arya
Koordinator KontraS
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan